16. Hadiah Yang Berarti

864 202 6
                                    

Di suatu musim panas ketika Jaehyun masih kecil dan dunia masih sederhana baginya, dia sering memainkan sebuah permainan yang diajarkan ibunya demi mendapat es krim.

Aturan permainan itu mudah; dia dan beberapa temannya diminta berdiri di halaman Moon Young dan di depan mereka diletakkan meja berisi puluhan gelas plastik yang harus disusun menjadi piramid. Siapa yang bisa menyelesaikannya lebih dulu boleh memilih rasa es krim yang mereka suka.

Permainan menjadi lebih menantang sebab ia harus berlari setelah seseorang memutar tubuhnya sebanyak 7 kali dan menyusun gelas-gelas itu di tengah deraan rasa pusing.

Tapi, biar Jaehyun beritahu, itu tidak ada apa-apanya dibanding rasa pusing yang ia rasakan sekarang. Bagian belakang kepalanya pasti terbentur tadi, dan dugaan itu diperkuat dengan aliran darah hangat di lehernya, menetes sampai ke kausnya.

Jaehyun salah mengira Johnny sebagai yang terburuk karena ternyata ada yang jauh lebih buruk, seseorang yang tidak segan menyakiti orang lain gara-gara bunga keparat yang sulit didapat. Orang itu kini berdiri menjulang di depannya, menendang bahunya. "Kenapa kau memilih rasa sakit?Kau." Pria itu menginjak bahunya, tanda dia bisa saja berbuat lebih. "Jadilah anak baik dan ikut denganku, kau mengerti?"

Satu-satunya hal yang dimengerti Jaehyun adalah ia harus pergi dari sini一entah bagaimana caranya. Jaehyun tahu dia harus bangun, membereskan pria itu seperti pahlawan keren, tapi ia mendadak kehilangan kendali atas tubuhnya.

Dia hanya bisa tertelungkup di sana, merasakan dinginnya tanah di pipinya dan mendengar ejekan-ejekan yang disuarakan oleh rasa malu.

Kenapa, Jaehyun memprotes dirinya sendiri, aku tidak berguna?

"Bangun." Pria itu mencengkeram bahu yang sempat jadi sasaran sepatunya. "Sebaiknya jangan buat aku marah atau一"

Sesuatu menghentikan ucapannya dan cengkeraman pria itu terlepas.

Jaehyun mendengar suara yang mulai akrab di telinganya karena ia telah mendengarnya beberapa kali一lebih sering dari yang ia mau. Suara yang, tak salah lagi, adalah suara yang timbul saat ada yang melempar pisau dengan kecepatan tinggi.

"Elkan!" Rose berseru, terlampau ceria untuk situasi ini. "Lama tidak bertemu, teman lama!"

Reaksi pria yang dipanggil Elkan itu adalah ludah yang keluar disertai geraman kesal. "Dasar peranakan manusia. Kau berani kembali kemari?"

Rose tertawa. "Kau selalu memujiku. Aku sebenarnya tidak mau melihatmu lagi, tapi yang di sana itu, dia temanku. Kau berkenan mengembalikannya padaku? Dengan pisaunya sekalian, karena pisau itu terlalu bagus untuk dikotori oleh darahmu."

Sebuah benda terjatuh di samping kepala Jaehyun.

Rentetan sindiran Rose membuat amarah teman lamanya menggelegak. Jaehyun tidak tahu apa yang coba dilakukan gadis itu tapi sepertinya bukan ide yang bagus. "Kau mengajak pacarmu jalan-jalan ke tempat yang salah, Rose. Mau lihat apa yang bisa kuperbuat dengan pisaumu pada wajah tampannya?"

Tawa kedua Rose seutuhnya mirip dengan Johnny, sampai-sampai Jaehyun merinding. "Coba saja."

Keduanya berhenti bicara.

Keheningan ladang terpecah oleh rangkaian bunyi-bunyian yang mengkhawatirkan.

"Berengsek..." Jaehyun mengumpat, menahan erangan. Dengan pelan mengecek kepalanya, sambil bertanya-tanya apakah dia mengalami gegar otak, kemudian sadar jika hanya itu yang terjadi, dia mestinya bersyukur. Dia masih hidup, itu yang terpenting.

Salah satu pisau Rose tergeletak di dekatnya, dengan ujung ternoda darah, jadi Rose pastilah berhasil mengenai Elkan.

Lebih pelan lagi, Jaehyun menoleh, melihat dengan ngeri tinju Elkan terarah pada Rose. Dia ingin berteriak memperingatkan gadis itu, tapi sebelum suaranya keluar, Rose dengan lihai berkelit. Menjadikan bahu Elkan sebagai tumpuan, dia menyodokkan lututnya ke perut pria itu, sebegitu kerasnya sampai Elkan terlompat mundur.

Morality : A Prince's Tale ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang