Jung Jaehyun pikir dia berteriak.
Namun dia tidak yakin mengenai itu, karena dia hanya merasakan mulutnya terbuka tapi tidak bisa mendengar suara apa-apa, bahkan suaranya sendiri. Dia terjatuh di tanah. Apa yang ia pikir akan terjadi, akhirnya terjadi juga; dia akan mati, di sini, di tangan paman yang ironisnya sangat mirip dengannya.
Apa gunanya? Paman yang sama akan tetap membunuhnya tidak peduli seberapa banyak kemiripan yang mereka punya.
Jaehyun meringkuk. Dari punggungnya, di pusat luka di mana panah menancap, rasa dingin menjalar seperti akar-akar tanaman yang menjangkau hingga ke inti dirinya. Satu akar bergulir ke jantung, meremasnya, barangkali akan meremukkannya, dan karena itulah dia berteriak.
Dingin.
Jaehyun merasa dingin. Sangat dingin. Luar biasa dingin. Tanah di sekitarnya seolah berubah menjadi es. Rerumputan adalah saljunya. Ini bukan hutan. Ini danau es dan ia tenggelam.
"Jaehyun! Jaehyun!"
Rose kalut. Gadis yang biasanya selalu tenang itu berlutut di sampingnya, dengan panik menepuk-nepuk pipinya, memegang tangannya, yang di situasi lain, pasti akan membuat Jaehyun menggodanya. Tapi tidak sekarang. Tidak saat ini ketika dia tengah berjuang untuk bernapas.
"Cabut panahnya, Jaehyun! Kau dengar aku? Kau harus mencabutnya!"
Panah. Benar.
Di mana...?
Jaehyun meraba-raba punggungnya, di tempat rasa sakit paling kuat terasa. Tidak jauh dari bahu, karena Rim tadi mengincar jantung Rose. Kalau di cabut, dia akan merasa lebih baik kan?
Berbekal keyakinan itu, Jaehyun terus menggerakkan jari-jarinya yang mulai berubah putih. Putih pucat. Putih dengan cara yang tidak sehat. Ia menyentuh sesuatu yang halus. Bukan pakaiannya. Ini berbeda. Benda ini kecil dan panjang. Terbuat dari sesuatu yang padat一
Jaehyun menariknya sampai terpisah dengan tubuhnya.
Anak panah itu terjatuh di pangkuan Rose, berlumuran darahnya sendiri.
Suara tawa seseorang terdengar, terhibur oleh upayanya. Ada yang sedang mendapat hiburan gratis dan dia girang bukan main. "Bagus sekali, keponakan. Itu hanya akan memperlambat kematianmu, tapi usahamu boleh juga."
Jaehyun ingin membalasnya, mengumpat, mengatainya dengan kata-kata kreatif, tapi bernapas saja jadi semakin sulit dan ia tidak bisa mewujudkan niatnya.
Ini tidak berhasil.
Mencabut anak panah tidak memberi efek berarti. Gerakan akar-akar itu tidak terhenti, hanya melambat. Dia memang merasa lebih baik. Tapi hanya sedikit dan sedikit saja tidak cukup. Satu-satunya kehangatan yang ada hanyalah di bagian yang disentuh Rose, dan dia merapat pada gadis itu, seperti bunga yang condong ke matahari.
"Tenanglah, kau dengar? Konsentrasi. Kau kuat, Jaehyun. Fokus pada lukamu, dan bayangkan一"
Sebuah tangan besar menyambar kerah pakaian Jaehyun, mengangkatnya ke udara dan menghentikan kalimat Rose. Rim memaksanya bangun, menekankan punggungnya yang terluka ke batang pohon yang kasar. Di titik di mana kulit mereka bersentuhan, rasa dingin itu semakin menjadi-jadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Morality : A Prince's Tale ✔️
Fanfictie[Fantasy, royals, minor romance] Demi mencegah perebutan kekuasaan, sebuah kerajaan yang tersembunyi dari manusia menetapkan sebuah tradisi; bila ada pewaris takhta yang terlahir kembar, salah satunya harus dihabisi. Bertahun-tahun kemudian, terjadi...