Roseanne Park membuka matanya.
Sebuah kelopak bunga Higanbana terjatuh di pipinya. Mungkin karena pengaruh angin yang berhembus, atau karena memang sudah waktunya.
Rose mengerjap. Sinar matahari sore yang hendak pamit untuk berganti shift kerja dengan bulan menyambutnya. Higanbana yang lain berayun-ayun, sebagian juga tidak sanggup mempertahankan apa yang mereka miliki dan menggugurkan kelopak merah tua yang berpusar-pusar di udara.
Seperti bunga, kehidupan juga merupakan sesuatu yang sangat rapuh.
Rose mengangkat tangannya, menyaring sinar matahari yang sayangnya masih bisa lolos melalui sela-sela jarinya. Dia ingat di tangan itu pernah ada luka dan bahwa di ladang yang sama, dia pernah terlibat pertikaian dengan Elkan.
Kini, beberapa hari kemudian, Rose masih sulit percaya semua itu sudah berakhir.
Lucu juga, karena sekarang kenangan itu terasa sangat jauh, seperti barang lama yang tersimpan dalam sebuah peti tua di dalam gudang.
Namun selalu一ia yakin一akan mengingatnya.
Rose tidak akan lupa bagaimana ia berubah dari gadis biasa menjadi tawanan yang kemudian nyaris mati dan membuat Johnny memarahinya sampai berbusa-busa. Rose bergidik, menyentuh perutnya. Ditusuk jelas bukan pengalaman yang menyenangkan.
"Rose?"
Panggilan itu membuatnya menurunkan tangan tapi menarik tubuhnya bangkit, dan mendapati Kim Doyoung menatapnya keheranan. "Sedang apa?"
Rose berdiri, membersihkan tanah dari celana dan pakaiannya. "Ini tempat nongkrong favoritku, ingat?"
"Heh. Memangnya kau tidak mengalami semacam PTSD?"
"Aku lebih kuat dari yang terlihat." Rose tersenyum bangga. "Kau?"
Doyoung memetik beberapa Higanbana dan mengumpulkannya di satu tangan. "Aku ingin meracik Mithridatium lagi." Dia mengeluarkan sebuah botol kecil yang sepertinya tidak pernah meninggalkan sakunya. "Lihat kan? Hampir habis."
Isi dalam botol itu memang sudah semakin sedikit, menyusut tidak sampai setengahnya. "Kalau begitu aku akan memetik bunga juga. Untuk Jaehyun. Menurutmu dia akan menyukainya?"
Doyoung mencibir. "Dia suka hal-hal romantis seperti itu."
Puas mendapatkan apa yang mereka mau, keduanya berjalan menjauh, masing-masing dengan buket bunga yang tumpukannya berbeda. Jalan yang berkelok-kelok mengakibatkan mereka berjalan lebih pelan dalam keheningan, sampai Rose menemukan pembahasan untuk memulai percakapan. "Kau akan tinggal di sini sekarang?"
Orang-orang akan mengira Doyoung sedang mengerjakan soal matematika yang sulit bila menengok ekspresinya. "Aku tidak tahu. Tapi di sini menyenangkan."
Lebih dari menyenangkan, tampaknya Doyoung merasa nyaman walaupun tidak mengakuinya secara terang-terangan. Rose kerap memergokinya berbincang dengan teman-teman lamanya dan bahkan sang raja sendiri. Ada yang sudah pulang, entah dia menyadari itu atau tidak. "Laki-laki dan gengsinya." Rose memutar bola mata. "Menyebalkan."
Doyoung tertawa. "Dia juga pernah mengatakan itu. Katanya aku menyebalkan."
"Uh ... Dalnim?"
Tebakan Rose tidak tepat sasaran. "Sejeong. Tahu kan? Yang cantik itu?" Rose tentu saja tahu Sejeong, dia hanya tidak tahu sedekat apa mereka. "Kurasa di manapun Dalnim berada sekarang, dia sudah bahagia."
Rose menyetujuinya dengan anggukan meski ada pertanyaan yang mengganjal di hatinya. "Di mana itu?"
"Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Morality : A Prince's Tale ✔️
Fanfiction[Fantasy, royals, minor romance] Demi mencegah perebutan kekuasaan, sebuah kerajaan yang tersembunyi dari manusia menetapkan sebuah tradisi; bila ada pewaris takhta yang terlahir kembar, salah satunya harus dihabisi. Bertahun-tahun kemudian, terjadi...