19. Sesama Anak Kedua

881 189 3
                                    

Mata Lee Rim adalah mata terindah yang pernah Jaehyun lihat, warnanya biru, begitu cerah seperti balok es yang terkena sinar matahari. Berbeda dengan Rose, warnanya lebih biru dan dingin sampai-sampai Jaehyun mengira dia akan membeku bila mata mereka terlalu lama bertemu. Senyum di wajahnya seakan menandakan dia tahu lebih banyak hal dari Jaehyun, jauh, jauh, dari yang bisa ia bayangkan, termasuk rahasia tergelap dan terdalamnya.

Apa yang Jaehyun duga adalah tato mungkin sebenarnya adalah tanda lahir, berupa sulur berduri yang melingkar di lehernya menjadi kalung abadi.

Dan, pria itu mirip dengannya.

Dalam tingkat yang akan membuat orang lain bertanya-tanya apakah mereka punya hubungan darah.

"Siapa kau?" Tanyanya, sama sekali tanpa desakan.

Tenggorokan Jaehyun terasa tersumbat. Dia tidak bisa menjawab.

"Katanya namanya Jung Jaehyun." Arel menggantikannya bicara, beberapa langkah di belakang Rim. Seseorang tak seharusnya terlihat secantik itu saat tengah duduk di lantai, tapi begitulah Arel; dia pasti akan membuat Jaehyun terpukau seandainya tidak memegang pisau yang sudah menusuk pahanya.

Lalu, Elkan.

Elkan yang berdiri di sisi seberang Arel dan masih hidup, meski tidak lagi tampak seperti pria yang keluar dari manga. Dia agak berantakan, lebih menyerupai anggota geng motor yang baru pulang dari tawuran. Saat mereka beradu pandang, tak ada hal lain dalam diri Elkan kecuali rasa murka yang ditujukan sepenuhnya pada Jaehyun.

Tepat di antara kedua orang itu, adalah sebuah kursi berwarna merah dan hitam yang sangat gelap hingga tampak bagai bayangan yang berbentuk padat. Kursi hanya untuk satu orang dan hanya untuk yang paling berkuasa. Kursi yang teramat agung, mengerikan dalam kemilaunya yang menjebak, mengundang dalam pesonanya yang penuh darah.

Jaehyun langsung tahu apa itu; kursi untuk sang raja atau ratu.

Rim mengukuti arah pandangannya. "Bagus kan?"

Cepat-cepat Jaehyun menunduk. Tiba-tiba dia bersyukur kakinya sedang terluka dan tangannya terikat karena 2 faktor tersebut membantunya menekan hasrat untuk mendekati kursi itu.

Dengan dagunya, Rim meminta orang-orang  di balik bahu Jaehyun untuk pergi, diiringi perintah tambahan mencegah siapapun masuk selama pembicaraan mereka hingga di ruangan yang luas itu, tersisa 4 orang saja; dirinya, Rim, Arel yang masih ingin menusuknya, dan Elkan yang bernafsu membunuhnya

Jaehyun lupa kapan ia pernah berada dalam bahaya sebesar ini.

Tidak pernah.

Rim berjalan memutarinya, menyeret sebuah tongkat besi yang menimbulkan bunyi yang menyakiti telinga saat beradu dengan lantai. "Jadi di sini kita punya pemuda yang entah bagaimana, wajahnya mirip denganku, kebal terhadap besi dan suka jalan-jalan di ladang Higanbana."

"Bersama Rose!" Imbuh Arel, memberengut tidak suka.

"Bersama Rose, benar. Tapi di mana Rose sekarang?"

Arel bertepuk tangan. "Meninggalkannya!"

Wajah Rim terpilin membentuk ekspresi prihatin. "Kasihan sekali. Rose minggat usai mendapat bunga yang dia inginkan?"

Cara mereka membicarakan Rose seolah dia  menelantarkannya membuat Jaehyun geram dan kata-kata amarahnya tersembur keluar walaupun tidak terlalu dramatis karena ia mengatakan itu sambil menunduk. "Aku yang menyuruhnya pergi, dasar bajingan sinting. Rose bukan pengecut seperti yang kalian kira!"

Kalimat kedua setelah matanya terbuka disambut tawa riang dari Rim. "Jangan marah begitu. Aku kan hanya bertanya."

Tanpa menjawab, Jaehyun menengok ke sekelilingnya, mencari-cari jalan keluar, tidak peduli sekecil apapun peluangnya lolos dari sini.

Morality : A Prince's Tale ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang