10 - Luka lama

576 92 4
                                    

Jam pelajaran hari ini sudah selesai, banyak murid berhamburan keluar untuk mengistirahatkan dirinya di rumah. Rara merapikan buku-bukunya ke dalam tas, hari ini ia tidak bekerja, karena libur. Bos nya ada urusan mendadak di luar kota, membuat Caffe Qilla Carry tutup seminggu saking gentingnya.

"Lo pulang naik apa Ra?" tanya Gisel, yang tengah berbenah diri.

"Eum, kayak nya di jemput bokap gue deh," balas Rara. Ia terpaksa berbohong, perannya sekolah di sini adalah untuk terlihat baik-baik saja. Keluarga utuh, dan bahagia seperti anak-anak lainnya. Meski itu hanyalah sebuah khayalan semata.

"Padahal gue mau ngajak lo pulang bareng," ujar Gisel lesu.

"Lain kali aja," ujar Rara.

"Ya udah, kita ke depan sama-sama yuk! Gue juga lagi nunggu sopir buat jemput gue, mau kan?" tawar Gisel. Dia akhir-akhir ini memang jarang makan bareng Rara di kantin, ataupun bermain bersama mungkin?

Rara tentu saja menolak ajakan Gisel, bisa gawat jika Gisel curiga bahwa Rara jauh dari kata baik-baik saja. "Gue nggak bisa, habis ini ada urusan. Lo duluan aja."

"Kok gitu si, atau mau gue tunggu urusannya sampai selesai?" ujar Gisel.

"Nggak bisa Sel, gue harus pergi dan lo harus pulang," ujar Rara.

"Ya udah deh, besok gue jemput lo ya? Berangkat bareng gitu," ujar Gisel menaik-turunkan alis nya agar Rara terpengaruh. "Oh ya, gue minta nomor hp lo dong? Biar gampang kalo ada apa-apa!"

Rara menjulurkan tangannya meminta ponsel Gisel, jika saja Rara menolak pasti Gisel akan terus memaksa nya. Gadis seperti ini hampir sama persis dengan dirinya yang dulu. Setelah mengetikkan dua belas angka di papan keyboard milik Gisel, Rara mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya, lalu pergi dari kelas yang sudah sepi.

"Gue bakal berusaha sekeras mungkin buat yakinin lo, kalo gue benar-benar pengin jadi sahabat lo, Ra."

•••

Rara berjalan seorang diri mengitari megahnya sekolah SMA Herlangga, ia kesepian untuk kesekian kalinya. Jika saja kebahagiaan bisa di beli, Rara akan memborong semuanya meski harganya mahal. Tapi, sayang nya itu sangat mustahil. Rara tidak tahu kemana ia akan mencari kebahagiaan, ia tidak tahu di mana dirinya di hargai dan di butuhkan.

Rara duduk di tribun basket menonton beberapa anak laki-laki yang tengah ceria melambungkan bola besar itu di udara. Rara tidak modus untuk melihat cowok-cowok bermain basket, dia ke sini hanya untuk melamun tanpa sendirian. Bukan caper, dia hanya takut kerasukan jika sendirian.

Otaknya sangat mudah membuka luka lama, padahal hatinya sudah tak mau lagi mengingat kenangan manis yang berubah tragis. Rara yang dulunya ceria hingga melupakan kecewa, Rara yang dulunya selalu ada untuk semua orang, Rara yang dulunya bahagia mengukir tawa, kini seakan memantul berbanding terbalik dengan dirinya yang dulu.

"Raraa, makan nya pelan-pelan aja, sayang. Jangan buru-buru gitu nanti tersedak," peringat Sandra—Mamah Rara— melihat aksi anak nya yang seperti tidak makan satu tahun.

"Mamah tau banget si kalo Rara lagi pengen makan telur ceplok campur kecap! Enak banget tau mah, apa lagi kalo mamah yang masakin!" puji Rara, ia memang sedang mengidamkan telur setengah matang itu dengan kecap, rasanya manis. Apa lagi yang membuatkan adalah mamah tercinta.

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang