16 - Kertas Hitam berpita Merah

436 67 1
                                    

Rara membereskan buku-bukunya yang tergeletak di meja, jadwal selanjutnya adalah bahasa Indonesia. Bu Sri menyuruh semua murid kelas MIPA 3 untuk ke perpustakaan, mengambil beberapa buku untuk di baca kemudian di rangkum. Membaca dan merangkum termasuk hal mudah bagi Rara, dari pada harus mengerjakan soal matematika dan sebagainya.

Rara hanya membawa satu buah pulpen dan buku tulis bahasa Indonesia nya, ia sengaja tidak membawa tas karena beralasan repot. Lain halnya dengan murid lain yang menggendong tas di punggung.

"Lo nggak bawa tas, Ra?" tanya teman sekelasnya, jangan tanya nama nya. Dia lupa.

"Repot," balas Rara enteng.

Pintu perpustakaan terbuka lebar, hanya ada murid kelas MIPA 3 dan penjaga perpustakaan, Bu Rabeca. Ternyata Gisel, Asya, Dea, dan juga Tania sudah sampai duluan, Rara pikir mereka ada di toilet, hingga membuat Rara terpaksa meninggalkan mereka duluan. Entah sejak kapan mereka di sini, yang jelas mereka sudah santai-santai duduk di dekat AC.

"Sini, Ra!" panggil Asya, gadis bersurai panjang itu membawa lima tumpukan buku di tangannya. Kemudian duduk di sebelah Gisel.

Rara menoleh, lambaian tangan Asya tertuju pada kursi di sebelahnya yang masih kosong, Asya memanggilnya untuk duduk di sana. Tanpa pikir panjang lagi, Rara berjalan ke arah mereka semua untuk mengerjakan tugas.

"Makasih," ujar Rara kepada Asya yang secara terang-terangan memberikan kursi itu untuknya.

"Sorry, tadi gue kelupaan nggak ngajak lo kesini duluan hehe," cengir Gisel. Tentu saja tidak masalah bagi Rara. "Oh iya, ini buku-buku yang udah Asya pilih buat ngerjain tugas kita, jadi lo nggak perlu repot-repot nyari buku. Lo tinggal pilih mana yang lo suka. Gue sama yang lainnya udah baca, tinggal ngerangkum doang," ujar Gisel lalu melanjutkan merangkum.

Rara hanya mengangguk sebagai jawaban lalu memilih buku-buku yang ada di atas meja kemudian membacanya.

"Eh gimana tuh kabarnya si kakak kelas kita?" ujar Tania, memulai pembicaraan di atas keheningan.

"Huh, tenang damai banget gue ngeliat dia liburan ke luar negeri berbulan-bulan ini. Udah nggak ada lagi yang jadi beban sekolah, beban kita juga sih!" sambung Rita, kakak kelas mereka memang banyak, tapi tidak seperti kakak kelas yang satu ini.

"Gue muak banget sumpah kalo ketemu dia di sekolah, nggak salah apa-apa main suruh-suruh aja. Dia kira kita semua babu apa ya," sambung Asya.

"Lagian aneh juga si, masa liburan di waktu yang nggak tepat. Dia pikir sekolah cuma main-main kali ya? Mentang-mentang bokap nyokap nya orang kaya, jadi semena-mena," ujar Gisel.

"Biasa lah Sel, orang kaya mah gitu," ujar Tania.

Rara mendengar percakapan temannya, tapi ia sama sekali tidak ada minat untuk bertanya siapa kakak kelas itu. Selama ia bersekolah di sini, ia tidak pernah melihat kakak kelas yang kurang ajar pada nya. Mungkin karena Rara tidak mendengar informasi terkini, atau ia memang tidak pernah melihat sosok kakak kelas itu.

"Gue harap sih, setelah dia liburan ke luar negeri sifatnya udah beda. Nggak kayak dulu lagi, sok berkuasa, dan team bully," ujar Gisel.

"Kalo menurut gue sih enggak bakalan Sel, sifat yang kayak gitu mah susah di hilangkan!" ujar Rita.

"Oh iya, kalian terakhir ketemu sama dia kapan? Kalo gue sih ketemu dia pas ada di lorong, terus gue ngumpet karena takut disuruh-suruh," ujar Tania.

"Emm, gue ketemu dia pas mau ke toilet deh, gue sempetin nggak jadi ke toilet karena gue takut disiksa di sana," ujar Rita, ia ingat betul masa di mana ia menahan kencing hanya untuk mengelabuhi kakak kelasnya. Ia terpaksa kencing di toilet putra yang kebetulan sedang kosong.

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang