05.03.13

766 91 0
                                    

Musim semi telah datang. Jimin sendirian di perpustakaan sambil membaca buku. Semua orang dapat melihat setumpuk buku-buku tebal di sebelahnya. Membuktikan jika Jimin kesehariannya hanya sekolah, les, dan ke perpustakaan sebagai keseharian barunya, untuk memenuhi waktu kosong yang menggantikan jadwal menari Jimin.

Sebulan berlalu sejak kejadian itu, tidak ada hal yang spesial. Hanya terdapat kerinduan Jimin terhadap figur pucat yang menjabat sebagai calon dokter.

Jimin sebisa mungkin untuk menghindari mereka, bahkan ketika berjalan pulang les, dia akan memilih untuk memutar demi tidak melewati toko kukis dimana Yoongi berada. Walaupun hatinya sangat sakit.

I Trusted You.

Suara berat pria itu hingga sekarang tidak pernah hilang.

"Hadiah dari Mu," Jimin menidurkan kepalanya diatas buku yang terbuka, ia memejamkan mata, bahkan wajah Yoongi saja dia tidak memiliki gambar atau potretnya

"begitu mengenang."

...

Ah toko musik ini sedang ada yang memainkan pianonya. Bukan Yoongi.

Bukan dia.

Jimin menghela napas, asap keluar dari mulutnya karena cuaca yang dingin. Tentu saja, musim semi merupakan pergantian dari musim dingin ke musim panas. Karena masih awal-awal bulan jadi cukup dingin. Seperti musim dingin rasanya.

Jimin tenggelam dibalik jaket tebal hitam yang ia kenakan, memegang buku tentang ilmu ekonomi. Matanya mengerjap, alunan musiknya lagi menunjukan kegembiraan. Jimin tidak tau lagu itu, tapi yang pastinya suasa musik itu tidak mendukung hatinya.

Ditambah ayahnya selalu datang tiap minggu, lalu mengkritik Jimin habis-habisan kalau nilainya atau ilmu nya belum sesuai dengan keinginan ayahnya. Ini terlalu berlebihan bagi Jimin, Jimin kesal dengan pria tua sialan itu. Semua itu terjadi karena semenjak Jimin diam-diam mengambil kelas menari.

Akhirnya Jimin berjalan menuju halte bus. Duduk disana sambil membuka Diary kecil berwarna merah muda.

...

Dear Diary

Aku merindukannya.

...

"Jimin?"

Tulisan Jimin tercoret karena dia terkejut. Mendengar suara berat yang memanggilnya dari kejauhan. Matanya langsung menemukan figur pucat berdiri di sebrang jalanan, mengenakan mantel hitam yang biasanya dipakai. Ukiran wajah tampan itu bikin jantung Jimin terus berdetak tidak karuan.

Kerinduan itu tidak main-main.

Orang berlalu lalang disepanjang jalan, namun anehnya mereka tidak bisa membuat pandangan Jimin yang terkunci dengan Yoongi. Yoongi melihat kearah rambu lalu lintas sebagai pemutus kontak mereka, begitu lampu hijau untuk pejalan kaki, dia berjalan melewati jalan raya untuk mengampiri Jimin.

Jalan, Jimin.

Tinggalkan Yoongi hyung. Bagainana rencana move on mu?!

Tidak sadar kalau Yoongi sudah berdiri di depan matanya. Berjarak dua meter. Jimin duduk mendongak melihat sang dominan, sementara Yoongi berdiri mengantungkan kedua tangannya di saku jaket tebal.

"Ternyata aku gak sia-sia setiap malam kesini."

Yoongi melirik ke toko musik yang sedang memainkan piano. Suara alunan yang berasal dari tekanan-tekanan tuts piano oleh si pianist.

"Kamu setiap malam kesini.. untuk menungguku?" tanya Jimin ragu-ragu.

Yoongi tersenyum tipis sebagai jawabannya, Jimin tentu sangat terkejut, "Kenapa t-tidak datang ke apartemenku.. langsung?"

"Jimin tidak pernah membukakan pintu."

Jimin pikir yang mengetuk pintu setiap hari itu Hoseok. Pelajaran untuk Jimin, tidak semua tamu yang datang adalah Jung Hoseok.

"Meneleponku?"

"Gak diangkat."

Okay Jimin disini lagi-lagi berpikir kalau yang menelepon adalah Hoseok.

"Aku.. malu melihat kalian," Jimin menundukan kepala, mengepal kedua tangannya diatas lembaran buku yang bertuliskan 'Aku merindukannya' 

Sial Yoongi tidak melihat kebuku tersebut,

Yoongi menggelengkan kepalanya, "Asalkan kamu tidak telanjang di tengah pentas, kamu tidak bikin malu aku."

"Uh..?"

"Aku bercanda."

"Terserah hyung."

Alunan musiknya mulai hilang, suara piano pun berhenti. Yoongi menunjuk kearah toko musik tersebut, "Temani aku bermain."

Kaki Jimin bergerak sendiri, tangannya memegang buku diary pink. Dia melihat Yoongi yang berbincang singkat dengan pemain piano tadi. Lalu Yoongi sudah duduk di kursi, melihat kearah bongkahan piano besar. Mata Jimin mengerjap polos, pelukannya terhadap buku diary nya itu mengencang.

Ketika Yoongi menyentuh tuts pianonya, suara lagu yang di buat oleh Micheal Maxwell memiliki alunan indah pada sentuhan Yoongi terhadap piano itu justru membuat dunia yang Jimin tinggali kini tersorot kepadanya.

Waktu terus berlangsung, Jimin bahkan tidak menyadari ketika detik berganti menjadi menit. Orang yang berlalu lalang tidak sedikitpun menganggu Jimin. Manik mata Jimin berkaca-kaca, linang air mata sudah siap ingin menetes dari pelupuk matanya. Semakin lama pelukan buku diary nya mengerat.

Semua kesedihan yang dia alami, tekanan yang dia lewati, serta air mata atas keluarga dan kerinduan kepada Yoongi hyung mulai memudar. Seperti Yoongi memainkan piano itu untuk menghibur Jimin.

...

Dear Diary

Aku merindukannya

Tidak

Aku bertemu dengan Yoongi hyung.

Dia tersenyum kepadaku, menyentuh kepalaku, bahkan memainkan piano yang indah bikin semua beban-bena kehidupanku di masa lalu berkurang.

Sihir apa yang Yoongi hyung miliki kepadaku?

Ketampanan serta senyuman menawannya ketika bermain, itu benar-benar menghanyutkanku seperti aliran sungai yang mengalir tenang.

Bagaimana bisa?

Dia tidak kecewa padaku.

Dia justru menghiburku dengan piano yang ia buat.

Bahkan ketika aku berdiri, ditengah musim semi, suhu dingin ini tidak terasa. Aku hanya bisa merasakan suhu tubuhku memanas dan senyumanku untuknya.

Tuhan..

Aku mencintainya.

-Jimin-

Dear Diary 「Yoonmin」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang