Ritme, 12

760 159 37
                                    

Disini, ia berdiri. Memandang penuh lekat. Garis wajah seorang lelaki beberapa jam lalu mengklaim dirinya sebagai istri sah lelaki itu. Khanza masih tak percaya. Beberapa kali ia menepuk pipi. Meyakinkan ini bukanlah mimpi.

Benar saja. Ini adalah kenyataan yang harus ia terima.

Walau tak terasa nyata.

Sehabis melakukan salat shubuh. Ranz mengajak dirinya kembali berbaring. Ia ingin mendekap tubuh gadisnya. Membiarkan lelahnya terganti bunga dalam tidur dipenuhi wajah sang kekasih jiwa.

Alih-alih menurut. Khanza menolak. Dengan alasan, ia akan mengerjakan beberapa tugas kuliah. Mengirim email kesana-kesini. Bohong. Khanza hanya tak kuasa menahan detak jantungnya semakin menggila tatkala berada didekat Ranz. Suaminya.

Nahasnya, pintu kamar tetap tidak terbuka sama sekali sejak malam. Afkar pasti bersenang-senang dengan Nayla. Meninggalkan Zayn tertidur sendiri dikamarnya. Meninggalkan dirinya dipenuhi dengan rasa cemas, takut, bahagia menjadi satu. Satu kamar dengan orang yang belum ia kenal sepenuhnya.

Hanya mengetahui sekadar nama dan profesi. Selebihnya ia lupa.

Macbook lamanya sudah ia tutup sedari tadi. Membiarkan daya baterainya terisi aliran listrik. Ia lupa. Jika dirinya menaruh ponsel dibawah bantal yang menjadi tumpukkan kepala selebriti ternama. Jika saja ponsel itu dalam genggaman tangan. Mungkin ia tak akan menjadi kebingungan seperti ini. Entah ingin melakukan apa.

Perutnya sudah mengeluarkan bunyi sedari ia berkutat depan macbook. Detik jam terus melaju tanpa henti. Tak sadar, jarum pendek menunjuk ke arah sembilan. Sedangkan jarum panjang menunjuk ke arah tiga.

Afkar benar-benar keterlaluan. Belum membukakan pintu kamarnya.

Khanza kembali memandang lelaki di tempat ditidurnya. Ia berdiri tak jauh dari sana. Wajahnya tenang. Nafasnya teratur. Mendekap guling miliknya dengan erat. Senyumnya terukir disana. Bagaimana bisa?

Bahkan dengan terpejam sekalipun. Penampilan tak seindah di luar. Ranz memang photogenic. Sesekali kening tertutupi sebagian helain jambul rambut mengerut pelan.

Khanza tersadar dari lamunan. Ia sudah mandi. Mengenakan pakaian santai. Terkecuali malam ia membuka kain penutup kepala. Akibat Ranz menggendongnya. Kini, ia masih setiap mengenakan bergo maryam senada dengan warna pakaiannya. Dirinya belum terbiasa dengan lelaki ini. Walau, cincin bermata biru sudah melekat dijari manis sejak 3 hari lalu.

Sudah selama itukah?

Tekadnya sudah bulat. Ia akan mengambil ponsel dengan perlahan dibawah bantal. Toh, kedua tangan Ranz memeluk guling. Tak ada yang diselipkan kedalam bantal seperti kebiasaan tidurnya.

Khanza semakin mendekat. Berjalan perlahan. Derap langkah tak terdengar saking pelannya.

Perlahan namun pasti. Khanza membungkukkan badan. Tangan kirinya ia gunakan sebagai penopang tubuh. Tangan kanan, sudah merayap ke sprei. Memasukkan tangannya kedalam sana. Mencari keberadaan ponsel.

Ranz tertidur sangat lelap. Tak mungkin terbangun karena gerakannya. Selain perlahan, Khanza melakukan penuh dengan hati-hati. Wajahnya berjarak 30cm dari Ranz. Sangat dekat. Sebisa mungkin. Khanza menahan degup jantungnya kembali.

Berhasil. Jemarinya menangkap benda pipih itu. Tepat dibawah kepala Ranz.

Khanza mengigit bawah bibirnya. Takut. Tidur sang selebriti terganggu. Bukankah Ranz sangat lelah semalam? Benaknya meyakinkan bahwa Ranz takkan membuka mata. Tak sanggup jika ia kembali berada di dekat lelaki ini.

Setelah penantian berjam-jam. Akhirnya Khanza berhasil menarik sisi ponsel. Keluar dari bantal perlahan.

Kini, ponselnya sudah berada dalam genggaman. Khanza berdiri sempurna. Senyumnya semakin merekah. Mendapati daya baterai masih tersisa banyak. Cukup untuk menghilangkan rasa bosannya.

RITME; Married with SelebritiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang