Ritme, 28

501 61 22
                                    

Ingin rasanya Khanza membawa Ranz ke suatu pulau terpencil. Memasukkan Ranz ke dalam gua. Menutup mata dengan kain. Lantas meninggalkan begitu saja.

Niat ingin membuat Ranz marah karena takkan mengizinkan. Justru malah membuat ia termakan ucapannya.

Berbuat baiklah!

Perbuatan baik akan kembali padamu.

Perbuatan baik akan menyertaimu.

Dan keburukan akan mencelakaimu.

Sekalipun, kebaikanmu tak dihargai sekalipun.

Karena semua amalan kita di dunia ini pasti ada balasannya.

Ranz menahan tawa di tempat. Khanza kembali duduk. "Gak ada yang lucu!" ujarnya. Pipinya mengembung.

Ranz mencodongkan tubuh. Mengulurkan tangan kanan untuk mencubit pipi kembung Khanza. "Kamu lucu banget sih!" 

Ranz kembali menarik tangannya. Memasukkan keperluan yang tersisa ke dalam koper.

Khanza mengelus pipi. Menatap sinis Ranz.

"Miwa ikut Bubu kerja yuk,"

"Nggak ah. Gak minat."

"Nurut kata suami hukumnya wajib lhoh." Ranz tersenyum singkat dibalik rambut menutupi setengah wajah kala ia membungkuk.

"Kalau ada rumor tentang kita gimana?" tanya Khanza. Menghadap Ranz.

"Yaa resiko. Lagian kan punya bukti kok."

"Kita gak punya bukti selain cincin."

Ranz menatap Khanza sesaat. "Ada bukti lain."

"Buku nikah? Kita kan belum daftar. Baru beberapa hari kan nikahnya juga."

"Coba buka tas deket meja rias." Khanza menurut. Turun dari ranjang. Membuka tas yang dimaksud Ranz.

Hanya sehelai kain seprai putih bercorak horizontal transparan abu. "Gak ada apa-apa lhoh disini. Bubu gak jelas banget!!" Khanza mengeluarkan seprai. Mengedok isi tas. Tak ada apa-apa lagi selain pakaian bekas mereka dan seprai.

"Belum teliti kali. Coba lihat seprainya."

Khanza menarik sisi ke sisi ujung seprai. "Gak ad-" Ia segera membungkam bibir dengan tangan kanan.

"Astaghfirullahal'adzim." 

Dilihatnya ada noda sehabis mereka melakukan malam zafaf. Khanza kira, Ranz meninggalkan begitu saja di hotel.

Ternyata, suaminya ini paham agama.

"Gimana? Buktinya jelas kan? Selain dua orang saksi kemarin, Afkar, cincin dan seprai itu?" Ranz tertawa melihat ekspresi terkejut Khanza. Kemudian, ia melipat seprai cepat. Meletakkan kembali dalam tas.

Wajah Khanza memerah. Nggan sekali mengingat malam itu. Dimana malam ia merasakan terbang ke luar angkasa. Bisa-bisanya Ranz ini membuat ia terbang melayang setiap hari oleh sikap dan ucapannya. Bisa-bisa, meleleh tubuh Khanza seiring berjalannya waktu.

"Ikut ya? Kalau Miwa disini, jadi kambing congek Afkar sama Nayla lhoh."

"Udah biasa kalau jadi kambing congek mereka." Khanza mendesah. Duduk depan cermin meja rias. "Miwa disini aja gak papa. Belum siap masuk berita."

Ranz tertawa. Masuk ke dalam walk in closet. Mengambil kebutuhan pribadi. Memasukkan ke dalam koper. "Kalau kita satu apartment beda kamar gimana? Nggak akan ada yang tahu kalau kita pacaran."

Khanza menggelengkan kepala. "Mau nyiapin mental dulu. Bubu kan paprika. Kalau Miwa tuh kentang rebus. Sekali dipencet langsung bengek,"

Ranz tertawa terbahak-bahak. "Buktinya Miwa kuat kok pas perang di hotel. Nggak bengek juga."

RITME; Married with SelebritiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang