#39 Rencana

7 1 0
                                    

Tanp basa-basi cus langsung aja baca....

~~~~~

Malam ini Lintang sengaja mengumpulkan teman-temannya di taman deket rumah. Dirinya butuh sebuah klarifikasi tentang kematian Elang. Jika teman-temannya terbukti bersekongkol dengan Bintang dan mungkin Pandu, maka ia tidak akan memaafkan mereka. Dan mungkin ia akan menjadi sangat rapuh disaat dirinya membutuhkan seseorang.

Jam di tangan kiri Lintang menunjukkan pukul 19.25 dan mereka belum ada yang datang padahal janjian jam setengah delapan.

Angin malam semakin terasa di kulit tangan apalagi kini Lintang hanya menggunakan baju putih berlengan pendek dan celana joger panjang. Bintang-bintang pun sudah tidak ada yang terlihat padahal sebelum sampai taman Lintang melihat beberapa bintang.

Untunglah bintang malam ini kosong. Itu hanya akan mengingatkan Lintang kepada kakaknya saja. Rasanya masih sakit dan sesak di dada. Seorang kakak kandung begitu tega menutupi kematian seseorang dalam waktu yang begitu lama. Dan orang itu adalah orang yang sangat disayangi oleh Lintang. "Gue benci lo, Bang! Gue benci!" Lintang berteriak-teriak dalam hati sambil menengadah ke langit berharap Tuhan tahu apa yang ia rasakan sekarang.

Satu persatu temannya datang, kecuali Pandu. Tanpa basa-basi Lintang menyerahkan sebuah koran kecelakaan Elang pada mereka. Mereka nampak terkejut.

"Ada yang udah tahu?" tanya Lintang dengan selidik. "Apa cuma gue yang baru tahu ini? Apa cuma gue yang ditipu? Apa cuma gue yang dianggap gak penting sama kalian? Bahkan Pandu aja tahu?!" Cerca Lintang dengan begitu banyak pertanyaan.

Mereka saling menatap. Saling adu pandang. Seakan-akan mereka sedang berbicara melalui pikiran masing-masing dan sampai pada mereka. Melihat ini emosi Lintang semakin memuncak. Sepertinya memang benar ada yang tak beres dengan mereka.

"Kalau kalian diam aja mendingan kalian pergi dari kehidupan gue!" Bentak Lintang sambil beranjak dari duduknya.

Semuanya nampak terkejut melihat sikap Lintang malam ini. Ini memang resiko yang harus mereka hadapi karena telah menuruti kemauan Elang dan adiknya Elang.

Pelangi ikut berdiri dan berusaha menenangkan Lintang. "Sabar dulu ya, Lin. Kita bicarain baik-baik," ucap Pelangi dengan lembut dan berusaha menggapai bahu Lintang, namun hal itu langsung Lintang tepis.

"Bicara baik-baik kata, lo?!" Kini aura Lintang benar-benar terasa berbeda. Bahkan sekarang ia berteriak, memaki, bahkan memelototkan matanya. "Waktu gue tanya baik-baik waktu itu. Lo semua gak ada yang mau jelasin sama gue!" Ucapnya semakin meninggi.

"Gue berusaha sendiri buat nyari kebenarannya! Dan sekarang gue udah tahu semuanya! Kalian mau nyembunyiin apa lagi dari gue!" teriak Lintang prustasi. Kini tubuhnya merosot ke bawah bersimpuh pada lututnya yang basah terkena embun.

Tetes demi tetes air matanya jatuh bersama embun. Tak ada isak tangis, namun semuanya tahu bahwa Lintang kini sedang menangis. Bahunya bergerak naik-turun. Tangannya menggenggam rumput hijau yang tak bersalah dan semua temannya tak ada yang berani untuk mendekat.

Meraka saling tatap dan berusaha berbicara tanpa mengeluarkan suara. "Gimana?" tanya Anan menggerakkan mulutnya.

"Gak tahu gue bingung," jawab Pelangi tanpa suara pula. Ekspresi bingungnya terlihat sangat jelas dengan sedikit ekspresi ingin menangis sambil memegang kepalanya.

Azmi pun sama bingungnya. Ia hanya mengangkat sebelah bahunya dan kedua alisnya untuk menanyakan hal sama pada Anan.

Tanpa mereka sadari Manda hanya diam. Diamnya Manda tanpa ekspresi, bola matanya ke sana-kemari. Manda menundukkan kepalanya sambil memperhatikan jari-jarinya yang saling bertautan tak jelas.

~~~~~

Pagi ini tanpa berniat menuju meja makan Lintang pergi tanpa pamit bahkan memalingkan wajahnya ke sekitar saja tidak. Beruntung saat perang dingin dengan kakaknya, ayah mereka tak ada di sini.

Tangan Lintang sudah menggenggam Engsel pintu dan membukanya, namun Lintang tak kunjung melangkah karena teriakan seseorang.

"Lintang!"

Lintang tak menengok ataupun menyahut. Membiarkan suara itu menggema bersama udara. Lintang masih merasa kesal dengan sikap dan rahasia yang kakaknya sembunyian bertahun-tahun. Apalagi ini menyangkut kematian sahabat kecilnya, Elang.

Masih di posisi yang sama, Bintang meraih kedua bahu Lintang dan membawanya menghadap dirinya. "Dek, lo berangkat sama gue." Itu adalah sebuah perintah bukan sebuah ajakan.

"Gue gak mau berangkat bareng pembohong kayak, lo!"

Lintang menepis tangan Bintang dari kedua lengannya. "Please, dek. Lo berangkat bareng gue. Gue gak mau lo  kenapa-kenapa," Bintang kekeh dengan pendiriannya untuk tidak meninggalkan Lintang sendirian.

"Lo gak usah sok peduli gitu sama gue!"

Lintang membuka pintu dengan paksa lalu dibantingnya pintu itu keras-keras. "Dek!" Bintang berusaha membuat Lintang mengerti namun Lintang sendiri tak mau mengerti.

Lintang merasa kecewa. Rasanya ia tak mempunyai siapa-siapa lagi yang dapat dipercaya. Seseorang yang mempunyai ikatan darah pun dapat membohonginya. Apalagi teman-temannya. Ya teman-temannya ikut andil dalam bagian ini.

Hidup Lintang seperti tidak ada siapa-siapa lagi yang dapat dipercaya. Semuanya penghianat. Mereka hanya memasang topeng kasihan lalu tertawa dibalik topeng itu. Sangat menjijikkan.

Mood Lintang memang sedang kacau namun sekolah tak boleh ia tinggal. Waktu itu ia sudah pernah membolos dan mendapatkan siraman rohani oleh Papanya setelah Bintang memakinya. Pihak sekolah pun ikut memarahinya.

Yang terjadi justru ketika Lintang ke sekolah dengan kondisi seperti ini teman-teman yang lain mendapatkan getahnya. Seperti sapaan yang didiamkan, dibalas dengan ketus atau judes, dan pertanyaan yang dijawab dengan bentakkan.

Kini jam olahraga sedang kosong, pak Laga sedang sakit. Semuanya bebas melakukan apa saja asal tidak keluar dari sekolah. Kini Lintang duduk di bawah pohon mangga seorang diri. Merenungkan siapa yang menjadi penyebab kematian Elang.

Lintang merasa ada yang pada foto dalam koran itu. Tapi, apa kasus ini tidak ditindaklanjuti?

"Woy," sapa Pandu dengan ramah mendekati Lintang dan ikut duduk.

Lintang memutar bola matanya kemudian berdecak sambil beranjak dari duduknya ketika melihat siapa yang menyapanya.

Belum sepat melangkahkan kakinya, tangan Lintang ditarik oleh Pandu agar duduk kembali. Dengan malas Lintang harus berdebat dengan Pandu. "Lepasin gue!"

"Duduk," titah Pandu mengabaikan permintaan Lintang.

~~~~~

Udah bacanya?

Kalau udah jangan lupa tekan tombol vote ya dan komen juga. Semangat untuk hari ini!

Salam manis dari Lima Indian Alfa 😊👋

RAINBOW BAD BOY (proses) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang