Sudah berjalan 6 bulan semenjak tragedi di bar, Mino masih dengan kelakuannya party every night dan pulang mabuk bersama wanita lain. Sedangkan Jennie masih pasrah dan sedikit-sedikit mulai berjarak lagi dengan Mino. Tapi itu lebih menenangkan untuknya daripada harus merasa tidak karuan karena dekat dengan Mino.
Mereka berdua sudah dijalan menuju rumah Ibu Mino untuk makan bersama Rose. Ibu Mino sedang ada acara arisan sosialita yang tidak bisa diganggu gugat.
Jalanan hari itu sangat ramai, selain karena weekend, hari ini juga awal bulan dimana orang-orang ramai-ramai memberi reward ke diri mereka yang telah bekerja keras selama sebulan penuh.
Mino memarkirkan mobilnya di halaman rumah Ibunya. Jennie keluar dan berjalan kearah pintu tanpa menunggu Mino. Ia menekan bel dan tidak lama Rose membuka pintu dengan wajah sedih, takut dan tegang.
"Wae?"tanya Jennie memegang wajah adiknya.
"Appa dan Eomma ada didalam."jawab Rose.
"Kau memanggil Ayah dan Ibu Mino jadi Appa dan Eomma?"ejek Jennie mennggandeng Rose masuk. Begitu Jennie melihat kearah ruang tamu, ia tidak percaya apa yang ia lihat. Ayah dan Ibunya berdiri dan tersenyum kearahnya. Ya, Ayah dan Ibu yang menelantarkannya dan membuatnya berjuang sendirian.
"Jennie."sapa mereka bersamaan.
"Apa yang kalian lakukan disini?"tanya Jennie dengan wajah masam dan suara parau menahan emosi. Rose mengenggam tangan kakaknya mencoba menahan emosi kakaknya yang terlihat.
"Kami merindukanmu. Apakah laki-laki dibelakangmu suamimu? Halo, saya Ayah Jennie."ucap Ayah Jennie sambil tersenyum.
"Annyeonghaseyo."sapa Mino menunduk.
"Darimana kalian tahu rumah ini?"tanya Jennie tanpa tersenyum sedikitpun.
"Ah, Eomma beberapa kali main ke sekolah Rose. Rose yang memberitahu kami."jawab Ibu Jennie. Jennie menoleh kearah Rose, Rose menunduk.
"Mianhaeyo, Eonnie. Appa dan Eomma terus datang dan meminta uang dariku hingga aku gak bisa jajan."ucap Rose jujur.
"Ah, Jennie. Kami tak bermaksud meminta uang, hanya saja kami butuh bantuan sedikit."cerita Ayahnya.
"Setelah aku, kini kalian akan menyusahkan Rose?"tanya Jennie dingin menahan air matanya.
"Bukan begitu—"
"Cukup aku. Cukup aku yang menderita. Jangan pernah kalian buat Rose menderita."ucap Jennie dengan suara bergetar.
Mino mencolek Rose dan menyuruh Rose masuk kekamarnya. Rose mengangguk dan berlari ke kamarnya. Mino mengenggam tangan Jennie, "Tahan."
"Nak, bukankah itu keterlaluan? Kamu begini kepada kami karena kamu sekarang sudah menikah dengan orang kaya? Apa kamu menjual dirimu?"ucap Ibu Jennie tanpa ampun.
"Eommonim—"belum sempat Mino membela Jennie, Jennie memotongnya dan seakan meluapkan semua kesedihannya.
"Nde, aku menjual diriku. Apapun akan ku lakukan agar aku dan Rose tidak hidup menjadi sampah seperti kalian. Apa kalian tahu yang harus aku lalui setiap harinya?! Aku harus bekerja mati-matian, membiayai Rose dan hidup kami hingga aku tidak bisa menikmati masa mudaku! Hidupku di teror penagih hutang karena kalian! Apa kalian tahu?!"teriak Jennie dengan air mata mengalir deras dari kedua matanya.
"Jennie, itu karena kami mengandalkanmu. Kamu lebih dewasa dari Rose."
"Jika kalian mengandalkanku, bertumpu dan menaruh seluruh beban hidup kalian padaku. Kepada siapa aku harus bersandar? Siapa yang harus aku andalkan? Aku juga butuh kasih sayang. Aku juga kesepian!"teriak Jennie lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
(UN)FORTUNATE FATE
FanficKim Jennie, 22 tahun. Selalu sial. Ditinggal pacarnya yang kaya karena tidak direstui, gagal debut, ditinggal kedua orangtuanya yang kabur karena dikejar hutang, dipecat dari pekerjaannya karena penagih hutang selalu datang ke kafe tempat ia bekerja...