Awal mengenalnya

4.5K 496 13
                                    

"Jahat banget lu, Bram." dengan gemas ku koyak kartu undangan dengan potret indah prewedding sebagai backgroundnya.

Laki-laki yang kini menyandang gelar jaksa umum itu benar-benar sukses membuat hatiku patah sekarang ini.

Satu tahun mengenalnya, Bramastha,  dirinya yang merupakan mahasiswa tingkat akhir di PTN yang sama denganku berkuliah, saling tertarik, satu hobi, dan satu komunitas.

Siapa yang tidak akan memendam rasa jika perlakuannya sungguh manis, sering kala menghabiskan waktu layaknya pasangan, nonton, nongkrong, membantuku mencari bahan tugas di saat aku kesulitan di awal kuliah.

Bahkan banyak yang mengira jika aku dan Bram, begitu dia di kenal, sudah lebih dari seorang teman, terlalu dekat untuk sahabat, dan tidak ada status jika dinamakan pacar.

Dan nyatanya, aku memang benar-benar bodoh, membiarkan hatiku terlanjur nyaman dan jatuh pada setiap perlakuan hangatnya yang manis.

Tanpa aku sadari, jika nyatanya aku jatuh seorang diri pada cinta tak terbalas. Hari di mana Bram mengatakan hal penting secara mendadak, dan ingin berbicara serius, ku pikir dia akan menyatakan perasaan yang selama ini membuatku bertanya-tanya.

Hari itu memang tiba, menjawab hal yang selama ini ku tunggu, tapi bukan pernyataan 'aku mencintaimu, Linda Natsir', tapi pernyataan di barengi kartu undangan pertunangan, dirinya dan perempuan berhijab yang satu Prodi denganku.

Pereyang menjadi alasannya terus-menerus mendekatiku, rasanya sangat menyesakkan, saat kita sadar, jika nyatanya kita hanya menjadi batu pijakan.

Bahkan aku masih mengingat wajahnya yang semringah saat menyodorkan kartu undangan tersebut, tersenyum lebar, tanpa tahu, jika orang yang ada di depan wajahnya sedang mencoba tetap baik-baik saja walaupun hatinya hancur berkeping-keping.

"Lin, kamu harus datang ya, ke pertunangan aku sama Bunga. Tanpa dekat sama kamu, aku nggak bakal bisa dekat sama dia."

Hell, dia dengan mudahnya mengatakan hal itu tanpa beban bersalah sedikitpun telah memanfaatkanku.

Jika dia dari awal hanya mengincar perempuan lain, kenapa dia harus tersenyum senang saat mendengar godaan yang orang-orang lontarkan kami berdua, Bram justru merangkul ku erat setiap kali semua itu terjadi.

Jika seperti itu, salahkah aku yang terbawa rasa.

Ku pandangi potret polaroid Bram dan diriku yang sengaja ku tempel di depan tempat belajarku, bersanding dengan berbagai kalimat motivasi dan juga visi misi hidupku ke depannya.

Rasa kecewa, dan marah menyeruak masuk ke dalam hatiku sekarang ini, di potret itu dia tersenyum lebar, terlihat bahagia, yang aku kira dia bahagia karena diriku, nyatanya, lagi-lagi aku keliru.

Dengan penuh kekesalan, kutusuk wajah tersenyum ini sekuat tenaga dengan bolpoin yang ku pegang.

"Dasar, lo emang bangke, Bram! PHP lo, dari awal kalo suka Bunga ya deketin Bunga. Nggak usah deketin gue, sialan emang lo, brengsek!"

Tapi tak pelak, usai mengoyak habis wajah Bram, air mataku turun, teringat semua kebodohanku yang menyia-nyiakan satu tahun ini hanya untuk jatuh cinta seorang diri.

Perlahan tangisanku berubah menjadi isakan seiring dengan derasnya air mataku, memangnya siapa yang akan menyukaiku, jika bersanding dengan Bunga aku bukan siapa-siapa.

Bunga sosok agamis, lembut, murah senyum, dan pemalu, istri dan menantu idaman, sedangkan diriku, si ketus, si jutek, angkuh, sombong, dan banyak lagi julukan yang membuat mereka enggan berteman denganku.

Dan saat Bramastha tidak peduli dengan semua itu, dan menghujaniku dengan sikap perhatian yang hangat, nyatanya itu pun tidak seperti yang ku bayangkan.

Linda Natsir (Tersedia Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang