Dua tahun berlalu.
“Dokter Linda, ada paket.”
Baru saja aku keluar dari ruangan mengikuti Dokter senior yang sedang visit saat Hilman, salah satu staf rumah sakit yang bertugas di bagian penerimaan barang, memanggilku dengan sebuah kotak di tangannya.
Melihat wajah datarku membuat Hilman mengkerut ketakutan, bukan hal yang baru jika ada orang yang ketakutan dengan wajahku.
Bahkan di lingkungan rumah sakit tempatku menjadi Residen, semua masih menatapku ngeri, segan hanya untuk menegur dan menyapa.
Pemandangan yang sama seperti saat aku berada di kampus dulu, tapi sekarang, semua itu sama sekali tidak membuatku terganggu.
Kalimat seseorang yang masih ku ingat hingga sekarang selalu bisa membuatku tetap baik-baik saja.
Kamu itu seperti Bintang, walaupun sendirian, kamu tetap bersinar terang.
“Makasih Hil.” ucapku padanya.
Tapi Hilman tidak langsung pergi walaupun kini paketnya sudah berada di tanganku, laki-laki yang tiga tahun lebih muda dariku ini justru menatapku lekat walaupun ketakutan tidak bisa hilang di wajahnya.
“Senyum dikit dong Dok, Dokter Linda sebenarnya Dokter paling cantik selain Dokter Renita sama Dokter Eva.”
Aku hanya mendongak dan memperhatikan Hilman dengan lekat saat mendengar perkataannya, tapi sepertinya tatapanku membuat pegawai magang di rumah sakit ini takut, karena detik berikutnya dia langsung berlari menjauh dariku.
Hampir saja aku membuka kotak hadiah yang datang sebelum tanggal ulang tahunku ini, bertanya-tanya apa ini salah satu hadiah yang datang lebih awal, tapi sayangnya pemandangan yang kulihat di depan mataku membuatku urung.
Di depanku, ada masa lalu Mas Lingga, seseorang yang membuat Mas Lingga jauh-jauh pindah dari tempat dinasnya menggunakan kekuasaan Papa saat aku mengatakan jika aku melihatnya menjadi Koass di tempat aku menjadi residen.
Melihat Evalia aku seperti melihat gambaranku dulu saat patah hati karena Bram. Bedanya, mungkin nasib Evalia jauh lebih mengenaskan, karena dia tidak tahu, sahabatnya sendiri yang mengkhianatinya, berbeda dengan ku dan Bunga yang sama sekali bukan siapa-siapa.
Aku sudah bisa membayangkan bagaimana patah hatinya perempuan cantik bertubuh kecil itu saat tahu, kekasihnya sedang menyiapkan pernikahan dengan sahabatnya sendiri, mungkin dia akan menangis berhari-hari seperti yang kulakukan saat menerima undangan Bram dan Bunga.
Saat aku melihat tawa Eva karena Renita, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mencibirnya, bodoh sekali Evalia ini, saat tempo hari kuberitahu sebuah isyarat tentang bobroknya sahabatnya, dia justru berpikir aku yang jahat ingin mengadu domba mereka berdua.
Dasar bodoh!!
Aku tidak habis pikir, Masku rela menjadi lebih bodoh hanya demi mencintai perempuan bodoh ini.
Bukankah kamu juga bodoh Lin, mengatakan tidak akan mencintai laki-laki yang tidak mau memperjuangkanmu, tapi pada kenyataannya kamu tidak bisa melepaskan bayangannya barang sekejap.
Aku berusaha melupakannya, tapi sayangnya semakin keras berusaha, justru wajahnya yang datar dan membosankan semakin mengejekku tiada berhenti.
Kamu mengatakan jika semuanya berakhir seperti yang diinginkannya, melupakan satu sama lain, sama seperti saat kalian tidak saling mengenal, tapi pada kenyataannya, kamu selalu mencuri dengar apapun tentangnya.
Melupakan tidak serta merta bisa lupa begitu saja, kalaupun aku tidak mencuri dengar, namanya akan terus menerus terucap dari mereka yang ada di sekelilingku.
Mencari tahu, apakah di tempat barunya dia sudah menemukan sosok yang menggantikanmu?
Mencari tahu, apakah selama ini dia juga merindukanmu? Sama seperti dirimu, yang tidak bisa menghapuskan begitu saja segala kenangan indah bersamanya.
Aku tersenyum kecil menyadari betapa bodohnya diriku ini, di ingatanku segala ingatan tentang Hakim adalah kenangan indah, mulai dari hal sederhana, hingga perlakuan istimewanya.
Kamu bisa menjadi gila hanya karena mendengar dia mendapatkan tamu perempuan, dan kamu bisa tersenyum tanpa henti saat tahu dia masih sendiri dan hanya membagi senyum bahagia denganmu.
Ya, sampai sekarang aku memang tidak rela melihatnya membagi senyuman dengan orang lain selain diriku, entah kapan aku bisa merelakannya, akupun tidak tahu.
Kamu bisa berpura-pura lupa padanya, tapi pada kenyataannya, kamu hanya belajar untuk terus mencintainya, karena membencinya saja kamu gagal Lin.
Ya, aku pernah begitu membencinya, dan pada kenyataanya, benci itu hilang tertiup oleh rasa cinta yang datang tiba-tiba, sekeras apapun aku mencoba membencinya karena memilih mundur dan tidak memperjuangkanku, aku tidak bisa membencinya untuk kedua kalinya.
Dua tahun, bukan waktu yang singkat, lebih dari cukup untuk membuka hati terhadap cinta yang lain. Tapi nyatanya kamu masih bersikukuh dengan namanya yang merajai hatimu bukan?
Ku pegang erat dadaku, bahkan dadaku masih berdegup begitu kencang setiap kali teringat olehnya. Entah berapa lama waktuku untuk bisa benar-benar melupakan cinta yang begitu kuat menancap ini.
Setiap usaha Mama untuk menjodohkanku dengan rekan bisnisnya sama sekali tidak bisa membuatku melupakan Hakim.
Bersikap acuh setiap kali bertemu muka, walaupun sebenarnya dalam hatimu meronta ingin menyapa.
Memasang wajah angkuh dan tidak peduli, padahal dalam hati ingin berlari memeluknya.
Kamu selain sombong, juga pemain sandiwara yang apik ya, Lin.
Aku tersenyum kecil mendengar perdebatan hati kecilku yang mengolok-olokku, menganggap Mas Lingga sangat menyedihkan karena mencintai seseorang yang tidak diingatnya, sementara kisahku dan Hakim jauh lebih menyedihkan.
Saling mencintai, tapi tidak bersama, karena aku yang ingin di perjuangkan, dan karena Hakim yang terhalang oleh hutang budi.
Membuatku dan Hakim hanya bisa saling memandang dari kejauhan karena tembok tak kasat mata yang di bangun Mama untuk menjauhkan kami berdua.
Cinta memang rumit, jika tidak bertepuk sebelah tangan ya terhalang restu orangtua. Entah sampai kapan aku sanggup berpura-pura semuanya baik-baik saja, seakan tidak pernah ada rasa antara aku dan dirinya.
Berpura-pura seperti dua orang asing yang sama sekali tidak mengenal jika saling menyapa, walaupun dalam hati sudah berteriak betapa aku merindunya.
Bahkan hingga detik ini aku masih mengharapkan keajaiban, berharap takdir sedikit berbaik hati padaku dan Hakim untuk bersama.
Karena sama sepertiku, pandangan cinta di matanya tidak pernah berkurang sama seperti terakhir kali aku bisa leluasa menatapnya.
Jika tidak bisa menyatukan aku dan Hakim untuk saling melangkah bersama, paling tidak aku berharap, jika akhirnya rasa cinta yang ada untuk dirinya di dalam hatiku menghilang perlahan, dan tergantikan oleh cinta yang lainnya, sama seperti saat dulu aku begitu mudah jatuh hati padanya.
Aku menggelengkan kepalaku, mengenyahkan pikiranku akan Hakim di setiap hal yang selalu kulihat.
Perhatianku teralih pada kotak yang ada di tanganku, hadiah dari orang yang belum kuketahui yang semenjak tadi aku acuhkan karena si Bodoh Eva dan juga Hakim yang tidak mau beranjak dari kepalaku.
Tanganku tergerak membuka kotak hadiah yang ada di tanganku, kelopak bunga mawar kering yang tersusun rapi membentuk sebuah sampul buku kudapatkan di dalamnya membuatku tercengang.
Sebuah hadiah indah yang kutahu, jika perlu usaha keras untuk membuatnya bisa sesempurna ini.
Sepucuk kartu ucapan yang terdapat di sudut kotak menarik perhatianku, tulisan tangan rapi langsung menyambutku saat aku membukanya.
Happy Birthday Princess Natsir.
Semoga kamu selalu bahagia.
Hakim Perwira.
Aku tersenyum miris melihatnya, meremas sepucuk surat tersebut seakan-akan itu adalah sang Pengirim, dia tidak tahu jika aku berusaha sangat keras untuk berpura-pura baik-baik saja, bagaimana aku akan belajar menjauh darinya, jika sejauh apa pun dirinya, perlakuan sederhananya selalu membuat rasa yang ku miliki semakin tumbuh menguat.
Rasanya aku lelah.
❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Linda Natsir (Tersedia Ebook)
RomansaSiklus hidup manusia itu begitu sederhana. Hanya terdiri dua bagian, Bahagia dan Sedih. Disaat kita jatuh hati, dunia begitu penuh dengan warna-warni indah, dan kita hati akan patah jika tidak bersambut dengan cintanya, dan seiring waktu kita akan k...