"Jika benar cemburu, lalu apa tanggapanmu?"
Aku benar-benar gila, menanyakan hal yang sama dalam satu hari pada dua lelaki yang berbeda.
Aku baru saja menelan kekecewaan dari jawaban Bram, dan mungkin saja aku akan kecewa lagi untuk kedua kalinya dengan jawaban Hakim.
Terlebih saat Hakim hanya termangu tanpa jawaban, dia hanya diam dengan pandangan yang tidak bisa ku artikan, entah dia menganggap pertanyaanku benar-benar serius, atau justru sebaliknya, atau malah sedang menyiapkan kata yang benar untuk menjawab tidak.
Rasanya bahkan aku ingin menenggelamkan wajahku kedalam tanah sekarang juga, tidak berani untuk melihat Hakim, entah apa yang ada di otakku, seharusnya aku menyangkalnya, tapi aku justru menantang Hakim dengan pertanyaan bodoh tersebut.
Tubuhku membeku saat tangannya yang semula berada di bahuku, mendadak turun, perlahan tubuh besarnya itu mendekat padaku, merengkuhku ke dalam pelukannya yang tidak ku sangka-sangka.
Membungkus tubuhku dengan kehangatan yang membuncah dan akhirnya meledak oleh rasa bahagia yang tidak bisa kukatakan.
Bahkan kini aku bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup sama kencangnya denganku, wangi musk yang segar dari tubuhnya yang memelukku membuatku mabuk kepayang.
Hakim sama sekali tidak menjawab, tapi dia justru memelukku begitu erat.
"Apa kamu ngerasain jantungmu yang sekarang berdetak kencang, Lin? Apa kamu ingin aku melepaskan pelukanku?"
Suaraku tercekat, membuatku hanya bisa menggelengkan kepala perlahan, bahkan aku khawatir jika aku akan terkena serangan jantung mendadak.
Pelukan Hakim mengerat saat mengetahui jawabanku, "Apa kamu tidak rela aku tersenyum dengan orang lain?"
Kembali aku mengangguk, jika sedari tadi tanganku hanya tergantung di kedua sisi tanganku, maka kini, aku memberanikan diriku sendiri untuk membalas pelukan Hakim.
Berbalik merengkuh tubuh tegap yang begitu pas terasa melengkapi diriku.
Perasaan apa ini, hanya seperti ini, dan rasanya aku sudah bahagia, tidak ada ucapan manis, dan tidak perlu perlakuan istimewa, hanya perlakuan sederhana seperti ini saja sudah cukup, bahkan melebihi apa yang sudah diberikan Bram padaku.
Aku perlu waktu lama untuk merasa nyaman bersama Bram, tapi dengan laki-laki membosankan ini, tanpa sadar, hanya sekedip mata, dan aku telah terjerat padanya.
"Apa tanggapanmu jika aku benar cemburu Kim? Apa kamu takut denganku?" aku melerai pelukan Hakim tanpa melepaskan tanganku yang enggan menjauh dari tubuh tegap yang begitu hangat ini.
Inilah yang kuinginkan, Hakim yang berwajah hangat, dan hangatnya Hakim ini hanya boleh untukku seorang diri, bukan untuk berbagi dengan orang lain.
Aku memang egois dalam cinta, aku tidak ingin hanya menjadi penonton dan tamu seperti sebelumnya, kali ini aku benar-benar menyingkirkan rasa maluku untuk menanyakan langsung pada tersangka yang membuatku terbawa rasa.
"Bagaimana bisa seorang Tuan Putri sepertimu cemburu pada seorang bawahan sepertiku, Linda? Bukannya menakutkan, tapi aku merasa tidak pantas."
Aku terkekeh mendengar suara Hakim yang begitu tercekat, terdengar tidak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya dariku.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu Hakim, kenapa kamu selancang ini masuk ke dalam hatiku? Tanpa permisi, dan aba-aba! Kenapa laki-laki membosankan sepertimu justru membuatku jatuh hati secepat ini!"
Hakim merangkum pipiku, merasakan telapak tangannya yang hangat membuat pipiku memerah karena tatapan matanya sekarang ini.
Mungkin jika aku tidak memeluk pinggangnya, aku akan jatuh karena kakiku yang terasa lemas karena perlakuannya.
"Jadi, setelah apa yang kamu rasakan padaku, apa kamu mengizinkan bawahan Papamu yang membosankan ini untuk mencintaimu, memperlakukanmu dengan istimewa dan berbagi senyum bahagia hanya denganmu saja?"
❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤
Hakim POV.
Tanganku terulur menyingkirkan anak rambut Linda yang menjuntai menutup dahinya.
Tanpa sadar aku tersenyum, senyum yang bahkan aku lupakan kapan terakhir kalinya aku tertawa bahagia, bukan hanya formalitas semata untuk menghargai lawan bicaraku.
Wajah cantik yang membuat duniaku jungkir balik, membuatku seperti orang sinting di kala Akmil karena menempel pada Lingga hanya untuk mendengar suaranya melalui sambungan telepon.
Aku menyukai bagaimana dia bercerita menggebu tentang bagaimana temannya enggan berteman dengannya karena wajah angkuhnya.
Dan puncaknya adalah di saat Makrab, wajah cantik rekanita yang di gandeng Lingga penuh kebanggaan itu mencuri hatiku tidak bersisa.
Ternyata bukan hanya suaranya yang menyihirku, tapi juga wajah cantiknya, lesung pipi dan giginya yang gingsul saat tersenyum mampu membuatku membeku seketika.
Suara ejekan dan sorakan yang diberikan rekanku karena aku tidak membawa rekanita sama sekali tidak kuhiraukan, melihat adik Lingga saja sudah membuatku merasa jika Bidadari datang menghampiriku.
Saat itu aku ingin sekali berteriak keras, mengatakan pada mereka semua yang mengolokku, jika Rekanita idamanku sedang di jaga dan di gandeng oleh Kakaknya, hingga mungkin satu hari nanti Tuhan berbaik hati memberiku kesempatan bertemu dengannya kembali.
Sayangnya aku adalah laki-laki pengecut, menyapa dan berkenalan seperti rekanku yang lainnya pada Linda saja aku tidak berani.
Aku hanya bisa menatapnya keindahannya dari kejauhan.
Nyatanya, aku hanya bisa mengagumi Putri Jendral Anggara Natsir itu dalam diamku, merasa kerdil seorang yatim piatu sepertiku mencintai Seorang Tuan Putri seperti Linda, karena aku sadar diri, sebaik apa pun keluarga Natsir padaku, mereka tidak akan mengizinkan Putri mereka untuk di dekati seorang yang hanya perwira sepertiku, tanpa ada embel-embel nama besar, maupun perusahaan raksasa seperti mereka.
Dan di saat aku di berikan tugas untuk menjaga perempuan yang diam-diam ku cintai ini, rasanya tidak ada yang lebih membahagiakan dari hal tersebut, membayangkan akan melihat wajah cantik dan suaranya saja mampu membuatku tidak tidur sepanjang malam.
Aku bukan laki-laki bermulut manis, yang membuat kesan pertamaku saat kali bertemu dengannya begitu buruk, dan aku harus menerima pil pahit pahit melihat ketidasukaan dan penolakan yang begitu nyata dari Linda.
Tapi nyatanya, setelah semua kebencian, ketidaksukaan, dan penolakan, kini aku bisa merasakan betapa leganya bisa mencintainya secara terbuka.
Linda tidak tahu, bagaimana bahagianya diriku saat dia memberikan izin padaku untuk bisa mencintainya, rasanya seperti sebuah mimpi yang menjadi kenyataan.
Aku yang hanya menatapnya dari kejauhan, kini bisa menggenggam tangannya dengan begitu erat. Mencintainya saja sudah membuat hidupku yang tanpa tujuan menjadi lebih berwarna.
Apa lagi saat cinta yang kurasakan terbalas, di antara banyaknya laki-laki sempurna bawahan Papanya, yang akan rela berjajar hanya untuk bisa mendapatkan hati Tuan Putri tak tersentuh sepertinya, Linda justru memilihku.
Laki-laki penuh kekurangan dan ketimpangan dari segala sisi di bandingkan dengannya yang merupakan wujud akan kesempurnaan.
Untuk sekarang biarkan aku bahagia, karena aku tahu, ini hanya sebuah awal, kedepannya aku tahu, jalanku untuk terus menggenggam erat tangan perempuan cantik di sampingku ini tidak akan mudah.
Begitu terjal dan curam, entah aku mampu melewatinya atau tidak, sekarang ini aku hanya ingin bahagia, merasakan mimpi dari kekagumanku yang menjadi kenyataan.
Aku tidak tahu akhirnya Linda, akupun tidak berani menjanjikan apapun, tapi yang bisa ku pastikan, apapun yang akan terjadi.
Aku mencintaimu, sangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Linda Natsir (Tersedia Ebook)
RomanceSiklus hidup manusia itu begitu sederhana. Hanya terdiri dua bagian, Bahagia dan Sedih. Disaat kita jatuh hati, dunia begitu penuh dengan warna-warni indah, dan kita hati akan patah jika tidak bersambut dengan cintanya, dan seiring waktu kita akan k...