Terima kasih

3K 485 12
                                    

"Pacarmu, Lin?"

Pertanyaan Bram membuatku tidak bisa lekas menjawabnya, tapi nyatanya, laki-laki membosankan ini lebih ahli dariku dalam hal berakting.

Dengan sebuah senyuman tegas yang sarat akan wibawa, dia mengambil alih jabatan tangan Bram, dan menjawabnya dengan suara tegas.

"Seperti itulah kira-kira, Mas. Bisa di bilang Pacar walaupun jarang bertemu."

Hell, pintar sekali dia bukan, dalam bersandiwara, lihatlah gayanya yang begitu meyakinkan.

"Kok saya nggak pernah dengar Linda bercerita tentang Anda, sudah berapa lama kalian pacaran?"

Dahi Bram mengernyit, dia melupakan jika sekarang kami berada di tengah hari bahagianya sebelum pernikahan, dan dia justru tampak begitu kepo dengan kehadiran Hakim yang tiba-tiba dan berkata dia adalah pacarku.

Tingkahnya yang heran berlebihan, terlalu aneh rasanya sikapnya ini, berlebihan hanya untuk sekedar teman, dia bahkan lebih mirip seperti seorang yang cemburu.

Kikikan geli keluar dari Hakim, sungguh pemandangan langka melihatnya tersenyum, bahkan tertawa seperti sekarang ini, membuatku aku hanya termangu melihat wajahnya yang harus ku akui semakin manis dengan tai lalat kecil di ujung bibirnya.

"Anda tidak mengenal saya, tapi saya mengenal betul siapa Anda, selama saya berada di Akmil, Pacar saya ini kadang-kadang juga bercerita tentang Anda. Bahkan sering saya merasa cemburu, yang pacarnya saya, tapi nama Anda yang selalu di sebut."

Bram menatapku dengan pandangan bertanya, seakan menanyakan kebenaran dari kisah bualan Hakim.

Aku menatap Hakim sejenak, menatap senyuman yang sangat langka tersebut, sembari merasakan genggaman tangannya yang sedikit mengerat.

"Bukan hanya kamu yang punya kisah rahasia, Bram. Kaget kan, sama kek aku yang tiba-tiba dapat undangan pertunangan kalian, Bunga juga nggak ada cerita." ujarku sambil menoleh pada Bunga yang menatap Hakim penuh minat.

"Tapi..."

Aku buru-buru menambahkan sebelum Bram semakin menyela. "Sama sepertimu yang menutup ini rapat. Begitupun denganku, kamu tahu sendiri kan, sedekat apa pun kamu sama aku, kita nggak lebih dari sekedar teman."

Raut tidak suka terlihat jelas di wajah Bram, senyuman miring terlihat di wajahnya sebelum suara Bunga mengalihkan perhatian kami.

"Kamu di Akmil?" tanyannya pada Hakim, " PaMa dong." ucapnya antusias.

Aku berdecih sebal saat melihat wajah berbinar Bunga, perempuan yang kesehariannya begitu tenang dan kalem ini tampak nyata menunjukan ketertarikannya pada status Hakim.

Dengan kesal aku melepaskan genggaman tangan Hakim dan beralih dengan memeluk lengannya erat, sama seperti yang di lakukan olehnya pada Bram.

"Iya Bunga, Pacarku ini Perwira muda." aku mencondongkan badanku agak ke depan, memastikan jika kedua orang ini mendengar apa yang akan ku katakan dengan jelas.

"Aku menyimpannya rapat, agar tidak ada seorangpun yang bisa merebutnya, kamu tahukan, jika wajahnya yang tampan dan kariernya yang gemilang bisa membuat para perempuan khilaf dan melupakan statusnya."

Sejak tadi tunangannya nyerocos tidak berhenti dia tidak peduli, dan saat Hakim mengatakan jika dia seorang jebolan Akmil, dia baru mulai nimbrung.

"Mereka kebanyakan nonton Drakor kali ya, Lin." ucap Bunga canggung melihat wajahku yang mulai tidak bersahabat.

Aku hanya mengangguk sembari menyandarkan kepalaku pada bahu Hakim, walaupun kurasakan tubuhnya menegang karena apa yang kulakukan ini.

"Makanya kamu nggak boleh senyum-senyum kek tadi ya, Bunga ke pacarku. Abang loreng ini pacarku. Punyamu yang itu tuh, yang bakal pakai jas hitam di Pengadilan." aku menatap Hakim, tersenyum lebar, seolah menunjukkan betapa bahagianya aku mendapatkannya., yang di balasnya dengan begitu apik.

"Bukan begitu, Sayang?"

Selorohanku di sambut tawa canggung keduanya walaupun wajah masam mereka tidak sepenuhnya bisa tertutupi, hingga akhirnya, helaan nafas lega bisa terhembus dariku saat sesi foto bersama dengan dua orang ini selesai.

Ternyata, berpura-pura baik-baik setelah cinta bertepuk sebelah tangan itu lelah ya.

❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤

"Lain kali jangan hilang-hilang lagi."

Aku nyaris memejamkan mata saat suara Hakim memecah keheningan kabin dalam mobil ini.

Rasanya aku ingin menegurnya karena sudah mengganggu acara mengantuk ku, tapi saat aku menoleh dan mendapati sirat khawatir di wajahnya walaupun sekilas, teguran dan kalimat yang siap meluncur keluar itu kembali tertelan masuk.

Dari samping aku bisa melihat betapa mancungnya hidung milik laki-laki membosankan ini, terlihat begitu pas dengan bibirnya yang tipis dan jarang tersenyum ini, tanpa ku sadari, aku yang begitu jarang akrab dengan seseorang ini justru tersenyum kecil melihat wajah datar tanpa ekspresi tersebut.

Aku memilih bersandar di kursi, menyamankan diri menatap Hakim, "Dari mana kamu tahu jika aku datang ke acara itu tadi?"

Hakim menoleh sebentar, hanya sebentar sebelum dia kembali menatap jalanan yang baginya lebih menarik dari pada aku.

"Aku masih ingat tempat di kartu undangan yang pernah di lempar sama Lingga tempo hari."

Jawaban yang singkat, tapi membuatku tahu, jika dia sosok yang peduli di balik sikap cueknya yang kelewatan.

"Lalu, sudah kubilang bukan jika aku tidak menerima bantuanmu, kamu pernah menolak ajakanku, dan aku tidak menerima hal untuk kedua kalinya."

Hakim mendengus keras, satu kemajuan dia mengeluarkan ekspresi lain selain datar.

Tapi sepertinya hari ini selain tadi saat berpura-pura di depan Bram dan Bunga tadi, aku memang beruntung bisa melihat Hakim yang tersenyum tipis, sangat tipis hingga nyaris tidak terlihat.

Pandangan matanya pun lebih bersahabat dari sebelum-sebelumnya, dan harus ku akui, Hakim jauh lebih manusia sekarang ini.

Bahkan pikiran nakalku mulai menari-nari, membayangkan betapa menariknya laki-laki membosankan di sampingku ini jika seandainya dia sehangat saat menggenggam tanganku tadi di pesta pertunangan Bram dan Bunga.

Aaaahhh, semyebalkan diriku, tetap saja aku ini perempuan yang mudah terbawa rasa. Di perlakukan bak tuan Putri yang begitu di cintai olehnya walaupun hanya sekedar sandiwara semata, bohong jika aku mengatakan hatiku tidak bergetar mendapatkan semua itu.

Terlebih saat tatapan mata Hakim kini yang tampak begitu dalam saat menatapku, bibir tipis yang sering terdiam itu kini terbuka untuk menjawab setiap pertanyaanku yang sedari tadi terlontar.

"Tapi wajahmu menyiratkan hal lain, Nona. Bibirmu menolaknya, tapi nyatanya, harus kamu akui jika kehadiranku tadi menyelamatkanmu bukan?"

Aku terdiam, tidak ingin menjawab pertanyaan yang menyentil egoku, walaupun memang benar.

Mengerti aku yang tidak mau menanggapi, Hakim berkata ringan, "Tenang saja, laki-laki yang pernah mendapatkan perasaanmu itu akan menyesal, tunangannya itu untuk sekarang sama sekali tidak mencintainya, jika dia mencintai laki-laki tersebut, dia tidak akan menatapku seperti melihat bongkahan berlian."

Huuuhhh, PD sekali dia, dengan gemas ku toyor bahunya, tidak bisa menahan diriku sendiri untuk berdecih atas kalimatnya yang menganggap dirinya berlian.

"Sok tahu, kamu!"

"Ya itulah manusia, bibir boleh berbohong, tapi mata tidak akan bisa menyembunyikan apa yang sebenarnya."

Hakim memang jarang berbicara, tapi sekali berbicara, ternyata dia bisa membuat siapapun lawannya mati kutu seketika.

Tidak perlu sarkasme seperti yang biasa kulakukan, hanya kalimat singkat, nyatanya Hakim bisa membungkamku juga.

"Karena itu terima kasih Linda untuk tidak mengasihani diriku seperti yang lainnya, tetaplah jadi Linda yang seperti ini, lebih baik menjadi orang yang tidak baik dari pada hanya orang yang berpura-pura baik."

Linda Natsir (Tersedia Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang