“Tumben sekali Nyonya Natsir mau mendampingi Suaminya berdinas!”
Kalimat sarkasku langsung di sambut kekehan geli Mas Lingga dan Papa, begitupun dengan Hakim yang kini kembali masuk ke dalam barisan ajudan Papa.
Bukan pemandangan yang biasa melihat Mama mendampingi Papa, bahkan seingatku, aku bisa menghitung berapa kali Mama mengenakan PSK untuk datang bersama di acara Papa.
Jika Mama hanya orang biasa, mungkin Mama akan langsung mendapatkan teguran, sayangnya kembali lagi, Mama seorang Putri orang besar sepertiku, seorang yang menjabat Menteri di era Orde Baru, membuat Mama sama tak tersentuhnya denganku di beberapa hal.
Tapi berbeda dengan beliau yang di izinkan menikah dengan seorang yang sama seperti Hakim, tapi kini beliau yang menentangku habis-habisan mencintai seorang Perwira yang sama seperti suaminya.
Hanya status di belakang Papa yang membuatnya berbeda dengan Hakim, tapi, bukankah semua orang tidak ada yang sama.
Aku menghela nafas, mengumpat sikap Mama hanya akan menambah dosaku sebagai anak, kini aku hanya berusaha menerima jalan yang sudah di tentukan oleh takdir untuk menghadapi kenyataan, jika pada akhirnya aku dan Hakim tidak bisa bersama.
Menyerahkan pada Tuhan bagaimana akhirnya kisah kami berdua. Hanya bisa menatap tanpa bisa saling menyapa, hanya bisa saling menyapa walaupun hati sebenarnya mencinta.
Di takdirkan memiliki perasaan yang sama tapi tidak untuk melangkah berbarengan. Jika Hakim saja bisa berbesar hati menerima keadaan, bukankah egois jika aku terus merengek dengan keadaan ini.
Sekarang sebisa mungkin aku ingin berdamai dengan hati dan juga Mamaku sendiri walaupun itu bukan hal mudah untuk kulakukan.
“Papa ada pertemuan dengan para Menhan Negara lain Lin, ya sudah pasti Mamamu dampingin Papa.”
Jawaban yang diberikan Papa membuatku mencibir Mama yang sudah beranjak masuk ke dalam mobil dinas Papa, niat beliau untuk mengomeliku harus urung karena Papa yang segera menutup pintu.
Aku hanya berdiri di tempat mematung memperhatikan mobil yang satu persatu meninggalkan halaman besar Rumah Natsir.
Kupikir semuanya sudah turut beranjak pergi bersama rombongan Papa, nyatanya, seseorang yang tiba-tiba berdiri di sampingku membuatku terkejut.
Harus berapa kali aku dibuat kagum oleh wajah tampan nan sempurna dengan seragam kebanggaannya ini, bahkan kali ini, aku bisa melihat Hakim yang berkali-kali lipat lebih tampan dari biasanya, bahkan wajahnya yang tengah tersenyum tampak bersinar begitu cerah.
“Jangan terlalu ketus sama Mamamu sendiri Lin, nggak baik sama orangtua kayak gitu.”
Aku mendengus sebal, mengalihkan tangannya yang mengacak-acak rambutku, entah kenapa aku justru merasa ada yang salah dengan Hakim sekarang ini.
Dia sosok yang tenang dan tidak mudah memperlihatkan emosinya, terlebih saat dia mengatakan padaku jika kami harus menerima keadaan, tidak ada hal berlebihan yang dilakukannya padaku kecuali memang tugasnya menjadi ajudan Papa.
Dan sekarang, Hakim berubah semanis saat dulu sebelum Badai besar hubungan kami datang.
Belum sampai aku menyuarakan keherananku akan semua tingkah Hakim yang menurutku aneh ini, sebuah dekapan kudapatkan dari Hakim.
Benar-benar sebuah pelukan dari seseorang yang beberapa waktu yang lalu mengatakan jika kami berdua tidak akan bisa bersama.
“Entah kenapa, aku ingin memelukmu Lin, maafkan kelancangan Ajudan Papamu ini ya.”
❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤
“Anda itu kenapa Dokter Linda, tidak fokus sama sekali.”
“Anda tahu jika apa yang Anda lakukan sangat tidak profesional.”
Aku mengusap wajahku keras, mengenyahkan bayangan teguran yang terus terngiang di kepalaku.
Tidak cukup hanya bayangan tersebut yang menganggu sore hariku yang sudah buruk.
“Sepertinya Dokter Linda banyak pikiran Dok.”
“Dokter Linda sakit atau gimana?”
“Dok, hidup sesempurna Anda juga ada masalah Dok?”
“Cerita saja Dok kalo ada masalah, barang kali lebih lega.”
Beberapa Dokter dan Perawat rekan satu Poli tempatku bertugas kini memberondongku dengan banyak pertanyaan.
Bagaimana tidak, semenjak aku masuk ruang sakit tadi, fokusku buyar entah kemana, bahkan aku sampai di usir oleh Dokter senior karena tidak fokus di ruang operasi.
Bahkan sekarang, rasanya jantungku seakan berdebar lebih kencang, mengalirkan rasa dingin di tengah suasana panas sore hari kota Jakarta.
Dan akibat teguran tersebut mengundang keprihatinan dari rekanku yang lainnya, terbukti mereka kini menatapku penuh simpati.
Bagaimana aku bisa mengacuhkan mereka lebih lama jika sekarang mereka tampak begitu peduli padaku, bahkan mereka sampai terkejut saat aku melayangkan senyum tipis pada mereka, memperlihatkan jika aku baik-baik saja.
“Nggak apa-apa kok Dok, saya cuma ngerasa kalo ada hal buruk yang akan terjadi, perasaan saya nggak enak.”
Dokter Anggi dan Dokter Wika mengusap punggungku, simpati tergambar jelas di wajah beliau berdua, sementara aku berusaha menenangkan hatiku yang semakin tidak menentu.
“Semoga cuma nggak enak badan ya Dok.” Aku mengangguk, berharap jika semua hanya karena sistem imunku yang menurun.
“Ada serangan teroris di Gedung Tempat Konferensi Menhan.”
Handoko, salah satu OB yang tiba-tiba masuk dengan wajah paniknya langsung menyalakan TV besar di Kantin Rumah Sakit, menjawab pertanyaan kami akan keterburuannya.
Konferensi perdamaian yang di hadiri oleh para Menteri Pertahanan dari berbagai Negara kini berubah mencekam karena aksi teror oleh sekelompok orang.
Bom yang meledak di sudut gedung tempat diadakannya acara ramah tamah membuat Konferensi yang awalnya berjalan lancar berubah menjadi tidak terkendali.
Aku membeku di tempat saat melihat gedung tempat Papa menghadiri konferensi kini berubah menjadi mencekam, banyak anggota Polisi dan juga satuan Aparat gabungan yang kini bersiaga di gedung tempat Konferensi yang di hadiri oleh Papa.
Dapat terlihat jika satu sudut gedung mengepul asap yang pekat. Jantungku mendadak berhenti saat mendengar laporan berita yang terdengar di layar kaca di sela semrawutnya pemandangan di balik Jurnalis yang meliput.
Dari kabar yang baru saja kami terima, bukan hanya sekedar teror Bom, beberapa teroris yang berhasil masuk kedalam juga menyandera beberapa korban yang masih terjebak di dalam, termasuk dengan Menteri Pertahanan dan juga Istri beliau, salah satu pemimpin anak perusahaan BUMN, dari perkiraan sementara mereka melakukan aksi nekad ini sebagai bentuk protes atas kerjasama Negara kita dengan Negara Pro Amerika.
Telingaku mendadak tuli, bukan hanya aku yang shock tapi juga beberapa dari mereka yang turut mendengarkan berita mengejutkan ini, benarkah berita yang baru kudengar ini, tadi pagi aku masih mencibir kepergian beliau berdua, dan sekarang berita tragedi di tengah acara damai justru terjadi.
Papa dan Mama?
Lalu Hakim?
Inikah yang membuat perasaanku tidak nyaman sejak pagi tadi, inikah yang membuat Hakim begitu manis setelah sekian lama mengacuhkanku karena prinsipnya?
Aku menggeleng, tidak ingin berpikir firasatku benar-benar berubah menjadi pikiran buruk.
Tidak, takdir tidak boleh mempermainkanku seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Linda Natsir (Tersedia Ebook)
RomanceSiklus hidup manusia itu begitu sederhana. Hanya terdiri dua bagian, Bahagia dan Sedih. Disaat kita jatuh hati, dunia begitu penuh dengan warna-warni indah, dan kita hati akan patah jika tidak bersambut dengan cintanya, dan seiring waktu kita akan k...