"Ayolah, kamu marah sama aku?"
Entah sudah berapa kali Hakim menanyakan hal ini padaku, hingga nyaris tidak terhitung karena sejak masuk ke dalam mobil aku memang mengacuhkannya.
Sama sekali tidak menganggap dan mendengar apa pun yang dikatakan oleh laki-laki yang ku cintai ini.
Tidak, aku tidak marah pada Hakim, tapi aku marah dengan kelakuan Bunga, aku tidak habis pikir, jika Bunga benar-benar melakukan apa yang di ucapkannya tempo hari di Toilet.
Sebenarnya, apa aku pernah melakukan kesalahan padanya, sampai-sampai dia bernafsu sekali mendekati laki-laki yang ku izinkan berada di sisiku.
Pertama Bram, dan nyatanya dia sudah berhasil membuat Bram mengikatnya, satu hubungan yang sudah serius, dan hanya selangkah lagi menuju pernikahan, tapi nyatanya, Bunga masih mendekati Hakim.
Astaga, jika sampai tadi aku melihat Hakim antusias berbicara dengan Bunga, bisa ku pastikan dua orang tersebut tidak akan pulang dengan wajah mulus.
Syukurlah, Hakim benar-benar menepati ucapannya, senyuman bahagianya hanya di baginya denganku.
Tanganku mendadak merasa hangat, membuat pikiranku tentang Bunga dan gangguan kecilnya antara aku dan Hakim buyar seketika, dan kembali aku mendapatkan pemandangan indah tanganku yang di genggam erat oleh laki-laki yang semenjak tadi kuacuhkan.
Aku sangat menyukai saat melihat jari-jemari kami saling bertaut, tangan nya yang besar begitu pas melingkupi jari-jariku yang kurus, seolah tangan tersebut begitu melindungiku dengan rasa hangat yang membuatku enggan melepaskan.
Aku mendongak menatap wajah sang pemilik tangan yang menatapku dengan pandangan gelisah karena aku yang hanya terdiam.
"Kamu sayang sama aku, Kim?" untuk kesekian kalinya aku melontarkan pertanyaan tersebut pada Hakim.
Hakim tidak langsung menjawab, tapi kecupan di tanganku membuatku tahu jawabannya, terlebih dengan apa yang di katakan Mas Lingga, harusnya aku memang tidak perlu meragukan Hakim.
"Menurutmu, aku sayang kamu apa nggak?"
Aku merengut, mengharapkan Hakim akan berbicara manis seperti menantikan salju turun di tengah gurun sahara.
Aku melengos, memilih melemparkan pandanganku keluar jendela menatap jalanan Jakarta yang penuh sesak, pengendara motor matic berboncengan yang melintas tepat di samping mobil kami membuatku teringat bagaimana kencan antimainstream Hakim.
Aaahhh, laki-laki membosankan di sampingku ini memang lain dari yang lain, tidak bisa merayu dan menggoda dengan kata-kata tapi membuatku mati kutu karena sikapnya yang romantisnya membuatku sesak nafas.
Dan saat melihat aku merajuk karena dia selalu tidak mau menjawab pertanyaan penting pun hanya di tanggapi Hakim dengan kecupan di punggung tanganku, hanya seperti itu dan kami berdua larut dalam kesunyian hingga sampai kami tiba di rumah.
Aku merengut saat Hakim turun dari mobil dan membukakan pintu untukku, wajahnya yang tampan kini mengulum senyum melihatku yang masih mencebik kesal.
Aaaahh, jika seperti ini bagaimana aku akan marah pada wajah tampan yang semakin jauh lebih manis saat tersenyum sekarang ini.
"Linda, sudah ada yang bilang belum kalo kamu jauh lebih cantik kalo sedang marah?"
Ku tatap Hakim dengan horor, bagaimana bisa dua menyebutku jauh lebih cantik di saat marah, saat aku ingin memukul dadanya yang terbalut seragam loreng press body tersebut, Hakim justru menahan tanganku erat di dadanya.
Matanya yang berpendar hangat kini menghujam pandanganku, memerangkapku agar tenggelam di dalamnya, satu hal yang membuatku tidak bisa mengacuhkan Hakim begitu saja.
Hakim semakin menunduk, membuat hidungnya nyaris menyentuh ujung hidungku, aroma wangi musk dari parfumnya yang bercampur dengan wangi khas Hakim sendiri membuatku beralih menahannya agar tidak menjauh.
"Gimana aku mau lirik perempuan lain, Lin. Kalo seluruh hatiku sudah kamu bawa semua."
Blussssshhh, pipiku memerah, kembali di buat mati kutu oleh Hakim, rasanya bahkan aku ingin menari-hari karena kalimatnya ini.
Dengan cepat ku kecup pipinya, membuat Hakim mematung karena tidak menyangka aku akan menciumnya tiba-tiba, skinship intim pertama kami yang membuat Hakim seperti orang linglung, bahkan saat aku mendorong tubuh tegap itu agar mundur, Hakim hanya terbengong memegangi pipinya yang barusan kucium.
Aku tidak bisa menahan tawaku, Hakim yang sering melihatku terpukau akan semua sikapnya kini giliranku yang membuatnya tidak berkutik.
Aku berbalik, berjalan mundur sembari menatapnya yang kini geleng-geleng kepala sembari berkacak pinggang, sudah pasti Hakim sekarang berusaha mengembalikan kesadarannya.
"Aturan tambahan Kim." aku tersenyum lebar saat Hakim berjalan kearahku, senyuman tipis terlihat di wajahnya saat aku mengulurkan tanganku kearahnya, satu tindakan konyol dan alay bagi orang yang di landa cinta sepertiku, "Selain senyuman bahagia, nggak ada seorangpun yang boleh nyium kamu seperti aku barusan."
Tapi wajah Hakim yang tadinya tersenyum kecil salah tingkah mendadak berubah, tubuhnya kembali tegap dan berada di posisi siap memberi hormat.
Hingga akhirnya, suara dingin yang selalu membuat aku dan Mas Lingga selalu taat pada perintah terdengar menjawab sikap Hakim.
"Siapa yang cuma boleh kamu cium Linda?"
Aku mematung, menatap wajah kedua orangtuaku, sungguh pemandangan yang langka melihat Mama dan Papa berada di satu waktu.
Mama bukan perempuan yang lemah lembut, bahkan Mama jauh lebih tegas dari pada Papa, semenjak kecil Mamalah yang menekankan jika kami, seorang Natsir itu berbeda.
Beliau yang membentuk ku menjadi yang angkuh, mengatakan padaku, seorang Natsir harus mengangkat dagunya tinggi, dan seorang Natsir tidak membutuhkan orang lain.
Dan kini, dua orang tuaku ini memandangku dengan tatapan yang berbeda, Papa hanya menatapku datar dan Mama, aaahhh aku sudah sangat hapal dengan raut wajah Mama tersebut.
"Kamu mencium Hakim, Linda?"
Dan kali inipun, tatapan tidak suka sudah terpancar di wajah beliau sekarang ini, sementara aku hanya diam tanpa berani untuk menjawab Mama yang berdiri tepat di depanku menunggu jawaban dariku.
Sikap Mama yang hangat saat pertama kali Hakim datang ke rumah ini langsung musnah, seakan tidak pernah ingat jika beliau pernah memperlakukan Hakim paling baik di antara anggota Papa.
Ini yang kubenci dari Mama, tatapan beliau selalu memandang rendah siapapun, sama seperti sekarang ini saat menghampiri Hakim.
Aku menatap Papa, melayangkan permintaan tolong lewat mata agar Papa menghentikan Mama, tapi Papa pun sepertinya sama saja, bahkan beliau berlalu melewatiku seakan tidak melihatku.
Aku benar-benar kehilangan kata, bukan ini reaksi yang kuharapkan jika kedua orangtuaku tahu aku telah jatuh hati pada Ajudan Papa.
Bahkan aku tidak berani untuk menoleh ke belakang ke tempat Mama dan Papa sedang menghampiri Hakim yang entah bagaimana reaksinya.
"Mama, biarin anak-anak masuk dulu. Masuk Kim, kita perlu bicara!"
".........."
"Dan kamu Linda, masuk kamar, dan jangan keluar sampai Papa minta."
Ingin sekali aku membantah perintah Papa, tapi Hakim justru menggeleng pelan, isyarat jika aku tidak boleh membantah Papaku, senyuman tipis yang terlihat di wajahnya seolah mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja.
Aku berbalik, meninggalkan mereka semua, khususnya Hakim yang akan menghadapi orangtuaku.
Dadaku berdegup kencang, karena aku sadar, badai untuk hubungan yang baru saja ku mulai sudah datang, dan ini justru berasal dari Orangtuaku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Linda Natsir (Tersedia Ebook)
RomanceSiklus hidup manusia itu begitu sederhana. Hanya terdiri dua bagian, Bahagia dan Sedih. Disaat kita jatuh hati, dunia begitu penuh dengan warna-warni indah, dan kita hati akan patah jika tidak bersambut dengan cintanya, dan seiring waktu kita akan k...