Bersikap baik

2.9K 474 14
                                    

Suara derap sepatu yang begitu berat terdengar di lantai bawah, hanya dengan mendengarnya saja aku sudah tahu siapa pemilik langkah berat tersebut, yaitu penghuni baru kamar tamu yang sudah menempati kamar tersebut selama beberapa hari ini.

Satu_satunya pria berseragam loreng yang di perbolehkan Mama untuk tinggal di Rumah Utama, siapa lagi kalo buka si wajah datar, dan membosankan, Si Hakim Perwira. Seseorag yng dengan bahasanya yang kaku, merecokiku dengan dalih sebuah amanah dari Papa.

Menjalankan amanah tapi wajahnya sepeerti menjalani hukuman, rasanya aku ingin sekali berteriak,jika akupun sama kesalnya dengannya.

"Kamu tahu nggak kenapa Papa sedekat itu sama Hakim?"

Tanganku yang sedang memainkan remote TV langsung terhenti saat mendengar pertanyaan Mas Lingga.

Papa memang baik pada semua anggotanya, tapi tetap saja, sebaik apa pun Papa, mesti ada jarak yang membuat anggotanya untuk segan pada beliau.

Tapi dengan Hakim, si laki-laki membosankan itu, Papa layaknya pada Mas Lingga, bahkan saat tadi dengan datarnya menolak permintaan Papa untuk menemaniku ke Pertunangan Bram dengan jawaban yang sangat bisa membuatku darah tinggi, Papa hanya tergelak geli.

Seumur-umur, baru kali ini aku melihat seorang Komandan di tolak oleh bawahannya sendiri.

Tapi Papa memang sama sekali tidak marah, justru aku yang uring-uringan karena merasa terhina oleh Letnan berwajah datar tersebut.

Sialan memang, memangnya aku juga mau di temani olehnya datang ke Tunangan Bram.

Dasar laki-laki membosankan.

Memikirkan laki-laki itu, dan kedepannya kami akan sering berharap muka membuatku mencibir.

"Memangnya kenapa Mas?" jawabku acuh, sama sekali tidak berminat membahas hal ini, tapi ku tahu, jika tidak ku tanggapi Mas Lingga tetap akan mengoceh tidak berhenti, jadi lebih baik segera ku tanggapi agar dia lekas berhenti membuatku pening.

"Diiihhh, penasaran juga, kan!" mendengar nada menggoda Mas Lingga dengan cepat ku lempar wajahnya dengan bantal, tawanya yang sangat menyebalkan kini terdengar lagi.

Sungguh, tidak bisakah manusia laknat sepertinya tidak usah di berikan izin cuti seumur hidup saja.

Kehadirannya menggangguku sekali, definisi jauh rindu, dekat beradu mulut, ya Kakakku ini.

"Jangan mulai lagi deh, Mas."

Dengan susah payah, Masku menahan tawanya, "Sebenarnya Hakim itu anaknya sahabat Papa."

"Terus?"

Kini Mas Lingga sudah sepenuhnya menghentikan tawanya, wajahnya yang menyebalkan mulai serius, "Kamu tahu kan, kadang Tentara itu di pertanyakan tugasnya, cuma wira-wiri di Barak, latihan nggak habis-habis, bahkan ada yang bilang saking kurang kerjaannya para Tentara ini, pagar Batalyon yang selebar itu kita cat sendiri."

Aku mengetnyit, tidak paham dengan arah pembicaraan Mas Lingga, beberapa saat lalu dia membicarakan Lingga, dan sekarang dia curhat mengenai kehidupannya di Barak Asrama, melenceng sekali dia ini.

"Tapi mereka nggak tahu kan, Lin. Kalo Negara sudah memanggil, kami semua akan rela meninggalkan apa pun yang kita miliki, keluarga, istri, anak, ya demi wujud bakti kita pada Negeri ini."

Aku hanya diam, tidak berniat menyela Mas Lingga, membiarkan dia terus bercerita hingga pokok yang akan di sampaikannya padaku.

"Termasuk orangtuanya Hakim, Papanya Hakim, sahabat Papa yang gugur di salah satu operasi, bahkan di saat usia Hakim masih kecil."

Tidak cukup hanya sampai di situ, keterkejutanku akan latar belakang manusia berwajah datar itu masih berlanjut.

Apa lagi melihat wajah Mas Lingga yang tampak begitu sendu, di mata orang luar, Mas Lingga sosok yang tegas, di mata orang rumah, dia adalah orang yang tidak pernah diam, usil, dan nyaris selalu membuat pening akan tingkahnya, tapi Mas Lingga adalah sosok yang begitu peduli.

Jika wajahnya sudah seperti sekarang ini, aku yakin, ini bukan sesuatu yang bagus.

"Kamu baru saja ngerasain pedihnya cinta bertepuk sebelah tangankan, tapi itu lebih baik, Mamanya Hakim bahkan nggak bisa menghadapi kenyataan, suaminya hanya pulang tinggal nama. Menyedihkan memang menjadi Hakim, di tinggalkan sendirian oleh kedua orang tuanya."

"Jangan becanda, Mas!" tegurku cepat, berharap jika apa yang ku dengar hanya bualannya semata agar aku tidak terus menerus ketus pada Hakim seperti beberapa hari ini kulakukan pada Sahabatnya. "Yang Mas ceritain ini nggak bener, kan?"

Tapi bukannya menggeleng, Mas Lingga justru mengangguk.

Aku menutup mulutku, syok atas apa yang ku dengar, ku pikir hal ini hanya sekedar di film saja, nyatanya sangat menyesakkan.

"Karena itulah, Papa jadiin Hakim anak asuh beliau, nggak ada bedanya sama kita. Mas bilang kayak gini, nggak maksud buat bikin kamu kasihan sama dia, Hakim juga nggak akan suka kalo dengar Mas cerita ini ke orang lain, tapi kamu sendiri yang kayak nganggap Hakim kayak musuh disini."

"Nggak ya, Mas! Aku nggak kayak gitu."

Aku langsung merengut, entah kenapa aku merasa jika sikapku pada Hakim belakangan ini menjadi sangat keterlaluan. Meninggikan suara setiap kali berbicara padanya, bahkan tak jarang sebelum dia berbicara aku sudah memasang wajah kesal padanya.

Terlebih saat dia bilang akan menjemputku di Rumah Sakit atau Kampus, berbagai alasan, dan juga kalimat ketus, seperti jangan mencampuri urusanku, kamu bukan siapa-siapaku dan keluargaku, sudah meluncur keluar tanpa pernah terpikir jika itu mungkin saja menyinggungnya.

Aku sama sekali tidak membencinya, tapi setiap kali melihat wajahnya yang datar, aku langsung merasa kesal sendiri, terbiasa di perhatikan oleh semua orang, dan melihat Hakim yang seolah begitu malas berurusan denganku membuatku uring-uringan sendiri.

Tapi kini rasa bersalah menghantamku, mengetahui betapa pahitnya apa yang sudah terjadi pada Hakim, bahkan aku tidak bisa membayangkan betapa perihnya kehilangan kedua orangtua, Papa sedari kecil sering meninggalkan aku dan Mas untuk bertugas, begitupun dengan Mama yang memang wanita karier dan sibuk dengan bisnisnya, itu pun sering membuatku sesak, padahal beliau berdua selalu mengusahakan akan bisa bertemu setiap weekend, maupun sarapan.

Tapi ternyata Hakim, laki-laki membosankan itu justru kehilangan hangatnya keluarga di saat dia sendiri masih begitu kecil, apa lagi yang lebih menyedihkan dari pada itu? Pantas saja di tumbuh menjadi pribadi yang begitu acuh dan membosankan.

Usapan ku terima dari Mas Lingga dari ujung kepalaku, "Jangan terlalu kesal sama Hakim ya, Lin. Papa nggak ada niat sedikitpun buat ngekang kamu dengan kehadiran Hakim di rumah ini, Papa hanya ingin kamu aman selama Papa Mama nggak ada dengan mempercayakan kamu pada orang yang memang beliau percaya."

"Tapi Mas_" tidak ingin terlihat begitu bersalah, aku mencoba mengungkapkan sudut pandang ku, "Sepertinya Hakim juga enggan jika di haruskan untuk menjagaku, lihat sendirikan gimana dia dengan tegas nolak kemarin. Lihat sendiri kan wajahnya yang datar banget tanpa ekspresi." Wajahku memerah, teringat bagaimana reaksi penolakan Hakim untuk datang ke Pertunangan Bram membuatku malu sendiri.

Aku memang memberinya kode untuk tidak mengiyakan permintaan Papa, tapi aku juga tidak menyangka jika jawabannya akan membuatku malu bukan kepalang hanya dengan kalimat singkat menohok tersebut.

Suara geli dari Mas Lingga terdengar, "Yaelah Dek, Hakim dari kapan tahun juga kayak gitu wajahnya, mau dia seneng, dia males, dia benci sama orang, ya emang kayak gitu wajahnya, anyep tai kothok."

Mas Lingga menarik bahuku, memintaku agar menatapnya, dan memastikan agar aku mendengarkan apa yang akan dia katakan.

"Dek, jika kamu nggak bisa bersikap baik pada Hakim, setidaknya jangan menyakitinya dengan sikapmu yang sering keterlaluan."

 

Linda Natsir (Tersedia Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang