Sebuah Pertunjukan

2.2K 521 49
                                    

“Kamu harus bahagia, Linda.”
Setiap kali aku bercermin, kalimat Hakim selalu membayangiku, melihat betapa mengenaskan wajahku yang sekarang, aku tahu jika aku tidak sepandai Hakim dalam berpura-pura.
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa kecewaku atas diriku yang terlalu berharap Hakim akan kembali datang dan berjuang untukku.
Berjuang demi kalimat cinta yang selalu terucap darinya bahkan di setiap kali pertemuan kami, bagaimana aku akan melupakan cintaku begitu saja, jika kini dia tidak segan berada di sampingku.
Aku di izinkan bertemu denganmu oleh orangtuamu asalkan aku tidak lancang untuk mencintaimu, jadi aku mohon, tolong kamu lupakan segala hal tentang kita agar aku bisa tetap melihatmu, lihatlah aku sebagai Hakim yang dulu kamu benci.
Permintaan yang mustahil, Hakim pikir menghilangkan rasa cinta semudah mencuci pakaian, bahkan menghilangkan bekas jerawat yang meradang saja perlu waktu yang cukup lama.
Dan semudah itu dia memintaku untuk melupakan rasa yang terus-menerus bercokol tanpa mau hilang sedikitpun, apa Hakim kira aku senang dengan keadaan ini, dengan keadaan dimana aku begitu tersiksa akan cinta yang terhalang oleh restu orang tua dan juga laki-laki yang terbelit hutang budi yang tidak mau memperjuangkanku?
Jika sekarang Hakim yang bersikukuh memintaku untuk menghilangkan rasa lebih baik memang kami berdua tidak bertemu selamanya.
Mengharapkan Hakim akan seperti Mas Lingga yang begitu kukuh mengejar cintanya pada Evalia seperti berharap bintang jatuh di siang hari, mungkin memang benar apa yang dikatakan Mas Lingga, jika hanya kami para Natsir yang bodoh dalam mencintai, tidak peduli jika kami seperti pengemis mengiba hati yang kita cinta luluh dan berbalik untuk merengkuh.
Kami berdua memang menyedihkan, setelah aku dan Hakim dipisahkan oleh Mama, giliran Mas Lingga yang harus merasakan pedihnya, hampir saja Mas Lingga mendapatkan hati Eva, perempuan bertubuh mungil itu sudah mendapatkan rambu-rambu penghalang dari Mama, satu alasan yang membuatku benar-benar murka pada Wanita yang telah melahirkanku, dengan teganya Mama menendang Eva karena masa lalu keluarganya bahkan di saat Eva sama sekali tidak mengingat masa lalu tersebut.
Persetan dengan kalimat yang diungkapkan Mas Lingga tempo hari, jika tingkat mencintai paling tinggi adalah mengikhlaskan dan melihat yang kita cintai bahagia, karena aku tidak ingin di cintai dengan cara tersebut.
Hakim, dia sama buruknya seperti Mama, laki-laki pengecut yang tidak ku mengerti sama sekali cara berpikirnya.
“Yang kamu lakuin udah benar Lin. Lebih baik tidak bertemu Hakim selamanya, dari pada bertemu dan berpura-pura.”
Aku menarik nafas, menghindar dari Hakim sekarang bukan perkara yang mudah, jika selama dua tahun ini dia juga menghindari bertemu denganku, maka kini, hanya aku yang berusaha menghindarinya, bahkan di saat aku bertekad tidak ingin menemuinya, kini aku sering melihat Hakim di manapun, mulai dari Mas Lingga yang kadang mengajaknya ke rumah untuk menemaninya yang galau karena di tinggal minggat Eva, dan Papa yang mulai sering memanggimemanggi
Entah apa yang di lakukan para Lelaki Natsir ini sampai-sampai selalu melibatkan Hakim di kegiatan mereka.
Tapi sepertinya malam ini pertanyaanku akan kenapa Hakim bisa masuk kedalam rumah Natsir tanpa beban bernama hutang budi terjawab sudah.
“Bik, tumben banget masakannya penuh banget, memangnya mau ada tamu.” aku sudah bergidik ngeri membayangkan jika ada putra kolega Mama yang akan bertemu dan kembali di jodohkan denganku.
Makanan lezat masakan Bik Yuni mendadak menjadi tidak menarik hanya karena membayangkan hal tersebut.
Tapi jawaban bukan kudapatkan dari Bik Yuni, tapi dari Wanita arogan yang sayangnya adalah Mamaku sendiri.
“Hakim mau ngenalin Pacarnya ke Mama sama Papa, Linda.” Aku mengerjap, mencoba menelaah apa yang dikatakan Mama, tapi belum sempat aku berpikir dengan baik, Mama sudah kembali berbicara, membuat duniaku langsung gelap seketika, “Jadi Mama, sebagai ibu asuh yang baik buat Hakim nyiapin semua ini buat calon Mantu Mama, kan Mama sama Papa sudah bilang, Hakim sama sepertimu dan Lingga.”

❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤
“Aaahhhhh, jadi Nak Fenny ini juga pernah satu divisi sama Hakim di Humas? Cinta karena terbiasa ya.”
Aku hanya menatap datar dua orang yang ada di depanku, Hakim dan Fenny Adisty, perwira profesi senior Hakim yang pertama kali membuatku cemburu, yang kini tengah tersipu malu saat berbicara dengan Mama yang menyinggung jawabannya dimana dia bertemu dengan Hakim.
Wajah cantik bak perempuan Korea itu kini melempar senyum pada Hakim yang ada di sebelahnya, membalas senyum tersebut dengan senyuman tipis seorang Hakim.
Aku berdecih sinis, melihat senyuman Hakim yang tidak sampai di matanya, entah skenario apa yang di mainkan olehnya hingga membuatnya kini menjadi aktor ulung.
“Kamu kenapa Linda?” pertanyaan Mama yang mendengar decihanku terlontar.
“Memangnya kenapa dengan Linda?” tanyaku balik, tidak berminat meladeni Mama yang pasti akan membuat kepalaku meledak, ku letakkan sendokku dan memilih menatap Hakim dan juga Letnan Fenny Adisty dengan senyuman, mencoba beramah tamah pada pasangan baru yang tidak bisa ku hindari ini.
“Kamu masih ingat saya Letnan Fenny Adisty?” tampak terkejut, tapi detik berikutnya dia mengangguk, berbeda dengan Fenny yang tersenyum semringah, Hakim justru menatapku datar.
“Aaahhh, kita pernah ketemu sekali waktu Mbak Linda ketemu nyari Hakim di kantor kan? Saya pangling loh lihat Mbak sekarang, jauh lebih langsing.”
Perempuan ini, pandai sekali menyanjung, benar perkiraanku jika dia sedari awal memang memiliki hati untuk Hakim.
“Thanks loh udah dibilang langsing, BTW Long last ya kalian, semoga Hakim nggak mundur lagi kalo akhirnya orangtuamu nggak setuju.”
Raut terkejut terlihat di wajah Letnan Adisty mendengar perkataanku, begitupun dengan mereka yang di meja makan ini.
“Linda!”
Tapi aku tidak peduli, memilih meninggalkan meja makan ini terlebih dahulu, aku tidak bisa melihat Hakim datang menggandeng tangan perempuan lain dan tersenyum memamerkan jika mereka adalah pasangan.
“Acara yang Mama buat ini keterlaluan.” masih kudengar dengan jelas suara Mas Lingga yang berteriak pada Mama sebelum aku menghilang menaiki tangga.
Bullshit dia memintaku melupakan semua tentang aku dan dia sebagai dalih agar leluasa berjumpa. Karena pada kenyataannya, hatinya sudah berubah, sudah tidak ada namaku, dan juga cinta untukku.
Bagi Hakim, aku hanya masa lalu yang mengandung langkahnya, kuusap air mataku yang turun bersamaan dengan langkahku, air mata sialan, menangisi seseorang yang dengan bangganya memperlihatkan bahagianya hanya untuk mengolok-olokku yang masih mencintainya.
Pemandangan indah rooftop Rumah Natsir menyambutku, hamparan kegelapan lapangan golf di depan sana seolah menertawakanku, bahkan pekatnya langit malam tanpa bintang pun seolah bekerja sama mengejekku yang larut akan cinta sendiri ku.
Betapa bodohnya aku, bertahun membuang waktu mencintai seseorang yang kini bahagia dengan perempuan lainnya.
Ku telungkupkan kepalaku pada lututku, tangis tanpa suara yang sejak tadi ku tahan kini ku keluarkan tanpa sungkan, biarkan semesta menertawakan kebodohanku, karena pada kenyataannya rasa sakit ini nyaris saja membuatku mati rasa di buatnya.
Rengkuhan kudapatkan di tengah tangisku yang seakan tidak berhenti, sosok yang selama ini mengerti bagaimana sakit hatiku kini mendekapku erat, memintaku membagi rasa yang sakit padanya.
“Nangis saja Dek, ada Mas disini, tapi kamu harus tahu, kadang yang kita lihat nggak sama seperti yang kita pikirkan.”

Jan hujat Hakim dulu
Mama Al kasih spoiler bab selanjutnya

“Bodoh bukan, mencintai seseorang yang hanya egois merasa jika dia yang paling tersakiti oleh keadaan, sampai lupa, jika hanya demi untuk bisa melihatnya dia mengorbankan hati dan harga dirinya.”

Linda Natsir (Tersedia Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang