“Kamu percaya nggak sama dia.” tunjukku pada Hakim yang sudah berjalan lebih dahulu pada Security yang masih ternganga tidak menyangka.
Mungkin dia terkejut, jika Putri seorang Anggara Natsir adalah perempuan tidak bersahabat dan sama sekali tidak ramah sepertiku. Terlihat dia salah tingkah sembari menggaruk tengkuknya, menatap takut pada Hakim yang kini berada di depan lift menungguku.
“Saya percaya kok Mbak sama Mas Hakim, silahkan Mbak, monggo, sudah di tunggu sama Mas Hakim.” aku mencibir mendengarnya kini beramah-tamah, ingin sekali aku membalasnya dengan bertingkah sama menyebalkannya seperti dirinya beberapa detik lalu.
Sayangnya, ada hal lain yang lebih menarik dari pada meladeni Security menyebalkan ini.
Aku menghela nafas panjang, menyiapkan hati untuk menghampiri wajah datar yang menungguku yang masih mematung di depan Lift, mempersilahkan aku untuk mengikutinya.
Seberapa sesakpun aku sekarang ini, aku berusaha mengulas senyum, menyusul laki-laki dingin itu menuju lift.
Aroma musk yang tidak pernah kulupakan wanginya ini kini kembali berlomba-lomba masuk ke dalam penciumanku, memenuhi kotak lift dengan wangi khas Hakim yang dulu sering memelukku, membuat tangisku nyaris pecah saking rindunya aku dengan laki-laki yang ada di depanku sekarang ini.
Rasanya aku ingin sekali memeluk punggung tegap tersebut, menyandarkan kepalaku yang selalu terisi penuh dengannya untuk beristirahat, mengatakan tiada satu hari pun aku melupakan tentangnya, sayangnya jangankan untuk memeluk dan berkata jika aku merindukannya, niat tersebut sudah pupus saat melihatnya begitu acuh, bahkan untuk melihatku saja dia tidak mau.
Dan kini, aku hanya bisa memandang Hakim dari belakang, menatap punggung tegap tersebut dengan pertanyaan yang memenuhi kepalaku, entah dia sama rindunya denganku atau tidak, setidaknya untuk sementara aku bisa melihatnya tanpa harus bersembunyi, mengobati segala rasa yang selama ini menggerogotiku hingga nyaris tidak bersisa.
Hakim dia benar-benar memperlakukanku layaknya seorang bawahan kepada Putri atasannya.
Sama persis seperti yang diinginkan Mama untuk dilakukannya padaku.
Hakim bersikap seolah di antara aku dan dirinya tidak pernah terjalin satu hal apa pun, dia seolah tidak pernah mengingat, jika kata cinta seringkali terucap di antara kami berdua, seolah tidak pernah mengingat jika kita pernah saling berbagi tawa dan bahagia bersama, seolah dia melupakan begitu saja kenangan yang menurutku indah hingga tidak bisa ku lupakan hingga sekarang.
Benarkah dia sudah melupakan segalanya, termasuk semua rasa cinta tersebut, lalu, kenapa dia bisa membuat hadiah seindah itu untuk hadiah ulang tahunku.
Aku hanya bisa menunduk, memperhatikan sepatu flatku yang mendadak lebih menarik dari pada punggung tegap yang semakin lama semakin menyesakkan untuk ku pandang.
Mataku yang sedari tadi hampir menangis kini sudah memburam, buliran kaca air mata sudah siap turun jika aku tidak menahan demi harga diriku yang tersisa.
Hingga akhirnya, sepatu PDL yang ada di depanku berbalik arah, tadinya dia yang membelakangiku, berdiri menghadapku yang sudah enggan untuk mengangkat kepalaku.
“Lama tidak bertemu Linda.”
Suara tersebut menggema di dalam kotak lift, membuatku merasa jika aku sudah gila mendengar sosok Hakim yang sedari tadi mengacuhkanku tiba-tiba bersuara menyapaku.
Tapi sentuhan hangat di pipiku oleh tangannya membuatku mendongak, dan aku tidak berhalusinasi, Hakim tampak tersenyum lembut ke arahku, senyum yang sama dengan tatapan penuh cinta yang tidak berkurang sedikitpun.
Melihat hal ini membuat tangis yang sedari tadi ku tahan meluncur dengan deras.
“Tuan Putri sepertimu jangan pernah menunduk pada siapapun.” perlahan tangan hangat laki-laki yang merajai hatiku ini mengusap air mata di pipiku, “Begitupun dengan air mata berharga ini, jangan pernah menangis kecuali untuk menangis karena hal bahagia.”
❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤
Kali ini, hanya soto betawi dan teh manis hangat yang ada di depanku habis dengan cepat, tandas hingga tak bersisa barang sebutirpun nasi di mangkuknya.
Begitupun dengan teh manis ini, tidak perlu hitungan detik, teh manis tersebut sudah beralih ke perutku.
Ternyata baru kusadari, belakangan ini, baru kali ini aku makan dengan benar, merasakan nikmatnya dari rasa makanan, bukan hanya asal makan asalkan kenyang di saat lapar.
Ku letakkan gelasku perlahan, dan beralih pada laki-laki yang ada tepat di seberangku, laki-laki yang masih sama tampannya seperti terakhir kali ku ingat, terlebih dengan seragam press body-nya yang begitu sempurna melekat di tubuhnya yang menjadi fantasi bagi kaum hawa.
Berbeda denganku yang makanannya sudah habis, mangkuk soto Hakim masih penuh, bahkan tidak tersentuh sama sekali.
Senyuman tipis yang tidak sampai ke mata justru terlihat di wajahnya sekarang ini, tampak dia yang lebih memilih bertopang dagu memperhatikanku dari pada menyantap makanan yang begitu tampak menggoda ini.
Di kantin kantor Papa ini, aku justru tampak seperti orang yang rakus.
“Kamu kelihatan kurus, Lin. Diet atau memang mataku yang salah lihat?”
Suasana ramai di kantin ini terasa hilang saat Hakim bersuara, di telingaku, hanya suaranya yang terdengar jelas, ingin rasanya aku mengatakan pada Hakim, jika aku bahkan lupa rasanya bagaimana lapar, dan nikmat makanan enak bersamaan dengan dia yang meninggalkanku, tapi nyatanya secuil harga diriku yang masih bersisa membuatku bertahan untuk tidak lebih menyedihkan.
Cukup tadi aku menangis saking rindunya padanya, tidak untuk sekarang ini.
Aku berdeham, mencoba mengumpulkan suara sebelum berbicara, “Lalu bagaimana denganmu Kim, apa Tentara juga ada diet, sampai semangkok soto saja tidak kamu sentuh sama sekali.”
“Aku cuma pengen lihat kamu makan dengan benar.” jawaban Hakim membuatku membeku, tidak hanya sampai di situ, kalimat berikutnya semakin membuatku tidak bisa berkata-kata, “Kamu jangan kurus-kurus Lin, kalo diet jangan di teruskan, jika tidak perbaiki pola makanmu.”
Aku meraih tasku yang tergeletak di atas meja, ingin rasanya aku mencaci maki Hakim, setelah semua yang telah terjadi, kenapa dia harus memberikan perhatian yang terlalu berlebihan seperti ini seolah dia peduli padaku.
Dia meninggalkanku demi hal yang bernama hutang budi, dia selalu memberikan hadiah ulang tahunku seolah hari tersebut sama specialnya untuknya, dan kemudian saat sengaja tidak bertemu dia mengacuhkanku seolah tidak ada rasa sedikitpun, dan sekarang, dia bersikap seolah dia yang paling begitu memahamiku.
Percayalah, aku seperti orang yang di permainkan olehnya, perasaanku benar-benar terombang-ambing tanpa kejelasan.
“Kamu mengajakku kesini untuk memastikan aku makan bukan?” aku berdiri, menunjuk mangkuk yang ada di depanku, aku sudah tidak bisa menahan rasa kecewa yang kurasakan pada diriku lebih lama lagi. “Jika tidak ada yang di bicarakan lagi, apa aku boleh pergi?”
Hakim turut berdiri, meraih dokumen yang kubawa untuk kuberikan pada Papa. Tatapan matanya tampak begitu datar, khas seorang Hakim yang pandai menyembunyikan diri.
“Aku hanya ingin melihat, apa selama ini kamu sudah menemukan bahagiamu, Lin?”
“Peduli apa kamu dengan bahagiaku, aku bahagia atau tidak itu tidak akan berpengaruh apapun padamu bukan?”
Hakim mengulas senyum mendengar kalimat ketusku, “Kamu benar, siapa diriku sampai berani bertanya?”
Aku benci mendengar kalimatnya yang seperti ini, seolah semua rasa kepercayaan dirinya hilang nanya karena perbedaan status.
“Sekarang bagaimana denganmu, apa kamu bahagia sudah bisa membalas budi pada orangtuaku, walaupun itu mengecewakanku?”
Kupikir Hakim menyangkalnya, tapi nyatanya jawaban yang di berikan Hakim menyempurnakan hatiku yang sudah patah menjadi hancur berantakan.
“Aku meninggalkanmu agar kamu bahagia Linda. Jadi seperti diriku yang sudah bahagia dengan jalan yang ku pilih, lekaslah bahagia dengan semestinya tanpa ada cinta untukku, agar aku bisa bertemu denganmu tanpa beban hutang budi orangtuamu.”
Ku dorong bahu itu kuat, “Kamu pria paling membosankan yang kukenal, memintaku untuk melupakan cintaku, tapi seenaknya kamu mencintaiku.”
Hakim mengusap puncak kepalaku, senyum terlihat di wajahnya sekarang ini, senyuman bahagia yang membuatnya begitu bersinar.
“Tugasku hanya mencintaimu, bukan memilikimu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Linda Natsir (Tersedia Ebook)
RomanceSiklus hidup manusia itu begitu sederhana. Hanya terdiri dua bagian, Bahagia dan Sedih. Disaat kita jatuh hati, dunia begitu penuh dengan warna-warni indah, dan kita hati akan patah jika tidak bersambut dengan cintanya, dan seiring waktu kita akan k...