Perdamaian

2.4K 459 15
                                    

"Hakim kemana, Bik?" tanyaku pada Bik Yuni yang sedang menyiapkan sarapan untukku.

Bik Yuni yang mendengar pertanyaanku langsung menghentikan gerakan tangannya dan menatapku aneh.

"Kok nanyain Mas Hakim, Non. Kan Non sendiri yang tempo hari ngelerang Mas Hakim makan di ruang makan bareng Non, Bibik masih ingat loh Non, kalo Non sendiri yang bilang kalo ruang makan cuma buat___"

"Cukup-cukup, Bik!" potongku pada kalimat Bik Yuni, jika tidak ingat Bik Yuni adalah seseorang yang merawat ku dan Mas Lingga sejak kecil, mendengarnya apa yang beliau katakan tadi akan langsung ku berikan hadiah tiket pulang kampung sesegera mungkin.

Rasanya kini seluruh kepalaku, mulai dari pipi hingga telinga pasti sudah memerah karena Bik Yuni yang mengulang kembali kalimatku yang keterlaluan pada Hakim.

Aaaahhhh, mendadak aku merasa di dera rasa bersalah sudah mengatakan hal seburuk itu pada

Bik Yuni mengulum senyum melihatku yang salah tingkah, "Mas Hakim ada di kamarnya mungkin Non, kalo nggak ya di tempat gym Mas Lingga."

Aku merengut, merasa jika Bik Yuni mengejekku, dengan kesal kuraih piring berisi roti bakar yang sedang di siapkan beliau untukku.

Kali ini, aku memang harus meminta maaf dengan benar atas sikapku yang keterlaluan padanya. Jika Hakim bukan orang baik, mana sudi dia bersandiwara dengan sukarela di acara Bram kemarin.

Tempat pertama yang aku longok adalah Gym yang sering di gunakan Papa dan Mas Lingga jika pulang ke rumah, tapi nyatanya, di sana aku tidak menemukan orang yang ku cari, membuatku harus melipir ke kamar tamu yang kini berubah menjadi kamar Hakim.

Tapi riak air yang terdengar dari kolam renang membuatku menghentikan langkahku dan memilih memeriksa tempat yang paling jarang ku sambangi di rumah ini.

Aku hobi ke pantai, sun bathing, dan menikmati pasir yang memanjakan kakiku yang telanjang, tapi aku sama sekali tidak berenang.

Kolam renang di rumah, di mataku hanya sebuah pajangan saja, dan kali ini, untuk pertama kalinya aku melihat pemandangan yang akan memanjakan mata perempuan manapun yang melihatnya.

Tubuh atletis dengan bahu lebar itu terlihat semakin maskulin dengan kulit kecoklatan khas terbakar sinar matahari, walaupun Hakim tidak berada langsung di lapangan seperti Mas Lingga, tapi tubuhnya terbentuk begitu sempurna.

Aaahhhh, ku letakkan piring berisi roti bakar hasil masakan Bik Yuni di pinggir kolam, dari pada sarapan tersebut, melihat roti sobek segar yang kini sedang berenang dan tidak menyadari kehadiranku jauh lebih menggiurkan.

Hingga saat Hakim sampai tepat di depanku, wajah terkejut terlihat di wajahnya, yang sialnya harus ku akui jauh lebuh tampan dan segar.

Tangannya yang berada di kedua sisi tubuhku seakan mengurungku, nyaris saja hidung kami saling terantuk saat dia bersiap untuk naik.

Untuk sejenak, waktu seakan berhenti berputar, memberikan waktu sejenak untukku melihat dengan jelas dan teliti wajah laki-laki yang awalnya ku anggap menyebalkan.

Mata hitam dingin, alisnya yang tajam dan tebal, dan juga hidungnya yang mancung, sesuai dengan bibir tipisnya yang jarang berbicara. Tapi kali ini, bahkan aku nyaris terpaku saat melihat tetesan air di rambutnya yang basah semakin membuag penampilannya terlihat panas.

Bahkan aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa wajahku.

Aroma mint yang begitu segar.

Wajahnya yang terkejut dan membeku seketika saat melihatku tepat di depan matanya membuatku tersenyum.

Ternyata seorang yang acuh sepertiku bisa berubah menjadi gila jika berhadapan dengan orang yang acuhnya keterlaluan seperti Hakim.

Rasanya dalam diriku justru terpacu ingin melihat bagaimana sisi lain Hakim seperti tadi malam, sosok hangat yang mampu menyihirku dan membuatku tidak bisa tidur di buatnya.

"Apa aku secantik itu sampai kamu sama sekali tidak ingin beranjak?"

Mata gelap Hakim mengerjap, bibirnya yang sedikit terbuka semakin membulat, sungguh menggemaskan melihat ekspresi salah tingkah Hakim sekarang ini.

Terlihat salah tingkah, Hakim berdeham, sebelum menarik tangannya dan beranjak naik di sampingku.

Air yang menetes dari tubuhnya kini menjadi irama yang memecah kesunyian serta kecanggungan di antara kami berdua.

"Kenapa ada di sini?"

Singkat sekali pertanyaannya, khas seorang Hakim Perwira yang membosankan.

"Mencarimu, memangnya mau ngapain?" tanyaku balik, memperhatikannya yang sedang mengeringkan tubuhnya yang basah, astaga, kenapa mendadak Hakim menjadi lebih sexy dari pada para Surfer sih.

"Memangnya kenapa?"

Aku mendengus sebal, rasanya sangat menyebalkan mendengar kalimat-kalimat pendek Hakim ini, ternyata di jawab dengan acuh itu tidak enak ya?

Pantas saja banyak yang enggan berbicara denganku.

Aku menarik tangan Hakim dengan kuat, nyaris saja membuat Hakim jatuh menimpaku jika refleknya tidak bagus.

"Jangan cuekin, Kim!" pintaku pelan, rasanya sungguh memalukan mengatakan hal ini pada Hakim, rasanya kembali seperti saat berbicara dengan Bik Yuni tadi, di kamus hidupku tidak ada kamus meminta, tapi dengan sosok yang pernah begitu menyebalkan di mataku, aku justru selalu melanggar batasan yang telah kutetapkan sendiri.

"Kenapa Nona? Aku harus buat laporan ke Kantor setelah ini." tanyanya sembari menuruti permintaanku untuk duduk di sampingku.

Tidak ingin membuang waktu, kuraih piring yang sedari tadi ku bawa pada Hakim, membuat alis tebalnya terangkat penuh tanya.

"Ini sebagai pengganti nasi goreng yang semalam." walaupun hanya sekilas, aku masih melihat senyum Hakim saat menerimanya, "Dan juga aku benar-benar minta maaf untuk perbuatanku kemarin-kemarin, rasanya aku memang keterlaluan."

"Sudah kubilang__"

Aku menggeleng keras kepala, tidak mengizinkannya berbicara, "Aku minta maaf bukan karena simpati padamu, Kim. Jika itu alasanmu menolaknya, aku meminta maaf karena aku sadar sikapku yang terlalu arogan, mengatakan hal yang buruk padamu."

Rasanya bahkan aku ingin menenggelamkan wajahku saking malunya mengakui betapa buruknya diriku ini pada orang yang telah ku sakiti dengan lidahku.

Hakim benar-benar memberikan kesempatan padaku untuk berbicara, tapi saat mata dingin itu menatapku lekat, justru aku di buat panas dingin olehnya.

"Aku tidak ingin terus menerus merasa malu, Kim. Aku pernah mengusirmu dari meja makan, membuatmu di marahi Papa karena tidak bisa menjagaku, tapi terlepas dari sikap burukku, kamu masih sudi menolongku seorang yang keterlaluan seperti aku, jika aku menjadi kamu, aku tidak akan mau bersandiwara dan menghibur anak atasan menyebalkan seperti diriku ini."

"Jadi_"

Aku mengulurkan tanganku padanya saat mendengar tanggapan singkat Hakim, mencoba tersenyum setulus mungkin pada Hakim.

"Jadi, perkenalkan namaku Linda Natsir, Letnan Hakim Perwira, Putri Anggara Natsir, mahasiswi kedokteran yang akan kamu jaga di sela tugasmu mengabdi pada Ibu Pertiwi ini."

Aliran getaran lembut menyapa jemariku saat tangan besar yang dingin itu melingkupi tanganku, terasa pas dan nyaman, seolah tangan tersebut begitu melindungiku.

Hei Linda Natsir, kamu yang tengah tersenyum pada laki-laki yang ada di depanmu, tidakkah kamu sadar, seorang acuh yang ada di depanmu, tanpa sadar telah menempati tempat tersendiri di hatimu dalam waktu yang begitu cepat?

Kamu kira kamu mengenal cinta, nyatanya kamu seorang yang buta akan rasa yang tengah melanda.

Linda Natsir (Tersedia Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang