Kugenggam erat kotak kue yang ada di pangkuanku sembari berulang kali melirik laki-laki yang ada di balik kemudi Mobil ini, berbeda denganku yang gelisah, Hakim justru begitu tenang, seperti biasa dirinya yang tenang dan nyaris membosankan.
Rasanya sungguh gelisah, kebingungan sendiri untuk membuka pembicaraan dengan laki-laki membosankan seperti Hakim, aku bukan orang yang mudah beramah tamah pada orang, dan di haruskan membuka pembicaraan pada Hakim tentu sangat bukan diriku.
Aku saja nyaris tidak pernah menegur orang untuk terlebih dahulu, sudah ku bilang bukan, aku bahkan di sebut sebagai seorang yang angkuh karenanya.
Hingga akhirnya, kini saat mobil berhenti di pelataran parkir Kampus, sebuah pertanyaan meluncur dari Hakim saat aku tak kunjung turun.
"Aneh sekali kamu hari ini?" pertanyaan macam itu, hampir saja aku kembali melayangkan protes yang mungkin saja berimbas kami akan kembali adu argumen, saat wajah yang sialnya harus kuakui tampan itu menoleh ke arahku.
"Apa ada yang ketinggalan, jika iya aku akan menelpon yang lain untuk mengambilnya, aku harus pergi ke Kantor setelah ini."
"Nih, buat lo!" Kuulurkan sekotak muffin pada Hakim sebagai jawaban, membuat laki-laki yang kali ini tampak mengesankan dengan seragam kebanggaannya ini mengernyit keheranan, melihat kerutan di dahi wajah datar ini membuatku menghela nafas berat.
"Muffin?" Tanyanya sambil membuka kotak yang ku berikan, "Untuk apa? Nitip buat Komandan?"
Nitip buat Komandan, buat apa coba aku nitip kue buat Papaku sendiri. Tidak tahukah dia, jika aku sudah berusaha sangat keras untuk mencoba bersikap baik padanya, mencoba mengatakan secara tersirat permintaan maafku padanya atas sikapku yang keterlaluan belakang ini, tapi sepertinya, selain berwajah datar dan menyebalkan, Hakim adalah tipe orang yang tidak peka.
Sikapku yang sejak tadi pagi sama sekali tidak ketus padanya,juga tampak tidak berbeda di matanya, sepertinya aku memang tidak bisa hanya menunjukkan jika aku menyesal telah bersikap kasar padanya hanya melalui tindakan saja, aku menghela nafas panjang, mengumpulkan keberanian dan harga diri untuk menyampaikan hal yang sebenarnya bukan diriku sama sekali.
Ya itu meminta maaf, hampir saja aku mengurungkan niatku untuk mengucapkan kalimat yang sudah berada di ujung lidahku, tapi melihat wajah Hakim sekarang ini, kelebatan cerita Mas Lingga melintas dan melibas keraguanku seketika.
"Gue minta maaf, Kim. Buat sikapku kemarin-kemarin yang keterlaluan." ujarku dengan mantap, menatap tepat di mata hitam gelap dingin milik Hakim, sorot mata yang terlihat mati tanpa kehidupan, untuk menunjukkan kesungguhan kata-kataku.
Dan reaksi yang kudapatkan dari Hakim sungguh di luar dugaanku, dapat kulihat Hakim mengerjap, untuk sesaat dia memperhatikanku dengan pandangan yang tidak terbaca, sebelum akhirnya dengan gusar dia melepaskan seat beltnya, dan bersandar dengan mata terpejam, dadanya naik turun, seakan ada beban berat imbas dari kalimatku.
Kenapa dia ini, apa kalimatku salah lagi, aku hanya berusaha melakukan apa yang di katakan Mas Lingga, dan kenapa justru sekarang dia menatap nyalang padaku. Bahkan aku merasa gemetar saat mata tajam itu memandangku seolah menusukku.
"Dengarkan aku, Nona." bulu kudukku serasa berdiri mendengar suara berat Hakim sekarang ini, aku yang biasanya begitu pandai membuat orang tunduk hanya dengan sebuah kalimat kini jusru merasakan di posisi terbalik. Aku yang merasa terintimidasi oleh Hakim sekarang ini.
"Jangan meminta maaf padaku hanya karena rasa kasihan semata, apa aku terlihat begitu mengenaskan setelah Anda mengetahui kenapa Keluarga Anda sangat baik pada saya? Jika Anda berada di posisi saya, bagaimana perasaan Anda, saat semua bersikap baik hanya karena sebuah simpati dan belas kasihan semata, tanpa memikirkan jika Anda sama layaknya dengan manusia di luar sana, yang juga ingin di lihat dari hasil pencapaian diri."
Mataku membulat, aku bahkan membeku di tempat kehilangan kata dengan semua kalimat Hakim yang menohokku dengan begitu bertubi-tubi, aku tidak menyangka jika Hakim mendengar pembicaraanku dengan Mas Lingga kemarin, dan aku sangat terkejut dengan sudut pandangnya, aku berdeham, mencoba mengembalikan suaraku yang mendadak terasa kelu.
Dengan sekuat tenaga aku mendorong bahu tegap tersebut, "Gue minta maaf ya emang karena minta maaf, kalo lo nggak mau maafin ya udah, lagian nggak ada di kamus hidup gue buat kasihan sama orang, jadi cukup orang lain yang kasihan sama lo, gue nggak perlu."
Dengan kasar aku membuka pintu mobil, bahkan saking kerasnya aku menutup pintu membuat beberapa orang yang melintas di parkiran Kampus menoleh dengan pandangan bertanya. Tapi masa bodoh, aku sudah terlanjur kesal dengan Hakim. Keputusanku untuk meminta maaf padanya ternyata justru menyulut masalah lainnya.
Terakhir kalinya, sebelum berjalan meninggalkan laki-laki membosankan itu, aku kembali melongok dia yang ada di balik kemudi, membalas tatapan datar dari laki-laki membosankan itu dengan sama tidak sukanya.
"Jika kamu benar-benar ingin tahu apa alasanku meminta maaf padamu itu karena aku ingin memanfaatkanmu untuk ku ajak datang ke Pertunangan laki-laki yang sama sialannya seperti dirimu, sayangnya kamu sendiri yang membuka kartumu yang membuatmu terlihat begitu menyedihkan."
Bodoh amat jika sekarang dia makin membenciku dengan kalimat yang baru saja ku lontarkan padanya, suruh siapa niat baik seseorang justru di tanggapi dengan begitu tinggi hati. Sekalian saja ku buat dia semakin murka padaku, dia tidak ingin di kasihani karena dia yang sebatang kara bukan, maka akan ku berikan alasan yang lebih menyakitkan lainnya di balik sikap baikku padanya.
Tidak perlu menunggu tanggapan dari laki-laki yang masih tetap bergeming di tempatnya tanpa ekspresi apa pun, aku berbalik meninggalkannya.
Langkahku sudah hampir mencapai koridor kampus saat tiba-tiba terhenti saat cekalan tangan menghentikan langkahku, tangan besar dengan jam tangan sport itu menahan tanganku dengan kuat, seakan tidak memedulikan jika sekarang dia dan driku menjadi perhatian dari beberapa orang yang melintas, Hakim menarikku agar tidak beraanjak.
Apalagi yang diinginkannya?
"Lepasin." ucapku pelan, "Jangan kek sinetron!" kuhempaskan tangan tersebut, rasanya aku ingin meledak sendiri jika berhadapan dengan bunglon sepertinya
"Aku bakal nemenin kamu ke acara Pertunangan itu, jika memang itu alasanmu meminta maaf." ucapnya pelan, tapi masih terdengar jelas di telingaku.
Aku bersedekap, mencoba menyembunyikan keterkejutanku akan apa yang baru saja ku dengar dari mulut laki-laki datar ini, dia tidak mau di kasihani dan di beri simpati, tapi dia justru menerima jika dia di manfaatkan oleh seseorang, kenapa cara berpikirnya begitu terbalik sih?
Sama sepertiku yang hanya terdiam tidak kunjung menjawab, Hakim pun hanya diam sembari menunggu reaksiku, tidak menggubris jika seragam lorengnya begitu mencolok di tengah Fakultas Kedokteran ini.
Jika dia beberapa kali menghinaku dengan penolakan atas sikapku padanya, maka kali ini, dia harus merasakan betapa tidak menyenangkannya penolakan atas sikap baik kita. Aku tersenyum kecil, mendekat satu langkah semakin dekat pada tubuhnya yang tampak begitu nyaman untuk bersandar.
Dapat kurasakan tubuhnya yang menegang saat aku menyentuh tanda namanya di dada, sayangnya Hakim adalah manusia tanpa ekspresi begitu pandai meyembunyikan perasaaanya.
"Jika kamu tidak menerima sikap simpati dari seseorang, maka kamu harus tahu jika aku tidak menerima penolakan."
"........"
"Maaf, tapi ajakanku sudah tidak berlaku dua kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Linda Natsir (Tersedia Ebook)
RomanceSiklus hidup manusia itu begitu sederhana. Hanya terdiri dua bagian, Bahagia dan Sedih. Disaat kita jatuh hati, dunia begitu penuh dengan warna-warni indah, dan kita hati akan patah jika tidak bersambut dengan cintanya, dan seiring waktu kita akan k...