Cemburu?

2.4K 498 22
                                    

"Linda.."

Aku yang baru saja masuk ke dalam Kantor Humas tempat Hakim berdinas saat seseorang memanggilku.

Seorang dengan wajah kaku, tapi tersenyum ramah saat menghampiriku, Lettu Kevin Manggala, seorang prajurit yang pernah juga beberapa kali di mintai tolong Papa untuk mengantar jemputku beberapa kali.

"Kevin, Hakim mana?"

Katakan aku tidak sopan memanggil laki-laki yang lebih tua dariku ini hanya dengan nama, tapi salahkan laki-laki asal Manado ini yang tidak mau aku memanggilnya seperti ini.

"Kirain nyariin aku, aku udah kepedean loh, kedatangan sama Putrinya Menhan yang sering jadi bahan gosip." dengan gemas ku cubit lengannya yang liat tersebut, lama tidak bertemu, sikap genitnya yang sering menggodaku hingga nyaris menangis ini masih melekat, lihatlah wajahnya yang pura-pura tersakiti sekarang ini. "Sakit tahu Lin, beneran deh, kirain kangen sama aku, ternyata malah nyariin juniorku."

Kevin merengut, membuatku mencibir sikapnya yang playboy ini. "Maaf ya, Vin. Gue anti sama cowok ganteng, banyak yang naksir sama banyak yang kepengen, dan gue nggak sanggup sama tingkat kepedean mereka yang mengkhawatirkan kayak lo ini."

Kevin terkekeh keras, membuatnya banyak di perhatikan oleh orang yang berlalu lalang di kantor Humas ini.

Dengan usilnya dia masih menyempatkan diri menjawil daguku, "Ngakuin kan kamu kalo aku ini ganteng! Terus menurutmu Hakim jelek gitu, jahat banget dah."

Ku sepak tulang keringnya dengan keras untuk menghentikannya yang semakin melantur, berbicara dengan Kevin benar-benar menguji kesabaran ku, aku hanya bertanya dimana Hakim, dia justru kemana-mana.

Dengan sebelah kakinya yang kesakitan, kini dia berjalan mendahuluiku, gerutuannya saat berjalan membuatku tersenyum sendiri, "Ayo aku anterin ke tempat dia, apes banget deh, udah kena cubit masih kena sepak pula, untung anak Komandan, kalo nggak aku usir kamu, Lin."

Anak Komandan, hal yang sering membuat orang segan padaku, ada sisi positif dan negatifnya untukku, terkadang aku merasa terbantu saat mereka mengetahui siapa Papaku, dan lebih sering aku di remehkan dan dianggap hanya mengandalkan nama beliau walaupun aku sudah berusaha sekeras mungkin mencapai segala sesuatu dengan usahaku sendiri.

Tujuanku datang ke kantor ini memang ingin menemui Hakim, setelah sempat bolos dan tidak mengikuti matkul hanya untuk bertemu Bram, dan kini pertemuan tersebut0 membuatku mati rasa, entah kenapa, bertemu dengan sosok datar, membosankan seperti Hakim, kupikir akan membuatku lebih baik.

Tapi nyatanya saat melihat Hakim yang tengah tertawa bersama dengan seorang Kowad membuat langkahku terhenti untuk mengikuti Kevin.

Rasanya sangat tidak menyenangkan melihat Hakim tertawa begitu lepas bersama Kowad cantik dengan rambut pendeknya tersebut, tawa yang jangankan terlihat, tersenyum pun jarang jika sedang berada di rumah Natsir.

Aku pernah menganggap kehadirannya mengganggu, tapi aku tidak pernah berpikir sebaliknya, mungkin saja di mata Hakim aku juga sama mengganggunya.

Bahkan walaupun dari kejauhan, aku bisa melihat wajah berbinar penuh pemujaan Kowad tersebut pada Hakim, dan itu menyulut rasa tidak sukaku.

Rasa sesak sama seperti saat mengetahui jika Bram dan Bunga akan bertunangan, bahkan rasanya jauh lebih mengerikan.

Sekarang ini aku bahkan harus menahan diriku untuk tidak menghampiri Kowad tersebut dan menjambak rambutnya, dan berteriak keras padanya jika yang boleh tersenyum pada Hakim hanya diriku.

Satu pemikiran gila yang memunculkan pertanyaan lain. Apa selama ini sikap Hakim yang menghiburku juga karena terpaksa?

Mendadak melihat semua orang yang begitu lepas saat tidak bersamaku, membuatku merasakan krisis kepercayaan diri, menganggap diriku selalu gagal membuat orang di sekelilingku merasa tidak nyaman jika berada di sampingku.

Saat Kevin datang menghampiri mereka, pandangan Hakim terangkat, membuat pandangan kami saling bertemu, senyum yang sempat terlihat di wajahnya saat bersama dengan Kowad tersebut hilang seketika.

Aku tidak bisa menghitung secepat apa Hakim bergerak, karena kini laki-laki membosankan itu sudah berada di depanku.

Aku mencoba mengulas senyum, menahan dadaku yang bergemuruh tanpa sebab hanya karena rasa iri bisa melihat Hakim bersama Kowad tersebut.

"Aku mau makan, kamu mau ikut?"

Tanyaku sambil berbalik, mendahuluinya yang akan berbicara, dan pasti akan menanyakan kedatanganku di Kantornya ini.

Aku tidak butuh jawaban, karena derap sepatunya yang berat, membuatku tahu jika Hakim mengikutiku.

Rasa hangat menelusup masuk kedalam kegelisahanku, aku iri melihat Hakim tertawa begitu lepas, tapi sekarang aku lega, setidaknya kini dia memilih mengikutiku.

Tanpa bisa ku cegah, senyumku muncul begitu saja, mengejek diriku sendiri atas sikapku yang labil pada Ajudan Papa ini.

Beberapa waktu lalu kamu memaki dan menangisi Bram, tapi nyatanya hatimu semudah itu jatuh pada laki-laki membosankan di belakangmu.

Tidak, aku tidak jatuh hati padanya.

Rasamu pada Bram bukan cinta Linda, itu hanya kenyamanan di tengah kesepianmu, jika cinta, tidak semudah itu rasamu mati hanya karena kalimat yang terucap menyakitimu di cafe tadi.

Itu karena kalimat Bram terlalu menyakitkan.

Sedangkan dengan Hakim?

Semudah itukah jatuh hati, bahkan jika kamu ditanya apa alasanmu, kamu tidak bisa menjawabnya, kan?

Jatuh hati atau tidak, nyatanya aku memang tidak rela Hakim bersama dengan Kowad atau siapapun, hanya itu jawaban dari banyaknya pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalaku.

Rasanya bahkan aku nyaris gila karena marah tanpa sebab dan alasan yang jelas.

Aaaarrrgggghhhhhh, diamlah kalian setan-setan kecil di dalam kepalaku yang membuatku semakin pusing.

"Linda."

Aku berhenti saat Hakim memanggilku, dan aku baru sadar, aku hampir sampai di parkiran mobil.

Saat aku berbalik, aku mendapati Hakim yang melihatku dengan kebingungan.

"Kamu kayaknya marah sama aku?"

Kali ini aku kembali berbuat bodoh, melakukan hal nekat untuk menjawab segala pertanyaan yang terus berkecamuk dan membuatku pusing akan jawaban yang tidak kudapatkan seorang diri.

"Hakim, di matamu aku itu seperti apa? Apa aku seperti monster, membuat laki-laki manapun takut untuk berada di dekatku, membuat kalian para lelaki menjadi kerdil karena kemandirian dan statusku?'

Wajah kebingungan Hakim berubah menjadi satu kemarahan, wajahnya yang datar kini bahkan mengeras.

"Siapa yang mengatakan jika kamu seorang monster, Lin?"

Tangan kekar tersebut kini menyentuh kedua bahuku, membuatku mendongak menatapnya, rasanya aku tidak suka melihat wajahnya yang menahan emosi seperti ini, aku ingin melihat Hakim yang tertawa seperti saat bersama Kowad tadi.

Tapi nyatanya hal itu tidak kudapatkan.

"Aku sendiri, Kim. Semua yang ada di dekatku tidak pernah nyaman, mereka tidak pernah tersenyum begitu lepas, bahkan kamu. Apa aku se menakutkan itu sampai kamu saja nggak pernah tertawa seperti tadi jika dirumah Natsir, bahkan setelah aku meminta maaf dan meminta untuk berdamai?"

Hakim menunduk, dan saat wajah tampan itu tepat berada di depanku, aku bisa mencium wangi mint pekat yang menguar darinya.

Dan demi apapun, aku tidak mungkin salah lihat, wajahnya yang sempat marah itu kini justru terlihat menghangat, senyuman tipis terlihat di wajahnya sekarang ini.

"Kamu repot-repot nyamperin aku kesini, dan sekarang keliatan uring-uringan nggak jelas, apa kamu sekarang sedang cemburu?"

Haaaah, cemburu?

Linda Natsir (Tersedia Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang