"Kamu selalu bawa aku ke tempat indah yang nggak pernah aku tahu sebelumnya, Kim. Bahkan aku seperti berada di Lembang, ini seperti bukan Jakarta."
Sungguh aku terpukau dengan tempat dimana Hakim membawaku sekarang ini.
Ini jauh dari bayanganku tentang bagaimana sebuah kencan pertama, bukan makan di restoran ataupun Kafe mewah, bukan nonton di Bioskop dan bergandengan tangan, Hakim justru membawaku berkeliling kota menikmati semburat senja, dan kini sebagai pelengkap kesempurnaan hari ini, Hakim menyuguhkan hal seindah ini.
Ini seperti Hakim menyulut ribuan lilin hanya untukku, benar apa yang dikatakan orang, romantisnya orang dingin dan cuek itu jauh lebih mematikan.
"Maafin aku ya sibuk belakangan ini."
Aku yang sedang memperhatikan hamparan lampu-lampu jakarta yang seperti sebuah karpet terang di malam hari langsung menoleh mendengar Hakim berbicara.
"Nggak apa-apa, Kim. Selama sibuk dengan tugas." aku menipiskan bibir ku merasa enggan untuk berbicara layaknya orang yang cemburu buta, "Asalkan bukan sibuk sama Kowad yang kapan hari itu."
Aku membuang muka, dengan dalih memilih untuk melihat pemandangan indah yang ada di depan sana, menyembunyikan bagaimana aku tidak suka melihatnya berinteraksi dengan perempuan lain.
Ya, ternyata aku memang seorang egois dalam cinta, tidak ingin membaginya dengan orang lain, bahkan hanya untuk senyuman saja.
Perlahan, angin malam yang berhembus menyapa tengkukku menghilang, berganti dengan rasa hangat yang begitu nyaman, pelukan Hakim yang mendekapku lebih dari cukup membuatku semakin terlena dengan indahnya pemandangan malam ini.
"Jadi, Princess Natsir ini masih cemburu dengan Kowad itu?"
Suara Hakim yang berbisik lirih di telingaku terdengar begitu sexy untukku, aku meraih tangan yang ada di perutku dan turut memeluknya.
Memilih menyandarkan tubuhku padanya dengan begitu nyaman, "Harus berapa kali aku bilang, aku ini pencemburu Kim, aku tidak suka berbagi."
Pelukan Hakim mengerat, tapi jawabannya justru membuatku darah tinggi seketika.
"Tapi sepertinya aku justru ingin memberikan hadiah pada Fenny, Lin. Menurutmu hadiah apa yang cocok untuk Letnan senior sepertinya?"
Dengan cepat aku berbalik, dengan kesal kutarik kuat-kuat telinga lelaki yang tengah memelukku sekarang ini, membuat jerit kesakitannya bergema di tengah kesunyian.
Tapi suara kesakitan itu tidak berlangsung lama, karena kemudian tawa renyah Hakim yang jarang terdengar justru kembali, tangannya mengacak rambutku dengan gemas, terlebih saat melihatku masih mencebik kesal.
"Seneng banget kamu ya Kim bikin aku kesal."
"Senanglah, kalo bukan karena Fenny, aku nggak mungkin bisa meluk kamu kayak sekarang ini, aku cuma bisa lihat dan mengagumimu dari kejauhan."
Hatiku menghangat, mendengar kalimat Hakim, laki-laki dengan sikap dingin, dan membosankan ini, ternyata menyimpan rasa sedalam itu padaku.
Hakim merangkum wajahku, membuatku mendongak menatapnya, sorot mata dingin yang pernah kulihat dulu kini berganti dengan sorot mata hangat, bahkan hanya dengan tatapan matanya saja seolah Hakim mengatakan jika selama bersamanya, semuanya akan baik-baik saja.
"Sekarang aku berani buat bilang betapa cintanya aku sama kamu, gimana kagumnya aku sama kamu, semua kalimatku yang sempat terlontar keluar dariku dan menyinggungmu itu, bukan karena aku membencimu, tapi aku yang terlalu mencintaimu, terlalu bingung bagaimana menyampaikan cinta dan kekagumanku yang terlalu besar ke kamu, Lin."
"............."
Kembali aku di buat kehilangan kata oleh Hakim, terkejut dengan semua kata manis yang diucapkannya.
"Jika kamu ingin tahu, aku mencintaimu, jauh sebelum kamu bertemu denganku, Linda. Mengagumi suaramu, dan memuja segala hal yang ada di dirimu. Dan nyatanya Tuhan berbaik hati bukan padaku, entah keajaiban apa yang membuat Tuan Putri sepertimu mau melirik cinta laki-laki biasa sepertiku."
Aku merangsek memeluk Hakim erat, mengungkapkan betapa bersyukurnya aku menemukannya, menemukan cinta yang begitu besar terbalut ketidakacuhan yang ditampilkannya.
Bahkan aku tidak yakin, aku bisa jatuh hati sedalam pada Hakim sekarang ini, aku pernah membencinya, tapi rasa nyaman dan cinta yang muncul tanpa permisi, membuat cinta itu menghapus semua kebencian hanya satu kedipan mata.
Dulu aku mentertawakan orang yang berkata obat patah hati adalah jatuh pada hati yang lainnya, dan kini semua hal yang kuanggap mustahil justru terjadi bertubi-tubi padaku.
"Rasanya, ini hari terbaik di hidupku Kim. Bisa nggak sih, waktu berhenti berputar untuk sekarang ini?"
Hakim tersenyum, tidak bereaksi apapun atas perkataan konyolku barusan.
"Hakim, kamu bisa janji untuk terus seperti ini, mencintaiku tanpa merasa bosan."
Aku mengharapkan Hakim akan menjawabnya dengan yakin dan tegas, tapi sayangnya hingga akhir kencan indah kami hari ini, aku sama sekali tidak mendengar Hakim menjawab permintaanku untuk berjanji.
Hanya pelukan erat, dan senyum hangat yang kudapatkan, dan entah apa artinya.
❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤
"Kamu ada kencan sama Hakim ya, Dek?"
Kalimat pertama yang di ucapkan Mas Lingga saat meneleponku membuatku menghentikan tanganku yang sedang sibuk mengiris sayuran membantu Bik Yuni.
"Diem berarti iya!"
Tukas Mas Lingga cepat, membuatku yang hampir menjawabnya langsung di buat melongo dengan kikik tawa menyebalkan Mas Lingga.
"Apaan sih, sotoy!" rasanya aku sungguh malu jika harus di goda Masku yang sableng ini, bagaimana dia yang ada di ujung Timur Pulau Jawa ini mengetahuinya?
"Kemarin ada bawahannya Hakim yang laporan ke Mas, katanya suruh ambil mobil, dan kaliannya malah pergi pakai motornya Hakim, sejak kapan lo mau naik motor?"
Astaga, seember dan sekamurang kerjaan itukah bawahan Hakim, hingga bisa menjadi agen ganda untuk Mas Lingga.
"Mas Lingga nggak tahu, kalo kemarin itu best day ever?" jawaban yang ku berikan pada Mas Lingga membuat Masku di seberang sana mendengus sebal.
"Best day ever gundulmu, ini beneran Linda bukan sih, perasaan waktu Mas tinggal balik dinas, masih gontok-gontokan sama Hakim."
Aku tertawa, lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri, "Beneran kok Mas, ini Linda Natsir. Nggak salah telepon kok."
Jika Mas Lingga ada di depanku, sudah pasti dia akan menoyorku saking gemasnya. "Ya Mas setuju aja sih, Lin. Mas sudah curiga sih tuh anak emang naksir sama kamu, perasaan dulu setiap kali Mas nelpon kamu, dia pasti nimbrung buat dengerin."
Aku membeku saat mendengar Mas Lingga teringat dengan kalimat Hakim kemarin yang membuatku bertanya-tanya.
Jika kamu ingin tahu, aku mencintaimu, jauh sebelum kamu bertemu denganku, Linda. Mengagumi suaramu, dan memuja segala hal yang ada di dirimu.
"Dan benarkan, Mas nggak tahu sih gimana kalian bisa sampai kencan, tapi Mas turut seneng, Dek! Hakim, dia teman Mas yang paling baik."
Jika Mas Lingga saja mengatakan Hakim laki-laki baik, rasanya tidak akan ada yang perlu kuragukan lagi.
Hingga akhirnya, senyumku masih mengembang hingga akhir percakapanku dengan Mas Lingga. Jatuh cinta itu memang indah, dunia yang awalnya hanya kulihat begitu datar dan membosankan kini berubah menjadi berwarna-warni, semua hal yang dilakukan Hakim benar-benar menjerat hatiku hingga tidak bersisa.
Aku sampai lupa, jika di dalam hidup ini, semuanya akan berubah begitu cepat, aku dengan cepat jatuh hati pada Hakim, hingga aku tidak sempat belajar untuk menyiapkan patah hati karenanya sama seperti sebelumnya.
Aku tidak pernah belajar, jika patah hati selalu berakhir dengan begitu menyakitkan.
Aku tidak tahu, jika kedepannya banyak yang ingin menghalangi bahagiaku bersama Hakim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Linda Natsir (Tersedia Ebook)
RomanceSiklus hidup manusia itu begitu sederhana. Hanya terdiri dua bagian, Bahagia dan Sedih. Disaat kita jatuh hati, dunia begitu penuh dengan warna-warni indah, dan kita hati akan patah jika tidak bersambut dengan cintanya, dan seiring waktu kita akan k...