"Tetaplah menjadi Linda Natsir yang seperti ini, terima kasih tidak mengasihaniku seperti yang lainnya, lebih baik menjadi orang yang tidak baik, dari pada orang yang hanya pura-pura baik."
"........"
"Cukup sekali tadi kamu berpura-pura, dan jangan mengulanginya lagi."
"........"
"Patah hati itu sesuatu yang wajar, dan menerima uluran dari orang yang peduli itu juga manusiawi."
Aku terpaku, terdiam mendengarkan apa yang di katakan oleh Hakim barusan, sebuah ungkapan terima kasih karena sikapku yang sering membuatku di benci oleh orang?
Mendadak jantungku berdebar kencang, ini kali pertama, selain keluargaku sendiri yang menerima dengan baik sikapku yang blak-blakan, dan sedikit anti sosial pada orang lain.
Bahkan Bram, salah satu yang kuizinkan mendekat ke ranah pribadiku saja, berulang kali menegurku karena aku yang sulit dekat dan berbaur dengan orang lain.
Orang-orang di luar sana tidak tahu, jika bukan inginku menjadi seperti ini, bukan inginku di berikan wajah arogan, bukan inginku di lahirkan di keluarga yang membuat mereka segan, bukan inginku juga aku tidak bisa bermanis-manis seperti mereka, membalut ketidaksukaan dengan kalimat manis, dan saat mereka berbalik akan bersemangat menyuarakan ketidaksukaan tersebut dengan orang lainnya dengan bahasa yang lebih buruk.
Aku bukan orang seperti itu, pelajaran jujur adalah hal moril pertama yang di berikan keluargaku terhadapku, menancap begitu kuat padaku dan Mas Lingga.
Hingga akhirnya, aku tumbuh menjadi pribadi yang tanpa segan menyuarakan apa yang menurutku buruk dan salah, tanpa aku berpikir, jika di mata orang lain, apa yang aku suarakan merupakan bentuk egoisme dan arogansi.
Mengatakan jika aku adalah orang yang tidak peka karena menyuarakan ketidaksetujuanku.
Bagiku, salah adalah salah, buruk tetaplah buruk, lebih tercela lagi jika kita tidak menyuarakan keburukan tersebut dan membiarkannya berlarut-larut.
Awalnya memang sulit, merasa tumbuh tidak seperti layaknya mereka yang mempunyai sahabat dekat, tertawa bersama, dan memiliki teman menginap yang menyenangkan di akhir pekan.
Tapi melihat banyaknya yang membicarakan satu sama lain di belakang mereka, membuatku bersyukur, sikapku yang menyebalkan di mata mereka, membuatku tidak terlalu banyak di kelilingi orang-orang toxic.
Cukup bergaul seperlunya, dan sewajarnya, dan jika ada yang salah dan kecewa, bukan karena orang lain, tapi karena diriku sendiri.
Dan Hakim, laki-laki yang nyaris seperti batu ini, seseorang yang awalnya kuanggap pengganggu, dan tidak lebih dari pada seorang yang tunduk hanya pada perintah atasannya ini, justru memintaku tetap menjadi diriku sendiri, apa lagi yang lebih berharga, dari pada di hargai di saat kita menjadi diri kira sendiri?
Bahkan aku benar-benar kehilangan kata untuk mengungkapkan betapa berartinya kalimat tersebut untukku.
"Kamu masih mau di sini atau turun?"
Pertanyaan Hakim menyentakku dari lamunan yang membuatku terlarut, dan aku baru menyadari, jika mobil ini tidak berhenti di rumah.
Tapi di sebuah taman yang di penuhi oleh pedagang kaki lima, dan juga para keluarga yang menghabiskan waktu untuk melepas penat tanpa menguras pengeluaran.
Terang saja, aku langsung melirik pakaianku, dress yang kupakai terlalu heboh untuk di pakai di tempat ini.
"Kim." aku menahan tangan Hakim yang baru saja membukakan pintu untukku, merasa tidak nyaman dengan pakaianku ini.
Melihat gelagatku yang gelisah, laki-laki berwajah datar ini menghentikan langkahnya dan menungguku berbicara.
"Bisa nggak kita makan di tempat lain?"
Hakim menaikkan alisnya dengan heran, "Memangnya kenapa, tempat ini nggak selevel sama kamu?"
Aku mengigit bibirku, menahan dirimu agar tidak mengumpatnya, hingga akhirnya dengan kesal ku tendang tulang keringnya yang membuat Hakim meringis kesakitan, mengundang perhatian orang karena suaranya yang keras.
Pelototan yang di layangkannya padaku, kubalas dengan sama tajamnya sebelum aku beranjak pergi meninggalkannya.
"Dasar!! Selain membosankan, kamu juga manusia paling tidak peka."
❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤
"Enak?"
Aku menoleh saat mendengar Hakim berbicara, masih dengan wajah kesalku aku sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.
Melihatku yang tidak kunjung menjawab membuat Hakim menatapku lekat, "Nasi gorengnya nggak enak ya, makanya piringnya sekarang licin."
Dengan isyarat kepalanya, Hakim menunjuk piring tempat nasi goreng yang ada di tanganku yang sudah habis tak bersisa.
Aku merengut, merasa selalu di ejek olehnya.
"Udah tahu pakai nanya lagi."
Hakim terkekeh pelan, hal yang menurutku luar biasa untuk manusia membosankan minus ekspresi sepertinya.
"Habis karena enak, atau memang lapar?" tanyanya lagi, entah setan apa yang sudah merasuki Hakim, selain dia yang mengejutkanku tiba-tiba dengan kehadirannya di Pesta Pertunangan Bram, kini dia bahkan berulang kali tersenyum kecil.
Bahkan sekarang dia tampak begitu bersemangat menggodaku yang sejak tadi merengut.
"Atau jangan-jangan habis karena memang butuh banyak energi setelah pura-pura baik-baik saja?" Usapan kuterima di bahuku di sertai senyumannya yang sarat seorang yang prihatin, tapi aku tahu dengan benar jika dia mengejekku.
Tidak ingin mendengarnya semakin mengolokku, kuraih tangan Hakim yang ada di bahuku.
Mengucapkan kata yang seharusnya terucap sedari tadi, "Makasih banyak ya, Kim! Aku nggak tahu lagi kalo nggak ada kamu, sendiri aku memang mampu, tapi denganmu tadi, menepis semua pemikiran menyedihkan mereka tentangku."
Hakim mengerjap, seakan tidak percaya jika aku baru saja mengucapkan terima kasih padanya.
Tapi aku sama sekali tidak ingin melihat reaksinya lebih jauh sekarang, cukup aku mengungkapkan apa yang memang seharusnya, perhatianku teralih saat melihat satu keluarga yang tengah tertawa bersama di depan kami, menikmati makanan sederhana di iringi kebahagiaan.
Rasanya menyesal tidak mengenal tempat ini, kenapa bertahun-tahun aku melewatkan tempat sehangat ini. Di sini, walaupun datang sendirian, aku akan bisa merasakan kehangatan keluarga yang jarang kudapatkan.
Sama sepertiku yang memilih memperhatikan pemandangan di depan kami, Hakim pun ikut memandang kedepan dan turut diam dalam pikiran kami masing-masing.
"Rasanya bahagia lihat mereka juga bahagia." tanpa sadar senyumku mengembang melihat, dua kakak beradik tengah bertengkar berebut makanan entah apa di piring mereka, persis aku dan Mas Lingga dulu.
"Aku tadi nggak mau turun bukan seperti yang ada di pikiranmu, Kim. Aku nggak mau turun karena penampilanku terlalu berlebihan." bahkan sekarang ini masih ada yang melirik heran pada penampilan hebohku untuk di tempat se santai ini.
"Sorry, Linda!"
Dadaku menghangat mendengar namaku yang di sebut oleh Hakim, terlihat penyesalan olehnya atas penilaiannya yang sempat keliru.
"It's oke, Kim. Kalo nggak karena kamu, aku nggak akan tahu di tengah kota ada tempat sehangat ini."
Dan selesai mengatakan hal tersebut, saat mendongak, aku melihat sebuah bintang yang bersinar begitu terang di tengah kota Jakarta, begitu terang, hingga aku nyaris menyangka jika dia sedang berkedip padaku.
Bintang di langit itu sendirian.
"Bintang di langit itu kayak kamu." tangan besar yang beberapa saat lalu menggenggam tanganku kini menunjuk ke tempat bintang yang menyita perhatianku, senyuman seorang Hakim yang biasanya begitu dingin dan tidak tersentuh kini kembali terlihat.
"Tetap bersinar terang walaupun sendirian, kamu seorang yang istimewa dengan caramu sendiri Linda, kamu tidak perlu orang lain untuk membuatmu kuat, dirimu sendiri sudah begitu terang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Linda Natsir (Tersedia Ebook)
RomanceSiklus hidup manusia itu begitu sederhana. Hanya terdiri dua bagian, Bahagia dan Sedih. Disaat kita jatuh hati, dunia begitu penuh dengan warna-warni indah, dan kita hati akan patah jika tidak bersambut dengan cintanya, dan seiring waktu kita akan k...