Pelukan Terakhir
“Hanya demi agar bisa kembali bisa melihatmu, mendekati cintanya yang terhalang status yang begitu lebar dan mencintaimu yang tidak tercapai olehnya, dia mau menjadi orang bodoh.”
Kutekan pedal gasku kuat-kuat saat suara Fenny Adisty bergema di dalam otakku, tidak peduli berapa banyak umpatan yang kudapatkan karena aksi koboyku di jalanan kota yang padat merayap ini, setiap ada celah, tidak kusia-siakan untuk menerobos.
Mungkin setelah ini mobilku harus menginap di Bengkel untuk waktu yang lama karena baret parah di sekujur bodynya.
Tapi tetap saja, kecepatan yang sudah membuat orang bergidik ini tidak mampu membuatku bisa dengan cepat ke tempat Hakim berada.
Ya, aku ingin menemuinya, menemui orang yang begitu mencintaiku hingga aku tidak bisa menebak arah cara berpikirnya, bagaimana dia bisa menahan segala hal yang sudah mengoyak harga dirinya hanya untuk berada di dekatku tanpa ada niatan sedikitpun memperjuangkan agar kami bisa bersama.
Jika Fenny Adisty, sosok yang sebelumnya kubenci setengah mati karena ku anggap mengambil alih posisiku di hati Hakim, tidak datang dan menjelaskan secara gamblang otak pintarku yang mendadak bodoh jika berhadapan dengan Hakim, mungkin sampai sekarang aku hanya akan terus meratapi nasibku.
Menangisi kenapa hanya aku yang mencintainya sementara dia sudah berbahagia dengan hati yang lain.
Aku menatap bayanganku di cermin, menatap wajah cantik yang kini membalas tatapanku sama angkuhnya, angkuh tapi sarat keegoisan, tanpa aku sadari, aku dan Mama adalah sosok yang serupa, hanya merasa paling benar dan selalu memaksakan keadaan tanpa peduli betapa beratnya hal yang menghalangi.
Hamparan lampu-lampu kota Jakarta kini terlihat, jauh samar di depan sana aku bisa melihat cahaya samar yang menyorot menerangi sosok yang tengah duduk di kegelapan.
“Jika kamu benar mencintainya, menemukan dimana Hakim bersembunyi di saat banyak pikiran bukan perkara yang sulit.”
Aku tidak ingin percaya diri dengan menebak, karena dua tahun pasti sudah merubah segalanya, tapi nyatanya, aku masih menemukan Hakim di tempat indah yang tidak akan pernah ku lupakan seumur hidupku.
Tempat kali pertama dia mengajakku kencan dengan cara yang tidak biasa. Dan kali ini aku masih menemukan Hakim di tempat yang sama.
Seolah menyadari kehadiranku, laki-laki yang masih mengenakan seragam dinas hariannya itu menoleh, raut wajah terkejut tidak bisa di sembunyikannya.Aku mencoba tersenyum saat mendekatinya, memilih untuk duduk di sampingnya, saat wangi musk yang tidak bisa kulupakan menyerbu masuk kedalam hidungku, rasa rindu yang sempat terkoyak oleh rasa kecewa kini menyeruak kembali ke permukaan.
“Dua tahun, sama sekali nggak berubah ya Kim.”
Tawa canggung terdengar dari Hakim menanggapi ucapanku, memilih tidak menjawab dan kembali menatap hamparan lampu-lampu yang terlihat seperti ribuan lilin kecil.
“Aku egois ya Kim, kalau saja Fenny Adisty nggak bilang ke aku, mungkin aku akan terus menerus bersikap egois, hanya merasa paling tersakiti tanpa pernah mikirin kamu.”
Hakim menatapku, tatapan mata yang membuatku terpaku oleh sorot penuh kepedihan.
“Seharusnya kamu memang membenciku, dengan begitu kamu dengan mudah melupakan segala hal tentang kita, aku sudah berusaha menjauhkanmu dariku, tapi ternyata Fenny menghancurkan rencanaku Aku ingin melihatmu sebelum akhirnya kamu menatapku penuh kebencian, begitulah niat awalku.”
Aku terkekeh, merasa jika duniaku terbolak-balik dengan begitu membingungkan.
Malam ini, aku tidak ingin menghiasinya dengan sebuah perdebatan seperti terakhir kali kami berjumpa.
Aku ingin menikmati malam ini, dan mengukir kenangan antara aku dan Hakim yang mungkin saja tidak terulang kembali.
Wajahku menghangat, saat aku merasakan jika Hakim tengah memandangku lekat dengan entah apa yang ada di pikirannya.
“Hakim.”
“Linda.”
Tawaku dan tawa Hakim yang selalu terdengar canggung terdengar saat kami memanggil bersamaan.
Ku tatap paras menawan, tegas, dan terlihat dingin tersebut, terbingkai indah oleh langit malam yang sekarang bertabur bintang.Senyum tipisnya terlihat, pemandangan langka untuk seorang Hakim Perwira, “Kamu duluan.”
Aku tidak menjawab seketika, tapi memilih bersandar pada bahu tegap yang sering ku pukul saat kesal, tapi tidak pernah meninggalkanku di saat aku sendirian.Dapat kurasakan tubuhnya menegang, ini skinship pertamaku dan dia setelah sekian lama kami hanya bisa saling memandang dari kejauhan, dan menghindar setiap ada kesempatan.
Kupejamkan mataku erat, menikmati desir angin malam yang memeluk kami berdua. Semuanya terasa indah, tapi aku sadar, sesuatu yang indah, tidak akan bertahan lama.
Begitupun antara aku, dan laki-laki kejam yang sekarang menjadi tempat bersandarku. Deru nafas, dan degup jantungnya yang perlahan, satu harmoni indah yang tidak ingin ku lupakan.
“Perjuangkan aku seperti Kakak merjuangin si Bodoh Eva, Kim!”
Helaan nafas panjang Hakim begitu terasa, bodoh memang, menanyakan sesuatu yang sudah ku tahu jawaban, dan juga imbas rasa sakitnya.“Mencintaimu itu pasti, memilikimu itu yang tidak mungkin.”
Rasanya aku ingin menertawakan diriku sendiri, mencintai orang yang masih saja kukuh dengan prinsipnya bahkan setelah sekian lama.
Rangkulan kudapatkan dari Hakim, semakin mengikis jarak di antara aku dan dirinya, hangat dan wangi tubuhnya membuatku enggan untuk melepaskan ini semua.
“Kamu itu perempuan Linda, kamu milik orangtuamu, dan aku tidak diizinkan untuk meminangmu, sekuat apapun aku berusaha restu itu tidak akan kudapatkan dengan ikhlas karena dari awal sudah tidak ada kesetujuan, aku mencintaimu, karena itu aku tidak ingin menyeretmu dalam dosa membangkang orangtuamu, orangtua yang juga telah mengasuhku hingga berada di posisi ini.”
Hakim dan pola pikirnya yang jauh melampaui akal sehatku.
Aku mendongak, mendapati Hakim yang tengah menatapku, sungguh aku tidak bisa membayangkan aku akan mencintai laki-laki lain sama sepertinya.
Usapan kuterima di wajahku, membelai wajahku perlahan, dan menyisipkan anak rambutku yang berantakan, sungguh aku merindukan segala hal sederhana yang di lakukan Hakim padaku.
“Kamu satu-satunya perempuan yang aku cintai selama ini, bahkan sampai kapanpun Linda.”
Satu kalimat sederhana yang membuatku kembali meneteskan air mata, aku tidak sanggup harus kembali menerima kenyataan jika aku tidak bisa bersama dengan sosok yang kini menjadi tempatku menenggelamkan wajahku dalam-dalam ke dadanya, meredam isakanku yang lolos tanpa bisa ku cegah.
“Kamu harus bahagia, karena bahagiamu bahagiaku juga, melihatmu selama ini hanya murung dan meratapi kita yang tidak bisa bersama juga melukaiku Linda.”
Tangisku semakin kuat, mendengar akhir yang sangat tidak kuinginkan pada akhirnya.
“Berjanjilah padaku Lin, dengan siapapun nantinya jodohmu, kamu harus bahagia.”
“Bagaimana aku akan bahagia, jika yang menjadi bahagiaku adalah kamu, Kim. Kenapa aku bisa mencintai laki-laki tolol sepertimu.”
Dekapan erat kudapatkan, sekuat apapun aku memukulnya, sekuat apapun aku menangis meraung karenanya, itu sama sekali tidak mengubah kenyataan akan pendiriannya.
“Percayalah Linda, jika nyawaku bisa di tukar untuk menebus hutang budiku pada keluargamu, akupun rela menukarnya demi restu mereka, nyatanya itu tidak bisa kulakukan.”
Perlahan, air mata yang sudah membanjiri pipiku di sekanya perlahan, kulihat Hakim yang masih bisa tersenyum kecil melihat wajahku yang sudah tidak karuan.
“Berjanjilah, kamu akan menyimpan kenangan kita dan terus bahagia.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Linda Natsir (Tersedia Ebook)
RomanceSiklus hidup manusia itu begitu sederhana. Hanya terdiri dua bagian, Bahagia dan Sedih. Disaat kita jatuh hati, dunia begitu penuh dengan warna-warni indah, dan kita hati akan patah jika tidak bersambut dengan cintanya, dan seiring waktu kita akan k...