Kuaduk kopi latte yang ada di depanku perlahan, memperhatikan foamnya yang perlahan menghilang seiring dengan sesapanku untuk membuang waktu jenuh karena menunggu.
Entah apa yang ada di pikiranku saat mengirimkan pesan pada laki-laki yang sekarang ini datang dengan senyumannya yang masih sama seperti kali terakhir kuingat.
Sekalipun dia telah mengecewakanku karena perasaanku tidak terbalas, tetap saja, memikirkan keseriusannya untuk menikah dengan Bunga dijadikan permainan keberuntungan orang lain membuatku tidak terima.
Seharusnya aku senang melihat orang yang telah mengecewakanku terluka karena orang yang di pilihnya, tapi nyatanya akal sehatku tidak membiarkanku jahat tanpa alasan.
Sudut hatiku tidak henti berbicara, jika Bram tidak membalas perasaanku, itu bukan kesalahannya, lagi pula mana bisa aku memaksakan rasa.
"Aku kira tadi salah lihat waktu baca chat kamu, Lin."
Aku hanya tersenyum tipis mendengar teguran Bram yang membuyarkan lamunanku.
"Aku juga nggak nyangka kamu ngeiyain ajakanku buat Lunch." timpalku yang di balas senyuman hangatnya.
Bram masih sama seperti yang kuingat, senyumnya masih sehangat sinar matahari pagi, membuat siapapun akan dengan mudah merasa nyaman dengannya.
Sayangnya, seorang hangat sepertinya nyatanya juga mempunyai celah untuk di khianati.
Begitu tidak adil dunia ini di mataku, jika sampai itu terjadi, terlalu burukkan Bram, atau terlalu keterlaluankah perempuan yang menyia-nyiakannya?
"Kapan aku pernah nolak ajakanmu, Linda?"
Mendadak aku membeku, menyembunyikan senyum canggungku mendengar kata sederhana Bram, kata-kata seperti inilah yang membuatku sempat menyalahartikan sikapnya padaku, merasa jika aku di istimewakan padahal Bram melakukan sikap baiknya pada semua orang.
"Kamu yang mendadak nggak ada kontak aku, aku chat kamu bahkan sama sekali nggak balas."
Bagaimana aku akan membalas semua pesanmu, jika yang kurasakan waktu itu saat membaca pesanmu yang sarat akan kebahagiaan tidak sabar menunggu pertunanhanmu adalah kesakitan karena perasaanku yang tidak terbalas?
Aku tidak sanggup jika harus berpura-pura turut senang sementara hatiku merasakan sebaliknya, aku ingin sekali mengatakan hal itu, tapi nyatanya, semua kalimat itu hanya terucap di dalam hatiku.
Karena sekarang pun aku mulai meragu dengan apa yang kurasakan.
Rasaku cukup aku dan Tuhan yang tahu, walaupun Bram mengetahui jika aku sempat terbawa rasa padanya, itu tidak akan merubah hal apa pun ke depannya.
Bibirku hampir terbuka untuk menjawab pertanyaan Bram saat laki-laki yang tampak mengesankan dalam balutan kemeja baby blue itu menjawab sendiri pertanyaannya.
"Aaahhh, aku lupa jika berbarengan dengan acaraku, pacarmu juga kembali kesini, Lin."
"Haaahh_" aku nyaris mengatakan siapa pacarku saat mengingat bahwa tempo hari Hakim datang bersamaku sebagai kekasihku. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, rasanya tidak nyaman saat menyuarakan kebohongan, "Sama kek kamu yang nggak sabar untuk mengikat Bunga, akupun antusias dengan kembalinya pacarku, Bram."
Rasa sedikit tercubit akibat kekecewaanku pada Bram perlahan menghilang saat mendengar nama Hakim, teringat dengan semua perlakuan manisnya saat menghiburku, dan hangat perlakuannya yang terbalut dengan dinginnya sikapnya.
Tidak ingin membahas lebih jauh tentang Hakim, aku segera mengutarakan apa yang yang menjadi alasanku meminta bertemu dengannya.
"Bram, seberapa kenal kamu sama Bunga? Sampai yakin untuk meminangnya dalam waktu sesingkat ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Linda Natsir (Tersedia Ebook)
RomanceSiklus hidup manusia itu begitu sederhana. Hanya terdiri dua bagian, Bahagia dan Sedih. Disaat kita jatuh hati, dunia begitu penuh dengan warna-warni indah, dan kita hati akan patah jika tidak bersambut dengan cintanya, dan seiring waktu kita akan k...