“Akhirnya Eva tahu.”
Suara Mas Lingga yang tiba-tiba datang dan langsung menghempaskan tubuhnya di sampingku membuatku yang sedang memandang hadiah dari Hakim menoleh.
Mata Mas Lingga tampak terpejam, terlihat lelah dengan entah apa yang sudah terjadi.
“Tahu apa, tahu jika kamu laki-laki bodoh yang mencintainya seumur hidup, atau tahu jika sahabatnya mencintai kekasihnya? Tahu yang mana?”
Mas Lingga membuka matanya, pandangan kesal terlihat di wajahnya mendengar pertanyaanku yang langsung ku balas sama melototnya, heeeehhh, kenapa segala hal tentang Evalia membuat Mas Lingga sensitif di segala hal.
“Dasar adik laknat, yang kamu sebut bodoh itu Masmu sendiri.”
“Maaf ya, tapi aku tidak mempunyai Mas bodoh!” balasku sengit, membuat Mas Lingga semakin mendelik sebal padaku.
Nyaris saja Mas Lingga meraih hadiah Hakim untuk membalas kekesalanku jika aku tidak cepat-cepat.
“Jika Mas berani nyentuh ini, Linda pastiin Linda benar-benar nggak punya Mas seumur hidup!”
Mas Lingga menatapku ngeri, membuat tangannya yang terulur dan hampir menyentuhnya tertarik kembali. Mas Lingga tahu dengan benar jika aku tidak akan main-main dengan ancamanku.
Hampir saja aku tertawa geli melihatnya mengusap lehernya perlahan, seolah-olah leher tersebut akan menjadi sasaran kemarahanku jika sampai terjadi.
“Memangnya apaan sih, cuma orang bego yang mau ngeringin kelopak mawar sampai sebegitu banyaknya.”
Aku hanya tersenyum kecil menanggapi apa yang di katakan Mas Lingga, ku sentuh perlahan kelopak mawar yang sudah mengering ini, merasakan jika sebelumnya kelopak ini di sentuh oleh Hakim, membayangkan jika jemarinya yang di gunakan untuk menyentuh kelopak ini meraih tanganku dan kembali menggenggamnya erat. Sayangnya itu semua hanya angan belaka.
Fix, aku dan Mas Lingga adalah kakak beradik yang bodoh karena cinta.
“Lo sinting ya Lin, megang kek ginian sambil senyum-senyum, kesambet setan apaan sih?”
Aku menatap Mas Lingga sendu, ingin sekali aku menyampaikan padanya betapa aku merindukan sang pengirim hadiah ini, tapi jangankan untuk mengadu, mengeluarkan namanya dari bibirku saja terasa begitu kelu.
Seolah mengerti, Mas Lingga mengusap puncak kepalaku, menenangkanku yang hampir menangis, “Hadiah dari Hakim?”
Aku hanya bisa mengangguk, tatapan prihatin terlihat dari Mas Lingga sebelum Mas Lingga menarikku ke dalam pelukannya. Dan kini, air mata yang sudah ku tahan sejak ku terima hadiah ini tumpah sudah.
Hakim, dia menyerah, tidak mengejarku saat aku mengatakan aku akan mundur jika dia tidak ingin memperjuangkanku, dengan dalih sebuah hutang budi antara dirinya dan orangtuaku.
Dia menyerah, memilih merasa rendah diri hanya memiliki cinta untuk membahagiakanku, bukan seorang dengan harta yang berlimpah seperti yang diinginkan Mama untuk bersanding denganku.
Dia menyerah, memilih meninggalkanku seperti apa yang diminta Mama tanpa kata apa pun selain dia tetap mencintaiku apa pun yang terjadi.
Tanpa ada kejelasan, apakah dia menyerah mengikuti kemauan Mama untuk berjuang, atau dia benar meninggalkanku untuk melihatku bahagia dengan orang pilihan orangtuaku.
Kalimat cinta darinya justru terdengar seperti omong kosong belaka untukku, mencintai tanpa mau berjuang, dan meninggalkanku dengan banyak tanya akan semua perilakunya.
Usapan di punggungku oleh Mas Lingga membuatku sedikit tenang, menyusut air mataku yang selalu datang tanpa permisi, di depan orang aku adalah orang yang tidak tersentuh, tapi nyatanya, aku juga manusia biasa yang bisa menangis karena hati yang patah.
“Linda, kamu harus tahu, menjadi Hakim itu tidak mudah, caranya mencintaimu itu berbeda, melihatmu bahagia, itu yang diinginkannya. Bukan mengejar seperti orang gila sepertiku, tapi kamu harus tahu, taraf mencintai paling dalam itu Hakim, mencoba mengikhlaskan asalkan yang kita cintai bahagia.”
Bagaimana aku akan bahagia, jika bahagiaku adalah bersamanya, kenapa sampai sekarang aku masih begitu mencintai laki-laki yang tidak ingin berbahagia denganku.
❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤
Linda, bisa tolong anterin berkas Papa yang ada di atas meja ruang kerja Papa.
Banyak tatapan heran kudapatkan saat aku masuk ke dalam kantor Menhan dengan bibir yang tidak berhenti mendumal.
Rasanya aku sungguh kesal dengan Papa, kenapa dia harus memintaku untuk mengantarkan dokumen yang entah apa ini ke kantornya, beliau saja dahulu mempercayakan aku dan Mas Lingga pada anggota beliau untuk dijaga, tapi sebuah file sama sekali tidak beliau percayakan untuk di ambil orang lain.
Membuatku yang nyaris saja berangkat ke rumah sakit harus berputar dahulu ke kantor yang tidak pernah ku kunjungi ini.
“Mbak, Mbak mau kemana?” hampir saja aku masuk ke dalam lift saat security menahanku untuk masuk kedalam.
Kusentak tangannya yang sudah seenaknya mencegahku, ku acungkan file yang ada di tanganku kedepan wajahnya. “Saya mau ketemu Pak Anggara Natsir, Papa saya.”
Raut tidak percaya terlihat di wajahnya saat aku mengatakan jika aku adalah Anak Papaku, “Mana ada Putri Pak Anggara sebarbar Anda Mbak, jika iya, seharusnya Anda tahu tata cara bertamu di kantor ini, bukan seenaknya masuk seperti Kantor ini milik nenek moyang Anda sendiri.”
Aku membulat, sedikit tersinggung di katakan sebagai manusia barbar tidak tahu aturan.
Ku tatap wajah menyebalkan security yang ada di depanku, menahan diriku untuk tidak menyambitnya dengan dokumen yang ku bawa, jika tidak ingat pesan Papa bahwa dokumen ini sangat penting, lebih baik kuberikan saja entah apa ini ke Security berwajah menyebalkan ini, aku menarik nafas, sebelum akhirnya aku kembali berbicara.
“Lalu saya harus bagaimana Mas?”
Tanpa mau menjawab, Security tersebut menunjuk bagian Resepsionis, dengan hentakan kaki yang kesal aku mengikutinya untuk mengikuti 'cara bertamu yang benar' di kantor ini.
Tapi sepertinya Security ini sudah bosan hidup, saat aku mengisi identitas sebagai tamu, suaranya yang menyebalkan kembali terdengar menyulut emosiku.
“Mbaknya ini masak ngaku-ngaku anaknya Pak Anggara, coba deh kamu hitung, sudah berapa banyak yang mau magang di sini ngakunya keponakan Pak Anggara Natsir, mentang-mentang namanya Natsir terus anaknya gitu.”
Ku banting bolpoin yang sedang ku gunakan untuk menulis dengan keras, membuat si Resepsionis langsung menatapku dengan ngeri.
“Saya memang Putrinya, apa perlu saya telponkan Papa saya biar mulutmu yang nyinyir kek comberan itu berhenti?”
Wajah pongah menyambut perkataanku, sungguh emosiku dibuat melambung tinggi olehnya, dengan tidak sabar ku keluarkan ponselku, segera menelepon Papa agar beliau sendiri langsung membungkam Security menyebalkan ini.
Sayangnya, seakan bukan keberuntunganku, dua kali aku menelepon Papa, dan dua kali pula tidak di jawab beliau.
“Apa yang kamu lakuin itu lagu lama Mbak. Buktinya nggak ada kan, kalo gitu doang, saya mending sekalian ngaku anaknya Presiden.”
Demi Tuhan, tidak peduli jika aku menjadi bahan cemoohan orang lain, aku berteriak keras, emosiku yang tidak stabil belakangan meledak karena ulah Security menyebalkan inak
“Saya memang anaknya Anggara Natsir, Papa saya sendiri yang minta buat bawa berkas ini ke beliau.”
Mulut Security tersebut sudah kembali terbuka untuk menyangkal lagi, saat tiba-tiba dia berubah tersenyum penuh hormat melihat seseorang yang ada di belakangku.
Wajah yang kuhindari selama ini kini berdiri di belakangku, tanpa senyuman sama sekali dan melihat ke arahku dia menatap datar pada Security tersebut.
Mendadak hatiku menjadi sendu, melihatnya kini berada di dekatku tanpa bisa kusentuh sedikitpun.
Dia, sama seperti Hakim saat pertama kali bertemu denganku, dingin dan tidak tersentuh.
“Perkenalkan, Mbaknya ini namanya Linda Natsir, Putri Bungsu Bapak Anggara Natsir, jika kamu tidak mengenalnya.”
Hakim menatapku dengan datar, tanpa memedulikan aku yang nyaris menangis menahan rindu terhadapnya.
“Mari, saya antarkan ke ruangan Bapak.”
Tanpa menunggu jawabanku Hakim berlalu, membuatku hanya bisa menatap punggungnya dengan miris, selama ini kami selalu menghindari pertemuan, aku selalu menunggunya menghampiriku, dan kini saat hal itu terjadi, kenapa dia menghampiriku hanya untuk mengacuhkanku?
Bukan ini yang kuinginkan jika bertemu kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Linda Natsir (Tersedia Ebook)
RomanceSiklus hidup manusia itu begitu sederhana. Hanya terdiri dua bagian, Bahagia dan Sedih. Disaat kita jatuh hati, dunia begitu penuh dengan warna-warni indah, dan kita hati akan patah jika tidak bersambut dengan cintanya, dan seiring waktu kita akan k...