Chapter 10

3.1K 517 44
                                    

Chapter 10

Harry mendengar Draco mengirimkan suratnya, tapi terus memejamkan matanya. Dia fokus pada rasa sakit di wajahnya. Jelas itu bukan yang terburuk dari yang telah dialaminya, tapi itu tidak benar-benar membuatnya lebih mudah. Ada juga rasa malu yang menyambar panas, yang dia rasakan memikirkan fakta bahwa Malfoy telah menyaksikan semua yang telah terjadi. Dia bertanya-tanya berapa lama lagi kabar bahwa si Harry Potter yang terkenal bahkan tidak bisa menghadapi muggle tersebar di seluruh sekolah...

Harry mendengar Malfoy duduk dengan berat di tempat tidur. Mengepalkan tangannya, Harry mendorong kertas-kertas tisu yang kusut itu ke mejanya. Dia telah membersihkan sebagian besar darahnya.

"Apa itu membantu?" tanya Draco, suaranya sedikit lebih tenang sekarang.

Harry membuka matanya, menatap anak lelaki di tempat tidur di seberangnya. Draco tampak agak sakit, dan dia bahkan lebih pucat dari biasanya.

"Yeah," Harry akhirnya berkata. "Sedikit."

Kedua anak itu duduk diam untuk beberapa saat. Mereka tidak benar-benar perlu berbicara; keduanya telah menyaksikan sesuatu yang melampaui kata-kata. Keheningan itu hanya terpecahkan oleh suara langkah kaki yang sedang menaiki tangga. Kedua anak itu menegang, tapi Harry menyadari bahwa langkah kaki itu terlalu ringan untuk jadi langkah kaki pamannya.

Bibi Petunia membuka pintu dan memberungut pada kedua anak itu. Dengan tak acuh, Harry bertanya-tanya apakah dia di sana untuk berteriak padanya, tetapi menyadari bahwa dia sedang membawa nampan makanan. Dia meletakkannya di atas meja dengan cukup keras hingga membuat piring berderak.

"Aku tidak tahu mengapa kau bersikeras memprovokasi Vernon seperti itu," kata Bibi Petunia kaku ketika dia meletakkan nampan tersebut.

"Kau bercanda?" tanya Harry. Sekarang dia tidak bisa berniat untuk mengabaikan perkataan Bibi Petunia, atau untuk menyetujuinya.

Bibi Petunia tidak mengatakan apa-apa; mungkin melihat bekas merah di wajah Harry, atau kertas-kertas tisu yang kusut berlumuran darah, menghentikannya. Dia meninggalkan kamar, mengunci pintu di belakangnya.

Harry memandang dengan tidak tertarik pada makanan itu. Terlepas dari semua pekerjaan yang dia lakukan hari ini, nafsu makannya hilang.

"Kau harus mencoba makan sesuatu," kata Draco pelan. Dia cemas tentang Harry, terutama melihat penampilannya sekarang. Tatapannya dingin dan datar, dan caranya berbicara dengan bibinya agak menakutkan. Malfoy terbiasa melihat Harry mengendalikan dirinya sendiri. Bahkan jika Harry marah pada kerabatnya (yang sering dia lakukan), pada dasarnya Harry tetap menenangkan diri. Tentu, dia marah, terluka, dan tertekan, tapi dia tidak kehilangan dirinya. Beberapa hal lebih sulit baginya untuk ditangani daripada yang lain, tetapi dia masih Harry yang sama yang Draco kenal di sekolah. Si Gryffindor bodoh. Namun sekarang, Draco tidak yakin apa yang terjadi pada anak itu.

"Aku tidak lapar," kata Harry, tidak menatap Draco. "Kau saja yang makan itu."

Tiba-tiba Harry mendorong dirinya keluar dari kursi, suara gesekan yang tidak menyenangkan terdengar di udara. Dia berjalan ke jendela, membelakangi Draco. Draco mengawasinya dengan gelisah.

Harry memandang kegelapan Little Whinging. Keadaan di sekitar itu tenang, suasana benar-benar sunyi. Harry memikirkan hidupnya di sini. Masa kecilnya terasa abadi ketika dia menjalaninya. Dia harus berjuang untuk segalanya: untuk menjauh dari Dudley dan gengnya, dan dari pukulan-pukulan Pamannya, untuk sisa-sisa makanan, untuk mempertahankan akal sehatnya di tengah orang-orang yang berusaha menghancurkan itu dari dirinya. Dia telah melakukan itu sepanjang hidupnya, dan dia berusaha untuk terus melakukannya, tapi terkadang segalanya menjadi terlalu sulit. Terkadang dia ingin menyerah. Tidak harus berjuang demi keselamatan dari kerabatnya atau demi makanan, atau bahkan tidak membiarkan pengalaman tersebut mengeraskan dirinya. Terkadang sulit menjadi Harry. Dia berpikir singkat tentang Snape, tentang semua cemoohannya yang mencibir kebodohan Gryffindor-nya. Mungkin Snape benar. Kalau saja dia tidak begitu lemah. Dia membiarkan kerabatnya menyuruh-nyuruh dirinya, dan setelah bertahun-tahun, dia masih membiarkan itu terjadi padanya. Meskipun dia benci mengakuinya, itu memengaruhi dirinya. Mengapa dia selalu harus merasakan semuanya? Harry menusukkan kuku-kukunya ke telapak tangan, berusaha mengusir pikiran-pikiran ini. Dia memaksakan diri untuk tidak merasakan apa pun. Untuk merasa hampa.

Reverberations | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang