Chapter 13
Harry tersadar perlahan, pikirannya memilah-milah serangkaian mimpi seperti gambar sebelum memecah permukaan. Mengerjap, sekelilingnya menjadi fokus. Dia mengerjap beberapa kali lagi, berusaha menghilangkan bayangannya yang kabur, lalu menyadari bahwa dia tidak memakai kacamatanya. Dia duduk perlahan, meraba-raba dengan kagok di meja samping tempat tidur. Dia mengenakan kacamatanya di wajah dan melihat sekeliling ruangan.
Kesadaran tidak menyenangkan bahwa dia tidak tahu di mana dirinya menghantam Harry. Namun dia tidak panik; dia tahu bahwa jika dia ditangkap oleh Voldemort atau pelahap maut, dia tidak akan berada di kamar sebesar ini atau tidur di ranjang yang nyaman. Dan ranjangnya benar-benar nyaman, terutama mengingat fakta bahwa dia sebelumnya tidur di lantai di rumah Dursley. Rumah Dursley—kenapa dia tidak di sana? Harry memeras otaknya, berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Pamannya marah, mereka bertengkar, Draco mencoba campur tangan... apa yang terjadi setelah itu? Dia pasti pingsan.
Well, jika dia di tempat lain, seseorang pasti datang dan membawa mereka dari rumah keluarga Dursley. Siapa? Harry harap dia lebih baik dalam mengingat sesuatu... ada orang yang dia lihat berdiri di ambang pintu, tapi itu pasti semacam halusinasi setelah dia pingsan; tidak mungkin itu terjadi.
Harry mengerjap beberapa kali lagi, mencoba membersihkan matanya dari residu tidur. Dia masih merasa lelah, dan dia bisa dengan mudah berbaring dan tertidur lagi, tapi dia ingin mencari tahu dulu di mana dirinya berada. Kamar itu tidak memberinya petunjuk apapun. Kamar itu bagus, tapi polos. Lantainya dari kayu, jendela-jendelanya dibingkai dengan tirai biru gelap. Tidak ada banyak ruang, dan sedikit ruang yang ada di sana telah ditempati rak-rak buku; rak-rak itu bahkan tidak dapat menampung semua buku, yang tercurah menjadi tumpukan-tumpukan kecil di seluruh lantai. Dia membungkuk dengan kaku, meraih salah satu buku yang ada di lantai dekat ranjang. Ramuan Abad Pertengahan. Harry menjatuhkan buku itu, yang membentur lantai dengan bunyi gedebuk keras. Tidak. Tidak mungkin halusinasinya tentang siapa yang menjemput mereka itu benar. Tidak.
Seseorang rupanya mendengar bunyi gedebuk itu, karena Harry mendengar langkah kaki seseorang berderit di sepanjang ruangan. Tubuhnya bergelung tegang.
Draco membuka pintu, melangkah dengan canggung ke dalam kamar.
"Kau sudah bangun," ucapnya terkejut. "Severus bilang kau tidak akan bangun selama beberapa hari."
Harry hanya menatapnya tanpa suara. Severus bilang...
"Apa yang terjadi?" Harry akhirnya berhasil berkata parau. Suaranya serak.
"Kau tidak ingat?" kata Draco, bahkan lebih terkejut.
"Aku ingat... sedikit," kata Harry pelan.
Draco terlihat... gugup, yang mana mengejutkan. Slytherin itu biasanya sangat pandai menjaga ketenangannya. Yang memberi tahu Harry bahwa ada yang tidak beres di sini.
"Well," Draco memulai dengan ragu, "Severus datang dan menjemput kita."
Kata-kata itu menggantung di udara.
"Severus datang dan menjemput kita," Harry mengulang dengan hampa.
"Dengar, Potter-" Draco memulai. Harry memotongnya.
"Kukira," ujarnya perlahan, "kau berjanji tidak akan mengatakan apa-apa." Suaranya tenang sekarang, tapi dia tidak bisa menahan sedikit pun amarah yang memenuhi kata-katanya.
"Aku tahu," kata Draco.
"Dan kau tetap memberitahunya," ujar Harry, tidak dapat menjaga suaranya datar sekarang. "Aku seharusnya tahu untuk tidak mempercayaimu! Apa kau sadar apa yang telah kau lakukan?" Dia hampir berteriak sekarang, tangan mencengkeram seprai dengan marah.
"Diam, Potter," senggak Draco, nada suaranya yang menenangkan sekarang hilang. "Kau tahu sebaik aku bahwa kita harus keluar dari sana. Mereka bisa saja-"
"Mereka bisa saja apa? Mereka bukan apa-apa yang tidak bisa kutangani! Dan hanya karena itu bukan rumah besar yang biasa kau-"
"Mereka bukan apa-apa yang tidak bisa kau tangani?" sanggah Draco, tidak percaya. "Bahkan kau tidak cukup bodoh untuk percaya itu, Potter. Lihatlah dirimu. Lihatlah betapa hebatnya kau menangani mereka." Kata-katanya lebih kasar dari yang Draco maksudkan, tapi dia tidak bisa menahan diri. Beraninya Potter berbicara dengannya seperti itu?
Harry tidak bisa bicara untuk beberapa saat; dia memaksakan dirinya bangun dari tempat tidur, mengabaikan kekejuran dan pusing yang dia rasakan. Tangannya telah meraih kerah kemeja Malfoy bahkan sebelum dia menyadarinya.
"Lepaskan dia, Potter," suara familier terdengar. Harry menurunkan tangannya, berbalik perlahan untuk melihat pria yang berdiri di ambang pintu. Snape berdiri dengan tangan terlipat, mata hitamnya terus menatap Harry. Kilatan kebencian yang familier menyalakan matanya.
Snape melangkah memasuki kamar.
"Tidak akan ada lagi teriakan, Potter. Ini rumahku, dan kau akan sopan dengan itu."
Harry hanya memelototinya.
"Apa itu bisa dimengerti, Potter?"
Harry mengangguk kaku.
"Tanggapan verbal," Snape berkata dengan seringai tanpa humor. "Aku tahu kefasihan tidak pernah menjadi bakat kuatmu, tapi aku percaya kau masih bisa merangkai beberapa kata."
Harry mengertakkan gigi. "Ya, sir," ucapnya berang.
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, ini rumahku dan kau akan mengikuti aturanku. Makan malam disajikan tepat pukul enam, sarapan pukul delapan tiga puluh. Jika kau terlambat, kau tidak akan makan. Tidak akan ada kebisingan berlebihan. Kau akan memperlakukan Mr. Malfoy dan aku dengan sopan, dan kau akan melakukan apapun yang kuperintahkan. Jika kau gagal mengikuti aturanku, kau tidak akan senang dengan konsekuensinya."
Harry menatap tajam Snape, berusaha mengendalikan amarahnya. Apa gunanya meninggalkan rumah Dursley jika dia hanya akan berakhir dalam situasi yang lebih buruk? Saat ini, dia hampir berharap dia kembali menghadapi pamannya. Setidaknya dia tahu apa yang diduga di sana. Tapi tinggal dengan Snape? Ini adalah sesuatu yang dia tidak yakin bisa dia tangani.
"Kau akan tetap berada di kamar ini selama sisa malam ini, beristirahat. Kau jauh dari pulih," kata Snape akhirnya, berbalik dan berjalan keluar kamar dengan sapuan khas jubahnya. Dia berhenti sejenak di ambang pintu.
"Dan, Potter, kau seharusnya sangat bersyukur karena Draco punya cukup akal sehat untuk mengingatkanku akan keadaanmu," katanya akhirnya dengan suara halus, sebelum keluar dari kamar. Harry menatapnya hampa sebelum berkulai kembali ke tempat tidur.
Draco berdiri di sana dengan bimbang selama beberapa menit sebelum dia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Harry melihatnya pergi dengan murung.
***
Makan malam berjalan dengan sunyi. Draco memakan pastanya dengan tidak minat. Severus memakannya dengan tenang, memperhatikan Draco. Anak itu tampak cemberut; Severus bertanya-tanya apakah ia benar-benar kesal karena pertengkarannya dengan Potter. Severus telah mendengar seluruh percakapan itu, kata-kata lantang mereka berdering menuruni tangga.
"Boleh aku permisi?" tanya Draco akhirnya. Severus berpikir untuk membuatnya tetap tinggal dan menyelesaikan makanannya, tapi dia mengangguk dan membiarkan anak itu pergi. Dia masih tetap di dapur.
Dia rasa dia harus pergi dan membawakan makanan untuk Potter, kalau-kalau anak itu bangun; ia dimaklumi untuk melewatkan makan malam hari ini, karena ia masih sakit, tapi ini satu-satunya pengecualian. Dia menyendok pasta ke piring dan naik ke lantai atas, berhenti di depan pintu kamarnya. Dia membuka pintu, melangkah ke dalam keremangan.
Potter tertidur, tapi sepertinya dia telah meronta-ronta; seprai dan selimutnya kusut dan membelit di sekelilingnya. Mengapa Potter selalu harus membuat segalanya berantakan? Dia meletakkan piring di atas meja, mengamati ruangan sekali lagi sebelum menutup pintu dengan bunyi klik pelan. Saat dia menutup pintu, Harry berbalik dalam tidurnya, rintihan pelan keluar dari bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reverberations | ✔
FanfictionMusim panas setelah bencana di Kementerian, Draco Malfoy dikirim untuk tinggal bersama Harry Potter. Dia menulis surat kepada Severus Snape, memberitahunya bagaimana keadaannya- dan apa yang sebenarnya terjadi di rumah Harry Potter. Harry Potter ©JK...