Chapter 25
Harry dan Draco menjumpai pagi itu dengan sikap yang jauh lebih lunak daripada malam sebelumnya; itu karena segala upaya mereka untuk meringankan suasana saat mereka memikirkan beratnya tugas di hadapan mereka. Harry pikir, akan jadi sebuah keajaiban jika mereka berhasil kembali ke Privet Drive tanpa bertemu dengan Pelahap Maut. Dan apa yang akan mereka lakukan jika tertangkap? Tak satu pun dari mereka yang membawa tongkat; satu-satunya pelindung lemah yang mereka miliki terletak pada sapu terbang mereka. Dibandingkan dengan kekuatan pasukan Pelahap Maut Voldemort, itu layak ditertawakan.
Tapi Harry telah memikirkan hal ini sebelumnya; dia telah menghadapi Voldemort di usia sebelas, dua belas, empat belas, dan lima belas, serta selalu menang. Satu-satunya hal yang harus dia andalkan dalam segala situasi ini adalah tekad dan keberaniannya sendiri. Sekarang, bagaimanapun, masih ada faktor yang tidak diketahui dari Draco Malfoy. Apa dia bisa mengandalkan Draco jika keadaan tiba-tiba berubah menjadi lebih buruk? Tidak, ucap suara kecil yang jahat di benaknya. Draco selalu membencimu, dia akan langsung menyerahkanmu jika itu berarti menyelamatkan dirinya sendiri... dia seorang Slytherin, dia hanya akan membuatmu masuk ke situasi buruk...
Dia dengan kuat menyingkirkan pikiran-pikiran ini. Dia tidak punya pilihan untuk memercayai suara kecil itu: dia hanya bisa menaruh kepercayaan pada Draco atau tidak sama sekali. Dia merenungkan hal-hal ini secara tepat dan objektif, mencoba melepaskan diri dari rasa takut dan ragu, yang tidak boleh dia libatkan.
"Siap?" tanya Harry beberapa menit kemudian, setelah mereka memakan sebagian dari makanan tadi malam. Dia mengambil sapu terbangnya dan menyampirkannya ke bahu. Meskipun akan mengundang tatapan heran orang-orang yang melihatnya, Draco dan Harry sama-sama setuju bahwa mereka tidak bisa mengambil risiko meninggalkan sapu mereka.
Draco mengangguk. Mereka berjalan dalam diam selama beberapa menit sebelum Draco berbicara.
"Potter," ucapnya, berhenti. "Aku sungguh berpikir bahwa kau harus mempertimbangkan ini kembali."
"Mempertimbangkan kembali apa?" kata Harry, tidak yakin dengan apa yang Draco bicarakan.
"Pergi ke rumah kerabatmu."
Harry menatapnya selama beberapa detik. "Tidak."
"Potter, kau tidak harus begitu—"
"Begitu apa? Jika kita pergi ke keluarga Weasley, ada risiko Pelahap Maut akan melukai mereka," bentak Harry.
"Kau hanya—kau tidak harus berperan sebagai pahlawan sepanjang waktu," Draco balas membentak, frustrasinya memuncak; mengapa Potter membawa mereka pada situasi yang lebih sulit daripada yang benar-benar mereka perlukan?
Dia sama sekali tidak siap untuk apa yang terjadi selanjutnya; Potter mendorongnya dengan kasar ke pohon terdekat, mencengkeram lengannya erat-erat. Sapu terbangnya jatuh terpelanting ke tanah.
"What the hell was that for!" teriak Draco, berontak melawan cengkeraman Harry; matanya terkunci pada mata Draco, berapi-api oleh amarah.
"Shut up," ucap Harry pelan. "Just shut up."
Draco berkedip; suara Potter terdengar kasar, tetapi pelan dan goyah. Apa yang sedang terjadi?
"Baik. Lupakan bahwa aku pernah menyebutkannya," ujar Draco dengan mata membelalak. Harry perlahan melepaskannya, lalu mulai berjalan pergi.
Harry berbalik dengan cepat untuk menyembunyikan wajahnya. Dia merasa malu atas reaksinya barusan, tapi ketika Malfoy menuduhnya berperan sebagai pahlawan, dia langsung teringat Hermione yang mengatakan hal yang persis sama sebelum dia bergegas ke Kementerian. Bayangan Sirius yang jatuh melewati selubung melintas di benaknya. Berhenti, batinnya. Berhentilah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reverberations | ✔
FanfictionMusim panas setelah bencana di Kementerian, Draco Malfoy dikirim untuk tinggal bersama Harry Potter. Dia menulis surat kepada Severus Snape, memberitahunya bagaimana keadaannya- dan apa yang sebenarnya terjadi di rumah Harry Potter. Harry Potter ©JK...