Chapter 24
Draco duduk segera setelah sinar remang matahari mulai menembus dedaunan di atas kepala, mengamati bidang kecil hutan tempat mereka tidur dengan cahaya pagi yang redup. Potter berada beberapa meter jauhnya, kacamatanya, yang sekarang bertengger miring di atas hidungnya, masih terpasang di wajahnya. Dia, setidaknya, tampak bisa tidur. Draco tidak memiliki keberuntungan yang sama; dia pikir dia beruntung jika dia bisa berhasil mendapatkan dua jam di sepanjang tidurnya yang terus berbalik-balik.
Dia berdiri, membersihkan lapisan kotoran dan ranting-ranting yang menempel di pakaian Muggle-nya dengan ekspresi jijik di wajahnya. Mulutnya tersenyum getir memikirkan reaksi orangtuanya terhadap putra dan pewaris mereka satu-satunya tidur di hutan, dalam pelarian dari para Pelahap Maut yang mereka sebut sebagai teman-teman mereka. Bersama Harry Potter sendiri yang menemaninya.
Pemikiran tentang keluarganya menjadi salah satu hal yang membuatnya terjaga sepanjang malam, menatap kosong pada dedaunan yang menggerisik di atas kepala dan bintang-bintang yang mengintip melalui dedaunan tersebut. Jika Pangeran Kegelapan menangkapnya bersama Potter, tidak ada yang tahu apa yang akan ia lakukan padanya, tapi seolah pemikiran itu tidak cukup buruk, tidak ada yang tahu juga apa yang akan ia lakukan pada keluarganya jika ia berhasil menemukan mereka. Itu adalah pemikiran yang menghantuinya sepanjang musim panas, sungguh, sejak dia setuju bahwa dia dan ibunya menerima bantuan Orde dan bersembunyi di bawah perlindungan mereka. Namun, sekarang, bahaya menerima bantuan itu terasa sangat gamblang, dan dia merasakan beban tekanannya semenjak Severus ber-Apparate.
Mengusap rambut dengan jari-jarinya, Draco memandang beberapa menit lagi saat cahaya terus merembes ke dalam hutan. Kemudian, menarik diri keluar dari pemikiran-pemikiran ini dengan merengut, dia berjalan ke tempat di mana Potter masih tidur.
"Bangun," titah Draco dengan lantang. Potter mengerang, berguling telentang lalu duduk dan membetulkan kacamatanya.
"Pagi untukmu juga," kata Harry, menguap sambil berdiri.
Draco terus merengut ketika Harry mengamati sekeliling mereka.
"Jadi," katanya, berbalik ke arah Draco, "menurutmu kita harus terus terbang sampai kita menemukan semacam kota?"
"Ya, rencana brilian Potter, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu," hardik Draco, lalu berjalan ke tempat di mana sapu mereka berpijak dan bersandar di pohon.
Harry memperhatikannya, berpikir bahwa senang rasanya Malfoy yang lama telah kembali.
***
Mereka telah terbang selama beberapa jam tanpa apa-apa selain pemandangan pepohonan yang tak ada habisnya, lalu Harry melihat bangunan di kejauhan.
"Di sana!" Dia terkesiap.
"Aku bisa lihat, iya," kata Malfoy dengan muram meskipun dia melihat kota yang mendekat itu dengan ketertarikan terbuka.
"Tunggu," ujar Harry. "Kita harus berhenti."
"Apa? Kenapa?"
"Ada hal-hal yang perlu kita bicarakan sebelum kita pergi ke kota yang bisa jadi kota Muggle!" tutur Harry, suara dinaikkan. Malfoy tidak punya pilihan selain mengikutinya saat dia menukik ke daratan.
"Well?"
"Kita perlu memikirkan ini baik-baik, Malfoy!" Harry balas menghardik setelah mendengar nada bicara Draco yang amat tidak menyenangkan.
Malfoy bersedekap dengan ekspresi masam di wajahnya, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi.
"Baik," ucap Harry, menghela napas panjang. "Karena tak ada satu pun dari kita yang tahu apakah kita telah terbang ke arah yang benar ke desa sihir yang Snape sebutkan, menurutku lebih baik berasumsi bahwa kita sedang menuju ke kota Muggle. Sepakat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Reverberations | ✔
FanfictionMusim panas setelah bencana di Kementerian, Draco Malfoy dikirim untuk tinggal bersama Harry Potter. Dia menulis surat kepada Severus Snape, memberitahunya bagaimana keadaannya- dan apa yang sebenarnya terjadi di rumah Harry Potter. Harry Potter ©JK...