29

3.9K 326 32
                                    

Pulang sekolah, di sebuah cafe Brian menunggu kedatangan seseorang. Orang yang mengetahui tentang dirinya.

"Udah lama nunggu?" Suara berat itu menyapa ramah.

Brian langsung berdiri dan menyalim tangan orang tadi. "Baru sampai."

Keduanya duduk berhadapan, masing-masing memesan minuman dan makanan untuk makan siang.

Melihat pria ini, Brian merasa seperti bercermin. Seakan melihat diri sendiri versi tua dengan kumis dan rambut yang ditumbuhi rambut putih.

Bukan, Brian tidak sedang berfoto menggunakan FaceApp.

"Jadi, bisa katakan dimana alamatmu?"

"Tidak sekarang. Masalah tawaran di telepon kemarin, akan aku pikirkan matang-matang."

"Aku mau bertemu orang tua yang sudah mengasuhmu selama ini."

Brian merasa di desak.

"Ayolah... beri aku waktu."

"Pasti sulit setelah tau kau hidup diantara orang asing."

Lelaki itu menyeruput jusnya menggunakan sedotan, mengabaikan ucapan pria tadi.

"Aku harap kau mempercayaiku."

Pria tadi berdiri, menaruh uang di atas meja kemudian pergi meninggalkan Brian.

Sama seperti ia ditinggalkan 16 tahun lalu.

•••

"Dea mana?" tanya Brian pada sang ayah.

Andi yang sedang duduk di teras melihat burung peliharaan baru menoleh sekilas.

"Udah pergi, les katanya."

Brian mengangguk singkat.

"Eh, ada burung kakaktua." Lelaki itu ikut duduk di samping Andi.

Burung tadi menirukan perkataan Brian. "Eh, ada burung kakaktua."

"Hae, dia bisa ngomong."

"Hae, dia bisa ngomong."

"I love you."

"Kita temenan aja."

"Amnjic lu, kakaktua."

"Amnjic lu, Bian."

Lelaki itu kesal kemudian menendang sangkar burung tadi sampai terjatuh.

Kakaktua itu heboh mengepak-ngepakkan sayapnya.

"Mampus lu."

"Matamu mampus!" Andi memukul kepala Brian. "Papa baru beli, kalau mati gimana?"

Lelaki itu mencebik, "Beli lagi lah."

•••

Sudah pukul empat sore, Dea sudah menelepon Brian untuk menjemput, tetapi lelaki itu belum juga datang.

Halte mulai sepi, langit pun menggelap. Untung tidak hujan, kalau iya pasti akan merepotkan.

Tidak ada lagi kendaraan berlalu-lalang membuat Dea sedikit ketakutan.

Tiba-tiba dari arah belakang, rambut gadis itu dijambak kuat.

"Udah gue bilang jauhin Brian!" tegasnya tepat di depan wajah Dea.

"Aku udah jauhin Bang Bian sebulan ini..."

"Seenaknya aja lo dicium, dasar jalang!"

"Kamu iri kan? Iri bilang bos!"

Vanya makin mempererat jambakannya membuat Dea merintih. Gadis itu masih memberontak.

"Jangan asal ngomong, gue robek mulut lo tau rasa!"

"Robek aja kalau berani," tantang Dea, gadis itu memutuskan untuk tidak mundur lagi.

"Berisik!"

"Aku juga punya perasaan untuk Bang Bian." Dea berbalik dan menepis tangan Vanya dari rambutnya.

"Apa-apaan lo!"

"Aku gak mau perasaan ini kalah dari punyamu!"

Keduanya bertatapan intens. Vanya mengulur tangan hendak menggapai rambut Dea, begitu pula yang Dea lakukan.

Mereka saling menjambak satu sama lain. Maklum, cewek kalau berantem incarannya selalu rambut.

Bersyukurlah kalian yang menggunakan kerudung:)

"Apa-apaan sih lo!" Alfi datang lalu mendorong Vanya hingga tersungkur.

"Gausah ikut campur, orang asing!"

"Gua pacar Dea," ujar lelaki itu menegaskan.

Vanya tertawa remeh membuat Alfi menautkan kedua alis. "Menarik."

"Gak jelas. Gua anterin pulang, De."

Dea menurut dan menaiki motor Alfi, memecah jalan raya yang sepi.

Tidak lama, Brian berhenti di halte. Yang lelaki itu dapatkan Vanya dengan rambut kusut dan wajah balu.

"Lu kenapa?" Lelaki itu turun dari motor dan memegangi wajah Vanya khawatir.

"Habis berantem... sama Dea."

"Serius?" Brian tidak begitu saja percaya, adiknya tidak mungkin terlibat perkelahian seperti ini.

"Abang tanya aja sendiri."

"Berani sumpah mati kafir?" Vanya mengangguk, itu cukup menjawab pertanyaan Brian. "Ke rumah, biar gua obatin."

Lagi, si gadis mengangguk. Ia tersenyum bahagia.

Siscon SomplakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang