Kalian pasti pernah berada di fase sedang menyukai seseorang tetapi jelas orang itu enggak bisa dimiliki. sama kayak Brian sekarang, selain dihalangi tembok yang tinggi, Brian sebenarnya sudah berkali-kali ditolak.
Namun tidak apa, tentu Brian tida...
Lampu kamar dimatikan, tiga gadis itu sudah berbaring di bawah selimut siap menuju tak terbatas dan melampauinya. Meski begitu, mereka belum ada yang mengantuk.
Iseng-iseng, Dea bertanya awal pertemanan Kiki dan Widya gimana. Kedua gadis itu mencoba mengingat-ingat.
Widya yang pada dasarnya pelupa akut tak dapat mengingat apapun. Badan doang muda, jiwa dan pikiran nenek-nenek.
Mending sih, daripada Emilia, umur 116, pemikiran masih 16 tahun. Kan goblok.
•••
Widya baru saja kembali ke Indonesia usai pindahan dari Paris. Emang udah ciri khas keluarganya, kalau gabut pindah negara.
Terkadang mereka juga bakarin uang karena gabut.
Maklum olang kaya.
Di sekolah, ia melihat seorang gadis sering diledek oleh anak-anak lain yang bertubuh lebih tinggi.
Jahat. Harusnya orang dewasa tidak boleh menindas anak-anak, begitu pikir Widya.
"Gak boleh jahat sama anak kecil!" teriak Widya berusaha melindungi gadis tadi.
Semua anak itu berdecak kesal dan pergi begitu saja. Widya beralih menatap si gadis yang menangis.
"Gapapa, kok. Mereka udah pergi."
Gadis tadi tak menjawab kemudian berlari menjauh.
Esoknya, Widya berjumpa lagi dengan gadis itu. Kali ini ia duduk sendirian sambil memakan bekalnya.
Karena Widya orang yang baik nan budiman, ia menemani si gadis dan duduk di sampingnya.
"Ayo kita temenan."
Gadis itu tidak menjawab, justru membuang muka.
"Gak mau? Kenapa? Aku jahat?"
"Kamu orang kaya, gak tau gimana rasanya cuci piring pake sabut kelapa," ujarnya dengan nada kesal.
Widya tidak tau apa hubungan pertemanan dengan sabut kelapa.
"Kamu gak tau rasanya sabunan pake shampo."
"Tapi, kan, aku cuma mau temenan, kau nolep, sih."
"Kamu orang kaya, aku sobat missqueen."
"Gak apa-apa. Pokoknya sekarang kita temenan, nama kau siapa?"