34

3.5K 332 125
                                    

Pulang sekolah Dea menghampiri kelas Brian, namun, lelaki yang dicari tidak ada di sana. Kata Fiza, sang abang sudah pulang duluan.

Dea menolak ketika Fiza menawarkan tumpangan, ia tidak mau merepotkan.

"Yok, De, pulang." Yoga tiba-tiba datang menarik gadis itu.

"Gausah, Bang, kalau numpang terus aku jadi gak enak."

"Ian yang nyuruh jemput lu tadi pagi, barusan minta anterin lu pulang juga."

Dea diam. Kenapa harus meminta orang lain? Padahal ia hanya ingin dibonceng sang abang.

"Aku pulang sama temen aja," ujar Dea kemudian berlalu.

Yoga hendak mengejar, tetapi lebih dulu di tahan oleh Fiza. "Biarin aja."

Seolah mengerti, lelaki itu mengangguk singkat. Keduanya hanya menyaksikan Dea berlari menghampiri seseorang.

"Bang Alfi!" Terengah-engah Dea berlari.

Lelaki yang awalnya hendak memasang helm fullface mengurungkan niat mendapati pemandangan dua gunung kembar memantul aesthetic memanjakan indera penglihatan.

Ada yang memantul, tapi bukan bola.

"Hm?"

"Kenapa telepon sama chat aku gak dibales?"

Alfi diam, tidak menjawab ia justru memasang helm dan menaiki motor.

Rasanya Dea ingin menangis saat Alfi menyalakan mesin hendak meninggalkan ia sendiri. Mata si gadis sudah berkaca-kaca.

Alfi tidak tega kemudian menghela napas panjang. "Naik."

Dea tidak berani membantah, sudah cukup dari kemarin ia dicuekin. Gadis itu tak ingin pacarnya semakin marah.

"Udah?" tanya si lelaki datar, sedatar dada Widya.

"Udah."

"Turun lah."

Dea memukul pelan bahu Alfi kesal, si lelaki hanya tertawa sambil mencubit pipi gadisnya. "Imut banget, sih."

Si gadis tersipu.

"Maaf soal yang kemarin-"

"Gapapa, kok. Bukan salah lu." Alfi langsung memotong, tak ingin membahas yang sudah terjadi kemarin.

Jujur, ia masih kesal karena tau Brian tinggal serumah dengan pacarnya. Lelaki itu melajukan motor.

Tepat sebelum meninggalkan pekarangan sekolah, Dea berucap, "Bang Bian itu abang aku."

•••

Brian mengendarai motor dengan Vanya duduk di belakang. Bukan gadis itu yang meminta, melainkan Brian sengaja menawarkan tumpangan.

Terasa seperti mimpi, bahagianya itu loh, sedari tadi Vanya tak bisa berhenti menebar senyuman sampai gigi kering.

"Mampir ke cafe dulu, yuk, cari makan," tawar Brian.

"Di deket sini ada yang jual ketoprak pinggir jalan, makan disitu aja."

Si lelaki mengernyit, jelas ia mengajak ke cafe biar romantis, kenapa malah memilih di pinggir jalan?

"Makanan cafe mahal, mending hemat diakhir bulan." Seolah dapat membaca pikiran, Brian jadi curiga gadis satu ini cenayang.

Sebentar, ginjal si lelaki terasa sedikit tercubit. Hemat diakhir bulan, seakan miskin sekali lelaki satu ini.

Tepat di pinggir jalan, mereka berhenti di sebuah gerobak penjual ketoprak. Memesan satu porsi untuk masing-masing.

Di tengah menunggu pesanan selesai, Brian menyadari Vanya sedang resah, terlihat dari cara duduknya yang tidak tenang.

"Ada yang buat lu gak nyaman?" tanya si lelaki akhirnya.

Vanya terperangah ditanyai seperti itu, ia pun tergagap, tidak tau harus jujur atau tidak. "Sebenernya ... sebenernya ..."

"Kenapa?" Brian tak sabaran menyorot serius wajah gadis itu.

"Sebenarnya gue su-"

"Ketopraknya dua porsi, satu pedes satu enggak."

Brian beralih, berbinar melihat makanan itu kemudian langsung menyantapnya.

Vanya mendelik tak suka pada mamang ketoprak tadi, yang ditatap cengegesan buru-buru menyelamatkan nyawa agar tidak terjadi scene baku hantam.

Si gadis menghela napas kasar sambil menyuap sesendok ketoprak ektra pedas favoritnya.

"Vanya, mau jadi pacar gua?"

Uhuk!

Sontak ia terbatuk-batuk saking kagetnya, tersedak dan itu sangat perih di hidung.

Brian menyodorkan segelas air dan mengusap-usap punggung si gadis, perhatian.

Vanya masih tidak percaya dengan indera pendengarannya. "Beneran, bang? Mau jadi pacar aku?"

Brian menggangguk.

•••

Jadi gini... ekhem... //benerin kerah.

20 vote untuk part selanjutnya v:
Begitu tembus langsung up kok hehe...

Siscon SomplakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang