31

3.8K 311 31
                                    

Maap keun author telat publish, kuota mendadak abis. Hiks...

•••

Brian guling-gulingan di kamar, jungkir-balik, bahkan kayang.

"Halah, pasti lont3."

"Gua yakin, pacar lu pasti gak secakep adek gua."

AAAAAAAAAARGGG!

Potongan-potongan dialog dari part 22 itu membuat Brian menekuk wajah malu. Rasanya ingin koprol, salto belakang, panjat pinang, terjun bebas dari cakrawala.

Semalaman bahkan Brian tak berani keluar kamar lagi saking malunya.

Pagi ini pun lelaki itu bingung mau memasang ekspresi seperti apa jika bertemu Dea.

Setelah berkali-kali menghela napas ia memberanikan diri, mencoba membuka pintu keluar dari kamar.

Tak diduga, di seberang sana Dea juga melakukan hal sama dan tatapan keduanya bertemu.

MUNDUR!

Cepat-cepat Brian masuk kembali, tak jadi keluar.

Dag dig dug seerrrr....

Tenang.
Tarik napas....
Tahan.
Jangan dibuang, mubazir.

Lelaki itu sudah memantapkan mental untuk keluar. Lagi, ia membuka pintu. Mengintip terlebih dahulu.

Lanjut celingukan memastikan keadaan.

Tidak ada Dea. Aman!

Dengan kecepatan cahaya Brian langsung mengambil kunci motor dan berjalan cepat keluar.

Dalam hati ia terus berdoa, semoga gak ketemu Dea, semoga gak ketemu Dea, semoga gak ketemu Dea.

Ternyata gadis yang dimaksud sudah menunggu di depan pintu.

K-geat!

Mau mundur sudah tanggung!

"Ayo, Bang," ujar gadis itu, tak berani juga menatap mata sang abang.

Keduanya menjadi semakin canggung sejak kemarin. Terlalu banyak hal yang terjadi.

"Abang mau berangkat sendiri."

Lelaki itu mulai memasang sepatu dan menaiki motor. Dea menatapnya ingin menahan, namun tidak jadi.

"Aku pergi naik apa?"

"Sama pacarmu aja."

Aaaaa....! Gua ngomong apaan woey! Jelas banget kalau cemburu!

Brian merutuki ucapannya sambil terus memaki dalam hati.

"Oke."

Tidak tega sebenarnya, namun karena sudah terlanjur, Brian melajukan motor meninggalkan rumah, sendirian.

Dari spion, terlihat Dea memasang wajah sedih penuh penyesalan. Ayolah... Brian jadi ingin putar balik.

Berbelok di tikungan, tiba-tiba muncul si bocil menghalangi jalan. Sontak Brian menekan rem mendadak.

"Bangsat!"

"Napa lu pergi sendiri? Dea mana?" semprot Kiki.

Brian memalingkan wajah. "Pergi sama pacarnya."

"Tolol atau gimana, sih?" Kiki tepok jidat.

"Dea udah punya pacar, gua gak ada alasan lagi buat berangkat bareng dia ke sekolah."

Lelaki itu menyorot serius. Kalau sudah begini, Kiki tak dapat berkata lagi.

"Yaudah, bareng aku aja."

Seorang gadis tak kalah cebol menaiki motor Brian. "Weh, lu sapa?!"

"Widya Fitrian, temen sebangku Dea." Gadis itu menjawab datar.

"Turun woey!"

Widya merogoh kantung, mengeluarkan sebuah permen dari sana. Membuka bungkus lalu memakannya, mengabaikan ucapan Brian.

"Ayo jalan."

Kesabaran Brian diuji. Sabar, gak boleh marah-marah sama loli. "Lu mau ninggalin si bocil temen lu ini?"

"Tenang aja, gue dah nelepon Fiza kok suruh jemput." Kiki nimbrung.

Brian tersenyum kecut sembari mengelus dada.

Kenapa cewek seneng bener nyusahin cowok.

•••

Alfi mengancing seragamnya enggan. Padahal sudah dibilang ia tidak ingin ke sekolah tunggu ajaran baru saja.

Sang ayah malah mengancam jika tidak sekolah ia akan mengulang satu tahun lagi.

Demi Monalisa selfi pake filter ice bear, masa orang seganteng dan sekaya Alfi tidak naik kelas.

Dengan terpaksa hari ini ia mengikuti ujian setelah sehari kemarin membolos.

Padahal bisa saja tuh Alfi tidak ujian langsung naik kelas saja.

Lagi pula, mana ada orang pindah sekolah dihari ujian. Orang tuanya emang gak beres.

Mentang-mentang banyak duit bisa sogok sana sogok sini.

Alfi mendengus kesal sebab sedari tadi ponselnya tak berhenti berbunyi. Mulai dari spam chat sampai telepon.

Lelaki itu mematikan ponsel karena tau siapa si penelepon. Siapa lagi kalau bukan Dea.

Dengan malas ia beranjak keluar kamar.

"Adek udah pergi, Ma?"

"Udah, kau kelamaan."

Mamanya itu paling tau cara menurunkan mood si anak.

Tanpa pamit atau pun mengucap salam, Alfi langsung melajukan motor menuju sekolah barunya.

Di lain tempat, Dea gusar karena orang yang ia telepon tak juga menjawab panggilannya.

Bagaimana ini, sebentar lagi gerbang sekolah akan ditutup tetapi ia masih di rumah.

Andi sudah berangkat kerja sejak pagi, Lisa mana bisa mengendarai motor. Lagipula, kendaraannya itu yang gak ada.

Sangat tidak epic kalau membolos sekolah hanya karena tidak ada yang mengantar.

Mau menghubungi Erich, kasihan, jarak antara sekolah dan rumah Dea kan lumayan jauh.

Di tengah kebimbangan, sesosok yang bisa dibilang penyelamat datang menawarkan tumpangan.

Bukan, bukan pangeran tampan dengan kuda putih. Melainkan seorang lelaki jelek yang menjadi tampan berkat make up dengan motornya.

"Naik keburu telat."

Siscon SomplakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang