47

2.8K 230 37
                                    

Lisa semakin khawatir karena tidak dapat menghubungi nomor Dea. Sampai sekarang Andi masih belum pulang dari rumah RT mengurus kepindahan.

Perasaan wanita itu menjadi tak karuan bagaikan telur, minyak dan air diayak jadi satu. Apa sih.

Beralih, Lisa coba menelepon ibunya. Setelah lama mendengar nada tut tut seperti dikentutin, baru panggilan tersambung.

"Assalamualaikum, Bu. Dea mana?"

"Ada. Kenapa?"

Wanita itu meminta agar Hana memberikan ponsel ke Dea.

"Kamu ganti nomor?" tuduh Lisa ketika ponsel telah dipegang oleh sang anak.

"Enggak."

"Mama telepon kok gak masuk?"

"Mati lampu, jadi ilang sinyal."

"Oalahh ... makanya jangan pake kartu miskin."

Dea berdecak malas. Sang ibu menelepon cuma untuk ngatain gitu doang? Semakin parah kah kegabutan ibunya?

"Abangmu udah sampai sana?" tanya Lisa mulai serius.

Dea berjalan keluar, memeriksa sekitar, tidak ada tanda-tanda kiamat, eh, kehadiran Brian di sana.

"Gak ada, abang belum dateng."

Wanita itu semakin khawatir sekarang. Sudah hampir setengah jam tidak mungkin Brian belum sampai. Ini kota kecil jadi jalanan tidak pernah macet.

"Kalau udah sampai bilang ke mama, ya. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Dea hanya mengerutkan dahi bingung. Ada apa memangnya? Tiba-tiba ia jadi kepikiran Brian.

Seperti ada hal buruk tengah menimpa sang abang.

Seketika si gadis tersadar, tidak boleh berpikiran buruk seperti itu. Ia meyakinkan diri, abang pasti baik-baik aja.

•••

Vanya tengah berjalan-jalan gabut siang itu. Memasuki toko baju yang memiliki AC untuk ngadem, lalu keluar tanpa membeli apapun.

Pindah dari toko ke toko melakukan hal sama.

Capek juga ternyata. Gadis itu berhenti untuk makan bakso di perempatan jalan sekalian istirahat usai berkeliling.

Panas-panas gini emang paling enak untuk makan bakso pedas. Biar panas makin panas.

Belum sempat menuangkan cabai ke makanannya, terjadi kecelakaan tak jauh dari tempat si gadis singgah.

Seketika jalanan menjadi ramai. Vanya tidak peduli. Tetapi, ia mengenali motor yang tergeletak dengan kerusakan parah di seberang sana.

Kaki Vanya tergerak untuk mendekati keramaian itu. Namun, langkah si gadis dihentikan oleh teriakan cetar membahana mamang bakso yang mengatakan, "Bayar dulu baksonya."

Usai berbalik dan membayar walaupun gak jadi makan. Dengan cepat ia menghampiri kerumunan.

Betapa terkejutnya ketika mengetahui siapa korban kecelakaan tersebut. Air mata langsung melesat menuruni pipi.

"Brian!"

•••

"Andi, kakak punya permintaan. Bisa kamu kabulkan?" pinta seorang wanita sembari membawa bayi di gendongan.

Andi iba melihat tubuh wanita itu tampak lebih kurus sejak terakhir kali bertemu.

Terkadang Andi jengkel dengan sikap Zulfa sang kakak yang selalu memendam masalah sendiri. Tiba-tiba saja datang sudah dalam kondisi memprihatinkan.

"Apapun itu akan aku usahakan."

"Tolong rawat anak kakak seperti anak kalian sendiri. Besarkan dia dengan kasih sayang."

Andi dan Lisa saling pandang. Memang saat ini mereka belum dikaruniai anak, tetapi bukan begini juga.

Lagipula, kemana suaminya? Banyak sekali pertanyaan yang ingin Lisa lontarkan. Tetapi, melihat kondisi Zulfa, pasti ia sudah tidak ada pilihan lain.

"Ari kemana?" celetuk Andi, ia tampak kesal karena memang sejak awal tidak pernah merestui hubungan keduanya.

Zulfa menunduk, takut. "Dia pergi, ninggalin kami berbulan-bulan."

"Alasannya?"

"Gak tau."

Lisa mencubit pinggang sang suami, pria itu hampir terbawa emosi sekarang. Andi menghela napas kasar kemudian membuang muka.

Suasana menjadi canggung sekarang. Lisa tidak keberatan jika harus mengadopsi anak kakak iparnya. Kalau itu bisa membantu, kenapa tidak?

Ia menghampiri dan mengambil bayi yang tengah tertidur dalam gendongan Zulfa.

"Dia mirip banget sama kamu. Siapa namanya?"

"Brian Gintara."

Siscon SomplakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang