49

3.5K 245 108
                                    

Sebagian part dihapus. Dikit kok, gak banyak.
(Demi kepentingan penerbit)

•••

Ari mendobrak pintu tempat Brian beristirahat. Ia kesal anaknya tidak dijaga dengan baik oleh Lisa maupun Andi.

Ia semakin marah melihat kedua orang itu tidak ada di sini. Brian hanya ditemani oleh seorang gadis yang tertidur lelap bersamanya.

Lelaki itu mendekat, mengguncang tubuh Dea kuat sampai si gadis terbangun.

"Ada apa, ya?" Dea berdiri dengan mata yang masih mengantuk kemudian bertanya sopan.

"Mana orang tua kamu?"

"Papa ada urusan sama dokter, mama masih sibuk nyari donor darah buat Bang Bian."

Ari berdecak kemudian pergi meninggalkan Dea dengan rasa penasarannya. Tiba-tiba datang, bertanya tidak sopan, lalu pergi seenak jidat.

Baru keluar ruangan, lelaki itu langsung berpapasan dengan Andi. Tentu mereka tidak akan bersikap ramah satu sama lain.

"Kamu gak becus jadi orang tua," tunjuk Ari tepat wajah Andi.

Yang ditunjuk masih tenang-tenang saja dan mencoba bersikap dewasa. Setidaknya ia harus menggunakan otak untuk menghadapi pria ini.

"Untung aja aku bukan orang yang menelantarkan istri dan anak sendiri."

"Brian celaka karena kalian!" Ari langsung menarik kerah Andi. "Kalian pikir dengan pindah-pindah aku gak bakal bisa nemuin kalian, huh?"

"Salah kamu yang selalu berniat merebut Brian setelah kamu telantarkan."

Ari baru saja hendak melayangkan pukulan namun lebih dulu dihentikan oleh sepatu Lisa yang melayang ke kepala.

Sepatu ajaib, bisa terbang.

"Kalau cuma bikin masalah, mending kamu pergi dari sini," usir wanita itu sinis.

"Aku ayah kandung Brian, kalian gak punya hak buat ngusir aku."

"Kalau emang gitu, seenggaknya jadilah sedikit lebih berguna."

•••

"Ada ayah pasien Brian Gintara di sini?" tanya seorang suster.

Andi dan Ari serempak mengangkat tangan, kedua pria itu saling bertatapan tidak suka.

"Biar aku yang nemuin dokternya," ujar Ari hendak bangkit dari duduk namun langsung ditarik kembali oleh Andi.

"Semua gak akan berjalan baik kalau kamu ikut campur."

"Heh, aku ayah kandung Brian."

"Iki iyih kinding Briin." Andi menirukan ucapan pria tadi dengan muka ngeselin minta ditabok.

Ari yang tidak terima langsung bangkit dari duduk dan menarik pria di hadapannya untuk ikut berdiri. Kedua pria itu saling melontarkan sorot kebencian satu sama lain.

"Ngajak berantem?"

"Kamu, sih!"

"Jangan berantem dulu," ujar si suster menengahi.

Lisa tak ingin ketinggalan ia ikut nimbrung. "Tiga loli milkita setara dengan 180 kalori."

"Ini permen susu mahal."

"Ekhem..."

Seorang dokter keluar dari ruangan dan menatap empat makhluk absurd di sana satu persatu.

"Masih mau lanjut ngiklan? Dibayar kagak."

Si dokter masuk lagi diikuti oleh Andi, Ari yang tak ingin kalah mengikuti langkah kedua pria itu.

"Operasi sudah dapat dilakukan siang ini," ujar dokter membuat Andi merasa sedikit lega.

"Pendonornya udah ada?"

"Berkat Pak Ari semua dapat berjalan lancar, dan juga ada seseorang yang mendonorkan beberapa kantong darah."

"Siapa dia?"

"Maaf, beliau tidak ingin identitasnya diketahui."

Andi mengangguk-angguk, padahal ia ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tersebut.

"Perlu kalian ketahui, walau dengan operasi ini, pasien tidak dapat sembuh total."

"Brian akan cacat?" kompak Andi dan Ari. Keduanya langsung berdecak menyadari kekompakan mereka.

"Akibat pecah pembuluh darah otak, pasien akan kehilangan penglihatan kiri, kecerdasan intelektual, dan gangguan pendengaran."

•••

Part 50 tamat. Ada kata-kata terakhir?

Siscon SomplakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang