Di part ini gak ada yang lucu btw :^
Yang ada hanya konflik~
•••
"Dea! Apa-apaan kamu berantem sama Vanya?" Brian mendobrak pintu rumah dan mendapati Dea tengah duduk di ruang tamu bersama Alfi.
Kenapa lelaki itu disini? Brian tidak suka.
Ia menyorot sang adik yang sudah berganti pakaian dengan plester di pipi kiri, bekas cakaran Vanya.
Si lelaki langsung menghampirinya.
"Di-dia yang mulai dulua-"
"Bukan itu jawaban yang abang mau!"
Alfi berdiri, mendorong Brian menjauh karena semakin menipis jarak dengan sang gadis.
"Santai, bro. Jangan kasar sama cewek."
"Gak usah ikut campur!"
"Gimana gak ikut campur, gua pacarnya!"
Brian terdiam, kini ia beralih menyorot Dea tajam. "Bener gitu, De?"
"I-iya." Ia sesegukan. "Maaf udah mukul Kak Vanya. Maaf."
Ia berlari ke kamar, meninggalkan tiga orang di sana. Vanya masih diam, berperan seolah menjadi korban.
Hati Brian patah.
Setelah mendapat sedikit harapan, kini gadisnya malah pergi dengan yang lain.
"Liat, karna ulah lu Dea jadi nangis."
"Mending lu pergi," usir Brian tanpa menatap wajah Alfi.
"Gak bisa dong sembarangan ngusir gua."
"PERGI DARI RUMAH GUA, ALFI!"
Vanya kaget ketika si lelaki membentak kasar, tak pernah ia lihat Brian semarah itu sebelumnya.
Lisa yang sedari tadi menyimak atau lebih tepatnya menguping, mulai keluar dan membawa Alfi menjauh.
"Kamu pulang, jangan sampai membuat keributan," ujar Lisa dingin.
Alfi mendengus kesal. Terpaksa ia pergi dengan amarah di dada, berulang kali si lelaki mengumpat atas tindakan Brian.
Apalagi mengetahui lelaki itu tinggal serumah dengan pacarnya membuat Alfi semakin murka.
Sebenarnya ada hubungan apa antara kedua orang itu?
"Ma, tolong ambilin kotak obat," pinta Brian kemudian membawa Vanya duduk di sofa.
Astaga, rasanya gadis ini ingin tertawa.
Baru beberapa saat lalu Dea mengatakan perasaannya tak akan kalah dari Vanya, tetapi sekarang ia malah membuat Brian marah besar.
Sudah dapat dipastikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Lisa kembali membawa kotak obat. Dengan telaten Brian mengobati luka Vanya.
Bukan hanya balu dan memar, terdapat goresan panjang bekas cakaran di bawah telinga sang gadis.
Siapa lagi yang melukainya selain Dea. Brian merasa bersalah karena hal itu.
Sesekali Vanya meringis ketika kapas pembersih mengenai lukanya.
"Maafin Dea, ya?"
Vanya menggeleng sembari tersenyum manis. "Gapapa kok."
"Gua anterin pulang."
"Sebelum pulang, gue juga mau minta maaf ke Dea."
Brian tampak keberatan dengan permintaan itu.
"Gak boleh?"
Setelah berpikir lama, si lelaki menghela napas berat. "Boleh kok."
Keduanya berjalan beriringan menuju kamar Dea. Sang abang mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban.
Brian merasa bersalah karena terlalu memanjakan gadis ini. Memang sesekali ia harus tegas.
"Buka pintunya!"
Masih sunyi. Tak lama terdengar langkah kaki disusul suara kunci pintu diputar, muncul Dea dari dalam sana.
"Apa?" Ia menyorot Vanya tak suka.
"Gue ke sini mau minta maaf juga. Maaf udah bikin pipi lo luka."
Dea tak menjawab, ia justru membuang muka saking tak sudi menyaksikan akting murahan gadis di hadapannya.
"Gua ke kamar dulu ngambil jaket," izin Brian kemudian berlalu meninggalkan kedua gadis di sana.
Vanya menatap punggung lelaki itu yang menjauh dan menghilang di balik pintu.
Kini ia beralih ke Dea, gadis ini masih menyorotnya tajam.
"Lo tau?" ujar Vanya lalu menghela napas panjang. "Sekeras apapun lo berusaha, itu percuma."
Brian kembali, baru keluar dari kamar membawakan dua jaket.
"Karena kalian bersaudara."

KAMU SEDANG MEMBACA
Siscon Somplak
HumorKalian pasti pernah berada di fase sedang menyukai seseorang tetapi jelas orang itu enggak bisa dimiliki. sama kayak Brian sekarang, selain dihalangi tembok yang tinggi, Brian sebenarnya sudah berkali-kali ditolak. Namun tidak apa, tentu Brian tida...