17

1.5K 238 2
                                    

Note.
Disini Renjun seumuran sama Jisung, demi kepentingan cerita. Jadi, Jeno, Haechan, Jaemin 00L, Chenle 01l, Renjun, Jidung 02L.

Enjoy.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Renjun menutup matanya. Untuk sesaat, kegelapan terasa sangat menggoda. Ia lelah. Lelah menangis. Lelah mempercayai yang seharusnya tidak ia percayai. Ia lelah dengan hidupnya.

Kata orang, keluarga adalah satu-satunya tempat untuk pulang. Kalau begitu, kini ia tak lagi punya rumah untuk pulang. Ia berusaha mempertahankan rupa papanya, yang banyak tertawa dan jahil. Setiap pagi papanya selalu mengganggu mamanya yang tengah memasak sarapan. Kadang sampai ia terlambat ke sekolah. Meski sudah berumur, pria itu selalu mengajak Renjun bermain. Kebetulan taman mereka cukup luas. Mereka biasa bermain basket disana. Walau akhirnya kebanyakan Renjun kalah.

Namun papanya orang baik. Ia tahu. Ia cukup yakin.

Dulu.

Mendengar papanya membunuh sangat tidak masuk akal. Namun setelah melihat pria itu mengancungkan senapan dan dengan gamblangnya mencabut nyawa seseorang, dunia Renjun serasa runtuh.

Bagaimana bisa dia melakukan hal sekeji itu? Menculik anak-anak, menjadikannya bahan percobaan demi kepentingannya semata. Membunuh siapapun yang berani ikut campur masalah ini. Kata papa, dia seorang pengusaha biasa. Apa selama ini setelah mengantarnya ke sekolah ia sibuk mencari korban baru, anak lain untuk ia culik?

Ia tak percaya papanya orang jahat. Seumur hidup tinggal dengannya, ia mengenal papanya dengan baik. Ia yakin pria itu tidak jahat. Namun disisi lain, matanya takkan berbohong. Kepingan memori itu takkan berubah. Papanya menembak wanita itu dengan mudah, layaknya binatang.

Pantas mereka sangat membencinya.

Pantas mereka ingin dia mati.

"Maaf."

Dengan mata berlinang, kepalanya terangkat menatap satu per satu anak di ruangan itu. Mereka masih sangat muda. Mereka masih kecil dan harus melewati semua ini.

Renjun menarik nafas dalam-dalam.

"Maaf," ulangnya lagi, suaranya bergetar.

Chenle meletakkan sarapannya di lantai. Begitu pula dengan yang lainnya.

"Kamu gak apa-apa? Kenapa gak makan?"

"Maaf," ujar Renjun, karena hanya itu yang bisa ia katakan. Ia tak berhak makan dengan mereka. Tak berhak menerima semua ini. Mereka seharusnya memperlakukannya dengan jahat. "Karena aku kalian semua menderita."

"K-karena aku, o-orang tua kalian meninggal. K-karena aku kalian harus berhenti sekolah. K-kalian hidup begini karena aku," isak Renjun. "M-maaf."

Chenle memandang Jeno, berharap orang itu bicara sesuatu. Namun ia tetap diam.

SPOILER, TRAILER, SURPRISE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang