Teruslah berjalan ke arah timur.
Setidaknya hal itulah yang membuat mereka yakin untuk terus berjalan. Suara itu yang bilang. Suara -yang entah siapa- itu menyebut diri mereka sebagai Sentinel.
Sentinel selalu menuntun mereka sejak pertama mereka menginjakkan kaki di Amethyst. Mereka tidak berwujud dan hanya bisa didengar oleh sang pemilik permata. Mereka mengaku sudah ditanam di alam bawah sadar, bersamaan dengan permata yang bersemanyam ditubuh mereka.
Tapi terkadang mereka menyebalkan. Ketika Boemgyu butuh teman bicara seperti sekarang ini, Sentinelnya seolah tidak peduli. Mereka hanya memberi tau bagaimana cuaca hari ini, jam berapa ini, ataupun cerita-cerita dongeng yang sudah berkali-kali ia dengar. Persis seperti robot yang sudah di setting.
Entah karena mereka tidak peduli atau Boemgyu yang tidak bisa berkomunikasi dengan mereka. Untuk berkomunikasi dengan manusia saja, Boemgyu masih kesulitan.
Laki-laki itu menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke belakang.
"Ada apa?" tanya Jisu.
Ia menggeleng. Dari tadi gadis ini banyak bicara. Ia menceritakan bagaimana kehidupannya di Canada, bagimana ia mengalahkan puluhan hiena, atau bagaimana kerinduannya terhadap ibunya. Beomgyu hanya mendengarkan sambil tersenyum sebagai responnya atau sesekali ia menggerakkan tangannya untuk bertanya sesuatu.
Dengan kondisinya, pasti melelahkan bicara banyak hal padanya tapi ia hanya bisa merespon seadanya. Mungkin itulah yang Choi Jisu rasakan hingga selama 30 menit terakhir ia diam.
Sebenarnya Beomgyu sangat bersyukur karena bertemu Jisu. Setidaknya ia tidak sendirian. Sungguh ia muak hidup sendirian. Semua isi semesta seolah tega meninggalkannya sendirian, bahkan sentinelnya sekalipun.
"Gyu-"
Beomgyu menoleh ke arah suara. Ia menampilkan ekspresi bingung.
"Aku tidak tau tempat ini berkabut."
beomgyu menyipitkan matanya. Benar saja, dibelakang mereka terdapat kabut yang membungkus apapun yang mereka lalui. Ia tampak berfikir sebentar sebelum-
"AKHHHH!!!" pekik Jisu ketika mendapati kabut itu membakar kulit tangannya.
Beomgyu langsung menarik Jisu untuk berlari dari sana. Jisu mengikuti.
Untungnya hutan disini lebih rapi dari sebelumnya. Pepohonan tumbuh diantara kanan kirinya dan ditengahnya terdapat jalan setapak yang mulai memudar dimakan waktu. Jadi lebih enak larinya.
Di depan sana, maniknya menangkap empat orang yang bingung melihat mereka berlari seperti orang kesurupan. Salah satu dari mereka punya luka yang masih basah di wajahnya, hingga menimbulkan warna merah darah. Hal itu yang membuat Jisu yakin untuk menyuruh mereka ikut lari. Begitupula Boemgyu yang menggerakkan tangannya tidak karuan.
"LARI!! KABUTNYA PANAS! LARI! LARI!"
Mendengar itu, keempat orang lainnya ikut lari dengan segala keluhan dan umpatan yang tidak disaring terlebih dahulu. Kemudian Jisu menyelaraskan langkahnya dengan laki-laki yang paling tinggi.
"Oh- hai, aku Choi Jisu."
"Apakah ini saat yang tepat untuk kenalan?" sahutnya sedikit menggerutu.
"Kau ada ide?"
Sempat-sempatnya Jisu menoleh untuk melihat ekspresi laki-laki disebelahnya ini. Sampai tangan laki-laki itu terulur untuk menarik lengan Jisu hingga langkah mereka terhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE AMETHYST: Alexandrite
Hayran KurguBUKU PERTAMA DARI SERIES AMETHYST "𝙆𝙞𝙩𝙖 𝙥𝙪𝙣𝙮𝙖 𝙨𝙖𝙩𝙪 𝙢𝙞𝙢𝙥𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙖𝙢𝙖 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙖𝙣𝙜𝙪𝙣 𝙝𝙖𝙧𝙞 𝙚𝙨𝙤𝙠." - Kepada senja di ujung bumi, tolong semangati lima anak adam dan lima anak hawa yang sedang memperjuangka...