"Apa kalian semua mengerti?"
Pak Asep meninggikan suaranya, hendak memastikan apa kami benar-benar memperhatikan atau tidak. Tentu saja respon murid di kelas mengiyakan, tetapi ursan mereka mengerti atau tidaknya itu masih misteri. Kebanyakan dari mereka mungkin mengerti, sementara sisanya menjawab iya agar guru itu segera mengakhiri pelajaran.
"Apa saya boleh nanya, Pak?"
Dari sisa keributan itu, suara gadis yang kukenal terdengar. Felly mengangkat tangannya untuk memperjelas bahwa dialah yang ingin bertanya. Sebagian murid-murid kelihatan tidak senang. Wajar saja, kebanyakan manusia memang tidak suka dengan jenis orang seperti Felly.
Manusia tidak suka orang lain berkembang, sadar atau tidak. Mereka akan menaruh kebencian pada orang itu dan memberi sebuah julukan yang amat konyol seperti 'sok rajin, cari muka, penjilat' dan sebagainya.
Atau memang begitulah rata-rata manusia sekarang, merasa sudah puas dengan apa yang didengar dan yang dimiliki, sehingga mereka membenci orang lain yang mau berkembang. Mereka hanya tidak ingin tertinggal, tetapi tidak mau maju.
"Silakan, karena masih ada waktu beberapa menit sebelum bel berbunyi. Tanyakan saja apa yang mengganjal dipikiran kamu." Pak Asep terlihat senang, antusiasme terlihat di wajahnya. Sudut bibirnya melengkung sedikit ke atas.
"Sebenarnya saya masih belum paham sama cara tebak-tebakan orang yang aktifin A-Box, Pak. Apalagi di peraturan enggak ada tata caranya, saya khawatir nanti malah ngelakuin kesalahan dan bikin masalah sama kelompok."
Pertanyaan yang dilontarkan Felly barusan sangat bagus, karena dengan begitu aku bisa lebih mengerti mengenai taktik tebak-menebak itu dengan mudah. Ini adalah senjata yang digunakan untuk mengeluarkan Amemayu Children's yang menjadi target.
Aku mendengarkan penjelasan Pak Asep dengan seksama. Dari apa yang aku tangkap, seseorang dari kelompok akan mengaktifkan A-Box dekat panggung. Kemudian jika ada ketua kelompok lain di sekitar sana maka akan mendapatkan email yang berisi kuisioner untuk menebak orang tadi.
Tunggu, aku belum melihat secara jelas panggung dan letak A-Box. Bukankah akan berbahaya jika A-Box ditaruh di tempat terbuka dan malah memperlihatkan nama orang yang mengaktifkannya?
Tidak, inilah yang dimaksud orang itu sebagai medan tempur. Aku harus menggunakan otak kalau mau bermain dengan cara SMA Amemayu. Dia bilang untuk bisa bertahan di sekolah ini seseorang harus melampaui pikirannya sendiri. Aku tidak terlalu paham sebelumnya, tetapi kelihatannya aku sedikit mengerti.
A-Box hanyalah media biasa yang akan menampilkan nama orang yang mengaktifkannya. Lalu sisanya adalah tergantung pada murid-murid bagaimana caranya bisa melindungi namanya sendiri atau melihat nama orang lain. Mungkin seperti itulah kasarnya.
Hari ini berjalan lagi seperti minggu sebelumnya, biasa saja. Tanpa terasa bel pulang sudah berbunyi, membuat kelas ini sudah bersiap-siap untuk kembali ke asrama. Aku ingin segera pergi ke toserba andai saja tidak terhalang oleh kewajiban berupa absensi.
Aku ikut mengantri, tepat di belakang seorang gadis yang ketemui di tangga darurat beberapa hari yang lalu. Dia tersenyum sedikit ketika mata kami tidak sengaja bertemu. Sebenarnya aku masih sedikit curiga dengan Nopi.
"Apa hari ini kamu mau nonton kelompoknya Icel main?" tanya Nopi kepada gadis mungil yang ada dihadapannya.
"Emangnya Icel langsung pentas hari pertama gini, ya?" bukannya menjawab, gadis dengan tampang apatis itu balik bertanya. Entah bagaimana aku menggambarkannya, ia seperti bingung tetapi wajahnya tidak demikian. Datar sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Vokal)
Teen Fiction"Sebenarnya aku tidak berharap banyak, kalau kau bisa mengeluarkan dia sebelum akhir semester maka kamu bebas. Kamu tidak perlu lagi mengeluarkan murid-murid lainnya. Tapi, karena aku yakin kamu pasti kesulitan, rasanya untuk Agustus ini, aku akan m...