Untuk mengkonfirmasi sesuatu, harusnya aku tidak perlu ceroboh dengan memintanya datang secara sembunyi-sembunyi. Namun, mengingat kembali ada dua orang yang paling ingin dihindari sekarang, tidak ada salahnya mengundang Yurina datang ke kamarku.
Ia adalah orang kedua yang masuk kemari. Meski aku bisa melihat sedikit keraguan saat dirinya pertama kali masuk, tetapi ekspresi itu langsung hilang setelah melihat apa yang ada di dalamnya. Aku tidak bisa mengatakan kalau kamarku bersih, rapi atau semacamnya. Lebih tepatnya kamar ini kosong.
Semua perabotan hanyalah apa yang sudah disediakan oleh pihak asrama, tidak ada tambahan apa pun. Aku merasa sama sekali tidak perlu membeli dekorasi atau semacamnya sekarang. Bagaimana bisa memikirkan perabotan kalau sudah berurusan dengan orang-orang licik dan masalah kelompok yang belum juga selesai.
"Kamar lo, bersih juga, ya?"
Entah itu pujian atau sindiran, raut mukanya yang tak bisa dibaca itu sulit untuk dipahami. Mata Yurina terus berputar, menjelajah isi kamar yang biasa ini. Aku hanya bisa sedikit tertawa dan mengucapkan terima kasih sebagai basa-basi. Gadis itu lalu duduk ditengah ruangan, tepat di depan meja bundar kecil.
Sementara diriku saat ini sedang berada di dapur. Aku sadar betul kalau pembicaraan kami pasti akan menjadi panjang. Jadi, sebisa mungkin harus bisa membuat suasana yang nyaman bagi Yurina agar dirinya tidak bosan atau tidak tertarik.
Berbicara sambil meminum segelas teh sepertinya adalah pilihan yang lumayan bagus. Walaupun ada kemungkinan kalau dia tidak akan menyukainya. Setelah aku selesai menyeduh teh tersebut, aku pun langsung membawanya kepada Yurina.
"Maaf lama."
Yurina menggeleng sambil tersenyum. Aku bisa menebak kalau ia menyukai teh, itu terlihat dari matanya yang terus menatap minuman tersebut. Namun, ia belum juga mengambilnya. Sehingga aku sadar dengan siapa aku berhadapan dengan siapa.
"Kalau mau langsung minum aja."
"Eh, boleh, nih?" tanyanya memastikan, dengan wajah yang tidak sabaran dengan penuh harap. Memangnya apa yang kau harapkan dari segelas teh?
Raut wajah yang langsung bersemi ketika aku mengangguk malah membuat jantung ini berdetak dua kali lebih cepat. Berbahaya, sungguh berbahaya. Sifatnya yang terlihat bodoh itu terkadang sangat manis.
Hampir saja aku lupa dengan tujuanku sebelumnya. Lebih baik aku berhati-hati mulai sekarang, bisa saja ia sengaja melakukan hal tersebut agar diriku lengah atau memang begitulah sosok sesungguhnya dari Yurina Parlina. Ia kelihatan senang ketika meneguk teh yang masih panas tersebut.
"Wah, hebat ya. Lo ternyata bisa bikin teh yang enak gini," pujinya sekali lagi memamerkan lengkungan tipis di bibirnya.
Hei, bukannya siapa saja bisa membuat teh seduh dengan sangat mudah? Sebenarnya kau itu perempuan, 'kan? Jangan-jangan Yurina adalah tipe gadis yang sama sekali tidak bisa berurusan di dapur?
"Lo jadi lebih seger daripada waktu itu, udah baikan sama mereka?"
Yurina mengangguk sebentar, lalu memasang ekspresi seperti siap menumpahkan segalanya. "Iya, gue tadi udah baikan sama David, terus kemarin juga udah mulai bisa ngobrol lagi kayak biasa bareng Kelvin."
Ia cukup bersemangat ketika bercerita. Melihatnya yang seperti itu aku hanya diam sambil mendengarkan dengan seksama. Mulai dari bagaimana dirinya bisa akrab kembali dengan Kelvin, hingga akhirnya tadi siang berhasil menyelesaikan masalah dengan David.
Memperhatikan gadis ini terus mengoceh sambil memamerkan keakrabannya dengan orang lain mmembuatku kembali berpikir tentang keraguan yang baru-baru ini dirasakan. Meski aku tidak begitu ingat, rasanya Yurina pernah bercerita kalau dirinya berpisah dengan mereka setelah lulus SD. Ada jeda tiga tahun sebelum pertemuan mereka kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Vokal)
Teen Fiction"Sebenarnya aku tidak berharap banyak, kalau kau bisa mengeluarkan dia sebelum akhir semester maka kamu bebas. Kamu tidak perlu lagi mengeluarkan murid-murid lainnya. Tapi, karena aku yakin kamu pasti kesulitan, rasanya untuk Agustus ini, aku akan m...