Senyuman yang sama sekali tidak bisa kumengerti terukir jelas di bibir Yurina. Ia menatap tanpa arti, begitu hampa. Seperti cangkang kosong yang tidak ada isinya. Ekspresi yang kelam, persis seperti hujan ini. Matanya yang terkejut tadi sudah berubah menjadi merah.
"Kenapa ...."
Suaranya tercampur dengan hujan, terdengar pelan dan juga sedih. Meski aku tidak mau berprasangka, tetapi sepertinya Yurina menangis sekarang. Tangannya bergetar, entah itu karena kedinginan atau hal lainnya.
Aku menyodorkan payung kepadanya, melindungi gadis itu dari guyuran hujan yang kian deras. Ia terus menundukkan kepalanya, menyembunyikan muka agar tidak dilihat oleh siapa pun.
"Cowok itu siapa?" tanyaku tanpa menjawab kata-kata yang baru saja terlontar dari mulutnya.
Yurina hanya diam, tidak berani mengangkat kepalanya. Pakaiannya yang basah membuatku sedikti mengalihkan pandangan. Ini bukanlah tempat yang bagus untuk berbicara.
Semuanya berlalu dalam sekejap. Sekarang aku sudah berada di kamar Yurina yang berada pada lantai 18. Berada di kamar seoarang gadis bukanlah hal baru bagiku. Namun, tetap saja rasanya tidak nyaman. Lagi pula kenapa aku harus setuju untuk datang ke sini?
Kamar Yurina tampak sangat berbeda dengan bayanganku. Di sini lebih menunjukkan feminitas dibandingkan dirinya yang terlihat seperti remaja pemberontak. Ada dua boneka beruang merah besar yang terletak di atas kasur bersprei putih.
Di dekat tv ada meja belajar yang sudah dipindahkan dari tempatnya, sebab perabotan di asrama selalu diletakkan sama setiap kamarnya. Seharusnya meja itu berada di dekat tempat tidur, tidak lebih tepatnya di samping . aku bisa menduga kalau ia dibantu oleh David atau yang lain untuk memindahkannya.
Mataku terus menulusuri isi kamar gadis ini, sampai tidak sadar kalau penghuninya sudah berdiri di depan dapur dengan rambut basah dan mengenakan kaos tanpa lengan berwarna gelap, ditambah handuk putih tergantung dilehernya. Ekspresinya masih menampilkan banyak pertanyaan, antara sedih dan juga bingung.
"Maaf lama," lirihnya hampir tidak terdengar.
Aku menggeleng singkat untuk memberikan respon. Sebab aku ke sini bukan untuk menerima permintaan maaf dan sepertinya ia sendiri sadar akan hal tersebut.
Ia kini duduk di hadapanku, tepatnya di seberang meja persegi kecil yang digunakan untuk belajar atau sekedar minum di kamarku. Yurina belum mengatakan apa pun kecuali permintaan maaf tadi, benar-benar menjadi kaku dan sunyi.
Memaksanya bicara sekarang akan sangat buruk. Seseorang yang dalam keadaan seperti ini biasanya tidak akan buka mulut kalau tidak menggunakan umpan yang tepat. Mengingat kembali sifat Yurina yang agak bobrok, sedikit mustahil untuk mengintimidasinya.
Apa lagi ia sedang tertekan. Kemungkinan kalau Yurina akan buka mulut memang besar, tetapi untuk hubungan jangka panjang akan menjadi sulit, aku harus bisa menariknya perlahan agar bisa mendapatkan hasil yang sempurna.
"Lo udah ngeliatnya, 'kan?"
Akhirnya Yurina bersuara, meski dengan kepala yang masih tertunduk seperti sebelumnya. Ia belum berani untuk melakukan kontak mata. Gadis itu bahkan gemetar entah karena takut atau kedinginan, hanya dirinya sendiri yang tahu.
Membiarkan dia melanjutkan kata-katanya adalah pilihan yang bijak untuk sekarang ini, menjadi pendengar yang baik akan selalu berhasil untuk mengetahui keluh kesah orang lain. Bahkan kita juga bisa mengetahui rahasia terdalam seseorang ketika dia sangat percaya dengan pendengar tersebut.
Lalu, bagaimana jika pendengar yang baik itu sebetulnya tidak benar-benar baik? Maksudku, bagaimana kalau orang yang mendengarkan keluh kesah itu mengumpulkan informasi dari setiap orang yang bercerita padanya, kemudian dia akan menggunakannya sebagai senjata untuk menjatuhkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Vokal)
Teen Fiction"Sebenarnya aku tidak berharap banyak, kalau kau bisa mengeluarkan dia sebelum akhir semester maka kamu bebas. Kamu tidak perlu lagi mengeluarkan murid-murid lainnya. Tapi, karena aku yakin kamu pasti kesulitan, rasanya untuk Agustus ini, aku akan m...