• Enjoy Reading •
Masih pagi buta, jarum boncel yang sudah terpasang lengket pada jam dinding itu menunjukkan pukul enam pagi. Siang belum menjelang, tapi perasaan Seoyun sudah hancur lebur tidak berbentuk dan tidak berasa.
Hari ini, jadwal latihan pagi. Seoyun sudah bersiap-siap, memasukkan beberapa benda yang akan ia gunakan untuk latihan ataupun saat membersihkan diri nanti. Juga dengan tubuhnya yang kini sudah dibaluti pakaian renang dan ditutupi dengan jaket tebal, tak lupa dengan celana training kesayangannya.
Sebelum benar-benar pergi meninggalkan ruangan serbaguna ini, langkahan kakinya mendekati ranjang Euna yang kini tengah menjadi tumpuannya. Euna sudah sedikit membaik dari hari kemarin. Punggung tangannya ia letakkan pelan diatas kening Euna, demamnya sudah mereda, tapi kesehatannya belum normal.
Senyap, Seoyun tidak berkata. Ia lebih memilih untuk melangkahkan kakinya kembali usai memeriksa keadaan Euna pagi ini. Seoyun menjinjing tas besarnya, melewati koridor asrama yang masih lengang suasananya, tentu saja ini masih pukul enam pagi, siapa pula yang akan bangun sepagi ini. Ah, mungkin hanya Seoyun. Yang bersedia menerima latihan pagi buta begini.
Angin pagi begitu tidak bisa diajak berkawan. Dinginnya begitu menusuk pada permukaan kulit, menembus masuk ke dalam, hingga mencapai tulang. Sayangnya pagi ini matahari belum siap unjukkan diri, masih malu-malu membekam diri di balik lengkungan bumi. Sampai-sampai nyaris membuat Seoyun jatuh pingsan lantaran menggigil kedinginan.
Lenguhan tidak jelas, terdengar mengudara. Seoyun menendang-nendang kerikil-kerikil di jalan yang tidak bersalah. Merutuki apa-apa yang tengah ia temui saat ini.
Di dalam relung hatinya begitu hancur, bersama dengan hantaman sesak yang bertubi-tubi. Barangkali Seoyun akan merasa lebih baik saat menghirup udara pagi, dengan suara kicauan burung dan gesekan tapak kasut yang mendominasi–tapi ternyata tidak. Perasaannya begitu buruk sekarang, oh mungkin sejak kemarin pagi.
Seoyun tahu betul apa yang tengah ia rasa, apa yang tengah ia jengkelkan, dan apa yang tengah ia pikirkan. Perubahan suasana hati yang begitu tiba-tiba kala melihat pria dambaannya terlihat begitu dekat dengan wanita lain. Ya Seoyun juga tahu, Aera adalah teman Taehyung saat di bangku sekokah.
Tapi apakah mereka memang sedekat itu? Sampai-sampai harus mengabaikan eksistensi dirinya yang berdiri tepat tak jauh dari keduanya?
Seoyun semakin rengsang, tidak ingin melakukan apa-apa dan tidak ingin memikirkan apa-apa. Ia ingin menangis, sungguh. Begitu berkali-kali lipat, Seoyun sudah mengalami suasana yang buruk lantaran mendapatkan masa menstruasinya, ditambah lagi dengan perihal Taehyung dengan wanita si Aera itu.
Mencintai secara sepihak sungguh sangat buruk, memberanikan diri masuk ke dalam kubangan kesenduan juga kepiluan bukanlah hal yang patut dibanggakan.
Jangan memaksakan diri bila tidak sanggup, berharaplah sesuai kadarnya, jangan melebihi sampai-sampai harus menyiksa diri sendiri.
Seoyun tahu betul bagaimana rasanya, selama enam bulan lebih ini dirinya diberikan banyak perhatian dan harapan oleh sosok pria pujaannya. Namun semua itu bukan bermaksud untuk mengimbangi rasa yang Seoyun miliki, entah apa alasannya berbuat demikian, Seoyun pun tidak tahu.
"Ayolah Seoyun! Kuatkan dirimu, masih ada banyak hal yang perlu kau kerjakan." ucap Seoyun monolog.
Wanita Lee itu memantapkan diri, mengayunkan kedua kaki dengan keyakinan di setiap langkahnya. Berjalan cepat menuju gedung latihan yang mungkin sudah ada Pelatih Haneul yang tengah menunggunya di dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
Fanfiction[ Revisi Setelah Tamat ] Bohong jika Seoyun merasa senang berpura-pura menjadi kekasih Kim Taehyung. Menjadikan dirinya sebagai bualan untuk mantan kekasihnya yang kerap mengganggu hidup pemuda bermarga Kim itu. Belum lagi ia mendapatkan kenyataan...