Hanif terkekeh. "Semoga pernikahan kalian langgeng selamanya, Badai dan Jahra."
Satu bulan yang lalu
"Aku sudah mengambil keputusan," ujar Hanif yang merasa mantap akan pilihan yang akan ia ambil itu. "Aku akan menikahi Lusi."
"Kamu yakin?" Tanya Badai memastikan.
Hanif mengangguk. "Sekarang antar aku ke rumah Lusi."
Badai menghela nafas, menjalankan mobil menuju tempat yang diinginkan sang atasan.
Badai menghentikan mobil di halaman rumah Janita. Hanif keluar dari mobil dan beranjak menuju rumah itu.
Janita yang melihat kemunculan Hanif segera berdiri dan menyambut kedarangan Hanif.
"Mau membawa Lusi kabur lagi?" Tuduh Janita tanpa berniat basa basi lagi.
Hanif terkekeh. "Tante ternyata sudah mengenal aku dengan cukup baik ya."
Janita mendengkus. "Tante tidak akan mengijinkan. Sebelum kalian resmi menikah, jangan berharap bisa membawa Lusi sesuka hati."
"Apa aku juga tidak boleh mengajak Lusi untuk mempersiapkan rencana pernikahan kami?" Tanya Hanif memastikan.
Lusi yang baru keluar dari dapur segera menghampiri Mamanya dan Hanif.
"Hanif," ujar Lusi merasa senang karena Hanif kembali menemuinya setelah adegan lamaran itu.
"Aku ingin mengajak kamu keluar untuk mempersiapkan semua keperluan pernikahan kita," ujar Hanif masih terkesan bersikap dingin.
Lusi menoleh ke arah Janita, seolah meminta ijin. Janita menghela napas. "Pastikan pulang ke rumah tepat pukul lima sore. Jika lewat dari itu Mama tidak akan pernah mengijinkan kamu untuk pergi bersama dia lagi."
Lusi tersenyum senang mendengar sang Mama mengijinkan. "Terima kasih, Ma."
"Dan kamu." Janita menatap tajam ke arah Hanif. "Jangan berani-beraninya menyentuh Lusi seujung kuku pun!"
Hanif mengangguk, kemudian berjalan menuju mobil mendahului Lusi. Sementara Lusi menyusul dari belakang.
Hanif membuka pintu kemudi mobil. "Keluar," pinta Hanif pada Badai yang masih betah duduk di kursi kemudi. Badai menaikan alisnya, tanda tidak mengerti kenapa Hanif memintanya keluar.
"Aku akan menyetir sendiri," ujar Hanif menjelaskan
"Jadi kamu memintaku duduk di kursi belakang?" Tanya Badai tidak percaya.
Hanif menggeleng. "Tunggu di rumah ini sampai aku kembali jam lima sore nanti."
Badai membelalakkan matanya karena kaget. "Jangan bercanda."
"Memangnya siapa yang sedang bercanda. Cepat keluar," pinta Hanif yang bukan terdengar seperti permintaan lagi, melainkan perintah yang bernada usiran.
Badai berdecak sambil keluar dari mobil dengan perasaan yang jengkel. Sementara Hanif mengalihkan tatapan matanya pada Lusi. "Kamu bisa membuka pintu mobil sendiri kan?"
Lusi mengangguk, membuka pintu mobil dan masuk. Hanif pun masuk ke dalam mobil.
"Sebelum kamu membawaku ke tempat yang kamu inginkan, bisakah kamu membawaku ke tempat yang aku inginkan?" Tanya Lusi.
"Memangnya kamu mau kemana?" Tanya Hanif penasaran.
"Ke sekolah."
***
"Kenapa kamu mengajakku kesini?" Tanya Hanif heran, sambil melihat bangunan sekolah yang berada di hadapannya.
"Meskipun ini bukan sekolah tempat kita bersekolah dulu, tapi bangunan sekolah ini mirip dengan bangunan sekolah kita. Jadi anggap saja ini sekolah kita," jelas Lusi.
"Untuk apa kamu membawaku ke sekolah ini?" tanya Hanif tidak mengerti.
Lusi menoleh ke arah Hanif. "Untuk membantumu mengingat semua kenangan masa lalu kita."
Hanif mendengkus. "Aku tidak perduli. Ingat atau tidaknya aku akan masa lalu kita, kita akan tetap menikah," ujar Hanif memutuskan.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?" Hanif balik bertanya.
"Kenapa kamu tetap berniat menikahiku sementara ingatan masa lalumu tentang aku belum sepenuhnya kembali?" Tanya Lusi mengulangi pertanyaannya secara lengkap.
"Apa perlu aku menjawab pertanyaan itu?" Tanya Hanif enggan menjawab pertanyaan itu.
Lusi kembali mengalihkan tatapannya pada bangunan sekolah. "Mungkin bagimu tidak penting, tapi bagiku sangat penting."
"Jadi kamu mau bagaimana?" Tanya Hanif tidak mengerti jalan pikiran Lusi
Lusi meraih jemari Hanif, menggenggamnya, membuat jantung Hanif langsung berdetak kencang.
"Ikut aku," pinta Lusi sambil menarik perlahan tubuh Hanif.
Keduanya berjalan menyusuri sekolah yang sepi itu. Keduanya menuju atap sekolah."Kenapa kamu membawaku ke atap?" Tanya Hanif makin penasaran. Saat ini keduanya sudah berdiri di atap sekolah.
Lusi tersenyum sambil melepaskan genggamannya. Lusi menatap Hanif dengan binar cinta dimatanya.
"Apapun yang terjadi aku ingin kamu memegang janjimu," ujar Lusi meminta.
Hanif mengerutkan kening heran. "Maksud kamu?"
Lusi memposisikan tubuhnya menghadap ke arah Hanif, kemudian berjalan mundur.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Hanif makin heran dengan tingkah Lusi.
"Jangan pernah mengorbankan hidupmu demi aku lagi," pinta Lusi masih dalam posisi melangkah mundur.
"Kamu mau apa?" Tanya Hanif mulai panik.
"Aku akan mengakhiri semua kisah kita," ujar Lusi membuat tubuh Hanif menegang. Berbagai pikiran buruk merasuki otaknya.
"Jangan bertindak gegabah. Katakan apa yang kamu inginkan, aku pasti akan mengabulkan semuanya," pinta Hanif berusaha membujuk.
Lusi tersenyum. "Aku menginginkan kamu, hanya kamu."
Tubuh Lusi makin dalam posisi mendekati tepian atap sekolah. Hanif tidak tahan lagi, refleks kakinya bergerak begitu saja berlari menghampiri Lusi.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Dunia (YMMP9)
RomanceKesempatan kedua Apakah benar-benar ada kesempatan kedua dalam hidup? - Lusi. *** Kisah percintaan remaja yang biasa terjadi di kalangan masyarakat. Yang berbeda karena yang menulis cerita adalah author Tarry Thelittle yang kadang imajinasi kehaluan...