Pengakuan Bagian Satu

2.5K 307 4
                                    

Rama tengah berkumpul bersama keluarga pada sarapan pagi ini. Papa dan adiknya tengah menikmati sarapan dalam diam. Sementara sang Mama tengah meminum air putih.

Sebuah kesempatan yang bagus jika dirinya ingin membicarakan hal yang penting. Rama mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan keinginannya. Keinginan yang mungkin terdengar konyol, tapi harus ia katakan sekarang juga.

"Aku ingin menikahi Lusi hari ini."

Ramida sontak menyemburkan air yang baru saja ia minum ketika mendengar perkataan sang anak. Sementara Rahwan dan Ramzi kompak menghentikan kegiatan mereka yang tengah mengunyah makanan.

Ramida buru-buru mengelap bibirnya dengan tisu.

"Kamu bilang apa tadi?" Tanya Ramida sambil menatap anaknya dengan saksama, berharap apa yang ia dengar tadi hanyalah sebuah kalimat salah sebut.

"Aku akan menikahi Lusi hari ini," ujar Rama mengulangi perkataannya tadi.

"Kamu ingin menikahi Lusi hari ini?" Tanya Ramida masih tidak percaya akan perkataan sang anak. "Siapa itu Lusi? Dan kenapa kamu ingin menikahi Lusi hari ini juga? Kenapa? Kamu sedang terlibat masalah apa?"

Rama tidak bisa menjelaskan secara lengkap saat ini. Rama hanya ingin mendapatkan restu untuk menikahi Lusi hari ini juga. Karena itu Rama sudah memikirkan sebuah alasan tepat yang bisa membuatnya mendapatkan restu.

"Aku menghamili Lusi," jawab Rama singkat.

Hening seketika akibat pengakuan dari Rama. Papa, Mama, dan adiknya kini kompak memfokuskan tatapan mata mereka ke arah Rama, melupakan santapan yang tadi mereka nikmati. Tiba-tiba saja sang adik, Ramzi, bertepuk tangan.

"Hebat! Bang Rama bisa menghamili seorang wanita juga? Luar biasa. Aku pikir orang pintar, pendiam dan ramah seperti Bang Rama tidak akan bisa melakukan hal seperti itu," ujar Ramzi takjub dengan pengakuan sang abang.

Sontak Ramida langsung melotot tajam ke arah Ramzi, membuat putra bungsunya itu langsung berhenti berkomentar. Ramida kembali mengalihkan tatapannya pada Rama, menatap begitu tajam, seolah mencari tau apakah sang anak sedang berbicara jujur atau berbohong.

"Wanita bernama Lusi itu, apa pekerjaannya? Apa pendidikannya?" Tanya Ramida setelah cukup lama menatap putra sulungnya.

"Aku tidak perduli apa pekerjaan ataupun pendidikannya, yang penting aku mencintainya. Karena itu aku memutuskan untuk menikahinya," jawab Rama yakin akan keputusannya.

Ramida mendengus pelan. "Bagi keluarga kita itu penting. Mama tidak ingin punya menantu yang tidak berpendidikan. Sementara Mama dan Papa menyekolahkan kalian berdua sampai setinggi mungkin. Itu semua dengan harapan agar kalian mendapatkan pekerjaan dan pasangan yang sepadan," jelas Ramida tegas, sementara sang suami hanya diam. Bukannya takut menyela pembicaraan sang istri, tapi karena apa yang ingin ia ucapkan sudah diwakilkan oleh istrinya itu.

"Tapi aku mencintainya, Ma," ujar Rama masih teguh akan pendirian.

"Cinta saja tidak cukup, Rama. Kamu ini seorang dokter, harus memiliki pasangan yang berpendidikan juga. Apa kata orang nanti jika kamu memiliki istri yang tidak punya pendidikan. Mereka bisa menganggap gelar yang kamu dapatkan itu sia-sia, Rama," ujar Ramida menasehati.

"Aku tidak perduli dengan tanggapan orang lain, Ma. Ini kehidupanku. Aku berhak memutuskan apa yang harus aku lakukan untuk kehidupanku," jelas Rama yang tidak ingin keputusannya di tolak.

"Dan kami orangtua mu, Rama. Restu kami itu penting untuk kebahagiaan hidupmu," ujar Ramida tidak mau kalah.

Rama menghela nafas berat. "Meskipun kalian tau aku sudah menghamilinya?" Tanya Rama tidak percaya.

"Apa kamu yakin dia memang hamil karena kamu, bukan karena pria lain. Bisa saja dia menjebak kamu, mengaku hamil karena kamu, padahal benih yang ia kandung itu hasil hubungannya dengan pria lain. Zaman sekarang banyak wanita licik, Rama, apalagi dia tidak berpendidikan. Baginya mendapatkan pria mapan itu harus dilakukan dengan berbagai cara," ujar Ramida mengemukakan apa yang kenjadi buah pikirannya.

"Mama," ujar Rama tidak terima dengan tuduhan sang Mama.

"Ehm." Ridwan mencoba membuka suara setelah terdiam cukup lama. "Apa yang Mamamu katakan itu benar, Ram. Kita tidak bisa menikah hanya karena cinta. Banyak unsur yang harus kita pertimbangkan. Masalah kamu menghamili dia sebenarnya cara penyelesaian bukan hanya dengan menikahinya. Masih banyak cara lain, contohnya kamu bisa memberi uang atas kesalahanmu itu."

"Papa," ujar Rama yang benar-benar tidak percaya dengan jalan pikiran kedua orangtuanya.

"Bukannya kita ini jahat, Rama. Tapi seperti yang Mamamu katakan, kita belum tau dengan pasti apakah anak yang wanita itu kandung, anak kamu atau bukan. Bagus jika itu anak kamu, tapi jika itu anak orang lain, kamu yang akan merugi, Rama. Kamu tau sendiri saat ini banyak wanita yang gaya berpacarannya sangat bebas. Mereka bisa beralih dari satu pelukan pria ke pelukan pria yang lain. Kami hanya tidak ingin kamu salah ambil keputusan," ujar Ridwan ikut menasehati.

Rama merasa hancur dan terluka, keinginannya mendapat restu malah membuat image Lusi buruk dimata kedua orangtuanya. Rama terdiam sejenak, mencoba mengusir beban berat yang menghimpit dadanya.

"Kalian ingat saat aku SMA dulu ada seorang siswi yang jatuh dari atap?" Tanya Rama sambil menerawang.

"Tentu. Siswi yang mencoba bunuh diri bersama pacarnya karena hamil diluar nikah," jawab Ramida yang masih ingat akan insiden yang menghebohkan disekolah putranya itu.

"Sebenarnya yang menghamili siswi itu bukanlah laki-laki yang mencoba bunuh diri bersamanya," ujar Rama.

"Oh ya? Jadi laki-laki yang mencoba bunuh diri bersama siswi itu bukan pacarnya? Lalu siapa pacar yang menghamili siswi itu? Kenapa siswi itu malah mencoba bunuh diri bersama laki-laki lain, bukan pacarnya?" Tanya Ramida penasaran akan kisah yang sudah lama berlalu.

"Aku," jawab Rama singkat.
Ramida, Ridwan dan Ramzi menatap heran ke arah Rama, sementara Rama menatap ketiganya dengan tatapan yang mantap.

"Aku laki-laki yang menghamili siswi itu. Laki-laki yang sekaligus adalah pacar sesungguhnya siswi itu," jawab Rama mantap. "Dan aku juga laki-laki pengecut yang saat itu tidak mau bertanggung jawab karena memikirkan masa depanku sendiri, padahal saat itu aku sudah menghancurkan masa depan orang lain. Aku juga laki-laki brengsek yang meminta siswi itu mengugurkan kandungannya, padahal aku tau kalau yang tengah dikandungnya adalah darah dagingku. Aku laki-laki tidak tau malu yang tidak ingin aibnya terbongkar hanya agar kalian terus bangga memiliki putra yang berprestasi seperti aku."

Tbc

Dua Dunia (YMMP9)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang