Cemburu Menguras Kali

2.4K 287 1
                                    

No curcol ya 👏👏👏

***

"Siapa pria itu?" Tanya Hanif setelah cukup lama kesunyian menghampiri dirinya dan Lusi di dalam mobil.

Lusi menoleh ke arah Hanif, merasa bingung dengan pertanyaan Hanif. "Pria? Pria yang mana?"

Hanif mendengus jengkel, merasa kesal karena baginya Lusi pura-pura tidak mengerti arah pertanyaannya. "Pria yang tadi memelukmu dengan begitu mesra."

Lusi makin merasa heran dengan pertanyaan Hanif. "Kamu tidak mengenal Rama?"

"Oh, jadi namanya Rama. Memangnya siapa dia sehingga aku harus mengenalnya? Aktor? Model? Atlet? Atau Direktur sebuah perusahaan?" Ujar Hanif terkesan meremehkan, seolah menganggap siapapun Rama, tidak penting baginya.

Lusi terdiam sejenak, menatap Hanif, berusaha mencari tau apa Hanif sedang berpura-pura tidak mengenali Rama. "Kamu benar-benar tidak ingat siapa Rama?"

Hanif menoleh ke arah Lusi. "Memangnya siapa dia?" Hanif mengembalikan fokus tatapannya ke arah depan. Hanif tidak ingin sampai dirinya terlibat kecelakaan mobil lagi. "Aktor terkenal ya?"

Lusi terdiam. Selama ia menatap Hanif tadi tidak terlihat kalau Hanif sedang bercanda. Hanif seolah serius dengan ucapannya.

"Ehm." Hanif berdehem sejenak. "Kalian punya hubungan khusus?"

Pertanyaan Hanif membuat Lusi memalingkan wajahnya ke arah depan. Ingatannya kembali ke masa lalu. Masa indah dan pahit yang pernah ia rasakan. Lusi tersenyum getir, mengingat bagaimana sebuah kesalahan fatal di masa remajanya, membuat ia kehilangan banyak hal.

"Dulu," jawab Lusi singkat.

Hanif menoleh ke arah Lusi sejenak, menatap raut wajah sedih Lusi yang entah kenapa tidak ia sukai. "Sekarang?"

Lusi menggeleng, membuat tanpa sadar ada sebuah senyuman tipis di bibir Hanif.

Hanif kembali fokus menyetir. "Hubungan apapun yang pernah kalian miliki dimasa lalu, lupakan itu. Karena sekarang kamu adalah calon istriku."

Lusi kembali menoleh ke arah Hanif, menatap Hanif dengan heran. "Bukannya kita hanya berpura-pura?"

Hanif mengangguk. "Meskipun kita berpura-pura, tapi aku ingin hubungan ini terlihat serius. Aku tidak ingin ada yang tau tentang hubungan pura-pura kita. Jadi pastikan kamu tidak menjalin hubungan dengan pria lain sebelum urusan kita selesai, mengerti?"

Kini giliran Lusi yang mengangguk. "Hmm. Kamu ingin membawaku kemana?" Tanya Lusi penasaran akan tujuan Hanif membawanya pergi.

"Salon," jawab Hanif singkat.

Lusi mengerutkan kening heran. "Untuk?"

"Mempercantik penampilanmu sehingga pantas bersanding denganku nanti malam," jelas Hanif sambil menoleh ke arah Lusi, mengamati penampilan Lusi dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Setelah itu Hanif kembali mengarahkan tatapan matanya ke arah depan. "Meskipun sebenarnya tidak banyak membantu. Tapi biasanya tipuan riasan mampu membuat itik yang buruk rupa terlihat seperti angsa yang cantik jelita."

Lusi tersenyum tipis, menyadari kalau Hanif sedang menilai kecantikan dirinya yang memang berada di zona standar.

"Jangan tersinggung, aku hanya sedang berbicara tentang fakta," ujar Hanif yang tiba-tiba merasa bersalah sudah mengeluarkan perkataan seperti tadi. Padahal jauh dilubuk hati Hanif, penampilan Lusi sekarang sudah cukup membuat jantungnya berdebar kencang. Tapi sebagai pria yang tinggi akan rasa gengsi, Hanif enggan mengakui itu. Sehingga ia lebih memilih mencela penampilan Lusi dibandingkan memberi pujian yang terdengar mirip rayuan gombal.

Lusi tersenyum, menggeleng pelan. "Aku sama sekali tidak merasa tersinggung. Yang kamu katakan memang benar. Aku memang tidak cantik, dan aku mengakui fakta itu." Lusi terdiam sejenak. "Hanya saja, apa kamu yakin mau menjadikan aku pasangan, meskipun hanya pura-pura, tapi penampilanku ini bisa membuat banyak orang menghina pilihanmu. Aku akan merasa sangat bersalah jika hal itu terjadi."

Hanif menggeram kesal, benar-benar menyesali perkataannya tadi. Hanif menepikan mobilnya dan menghentikannya. Hanif menghela nafas untuk mengumpulkan keberaniannya agar bisa bicara jujur. "Maaf. Aku tadi keliru."

"Maaf? Untuk apa? Dan keliru tentang apa?"  Tanya Lusi heran.

Hanif menoleh ke arah Lusi, menatap Lusi dengan tatapan lembut, tatapan yang selama ini selalu dirindukan oleh Lusi. "Kamu cantik. Hanya saja aku terlalu gengsi untuk mengakui itu."

Tatapan dan perkataan Hanif membuat dunia Lusi seolah terhenti sejenak. Lusi merasa kalau di dunia ini hanya ada dirinya dan Hanif. Dan jika bisa Lusi ingin selamanya terus seperti itu.

"Apa kamu masih mengingatku?" Pertanyaan itu keluar begitu saja tanpa bisa Lusi cegah.

Hanif menatap Lusi dengan heran. "Tentu saja. Kamu Lusi, Lusi Fahrana, anak angkat Tante Janita, saudara angkat Jahra Lusiana."

Lusi ingin kembali bertanya apakah Hanif mengingat semua kenangan mereka di masa lalu. Tapi mulut Lusi seolah terkunci. Lusi tidak berani menanyakan kenangan masa lalu yang pernah membuat hidup mereka dalam derita.

"Kenapa?" Tanya Hanif heran sekaligus penasaran. Entah kenapa Hanif merasa masih ada yang ingin Lusi katakan, tapi Lusi seolah terdiam bagaikan batu karang. "Ada yang ingin kamu tanyakan lagi?"

Lusi menggeleng. "Apa kita sudah sampai di salon?"

Entah kenapa Hanif merasa kesal mendengar pertanyaan seperti itu yang keluar dari mulut Lusi. Padahal Hanif berharap ada pertanyaan lain yang mungkin berhubungan dengan masa lalu yang kini ia lupakan. Hanif kembali menjalankan mobilnya, memilih diam untuk mengurangi rasa kesalnya.

***

Jahra menatap takjub bangunan mewah yang menjadi tempat diselenggarakan pesta ulang tahun pernikahan teman Mamanya.

Pantas saja sang Mama rela mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli pakaian yang pantas untuk dikenakan di pesta ini. Jahra sendiri mengenakan gaun panjang bewarna putih, membuatnya terlihat seperti malaikat tak bersayap versi sang Mama.

Jahra tidak menyangka jika sang Mama memiliki teman dari kalangan kaya seperti itu. Jika sebelumnya sang Mama mengatakan kalau Mamanya memiliki teman yang kaya, dan teman Mamanya yang kaya itu memiliki seorang putra. Jahra pasti sudah meminta untuk dijodohkan dengan anak teman Mamanya itu.

"Kapan Mama berkenalan dengan orang kaya seperti ini?" Tanya Jahra penasaran.

"Baru-baru ini," jawab sang Mama singkat.

"Kenapa Mama tidak pernah bercerita?" Tanya Jahra yang merasa tidak terima jika sang Mama tidak menceritakan kisah pertemanan itu.

"Kamu kan tidak bertanya," jawab sang Mama lagi-lagi singkat.

Jahra mencibir kesal, tapi kemudian merasa bersemangat akan ide yang ia dapatkan. "Apa teman Mama ini punya anak laki-laki yang seumuran Jahra?" Tanya Jahra penasaran dan penuh harap.

"Punya," jawab Janita benar-benar singkat. Tapi kali ini Jahra tidak merasa kesal. Justru Jahra merasa begitu gembira dengan fakta yang baru ia dapatkan.

"Kalau begitu apa Mama bisa menjodohkan Jahra dengan anak teman Mama ini?" Tanya Jahra yang seolah lupa akan prinsip hidupnya yang tidak mau dijodohkan. Jiwa matrelialisme yang diturunkan sang Mama lebih mendominasi hidupnya saat ini.

"Sudah Mama lakukan, tapi gagal karena kebodohanmu," jawab Janita santai.

Jahra mengerutkan kening heran. "Maksud Mama?" Tanya Jahra meminta penjelasan lebih lanjut. "Apa Mama bercerita pada mereka kalau Jahra ini bodoh, Ma?"

Tbc

Dua Dunia (YMMP9)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang