Hanif berlari menghampiri Lusi. Hanif benar-benar tidak ingin kehilangan Lusi. Di luar dugaan Lusi juga melangkahkan kakinya berjalan maju, kemudian berlari ke arah Hanif.
Hanif kaget, refleks menghentikan langkah kakinya, tapi tidak dengan Lusi. Lusi terus berlari sehingga tubuhnya sampai di hadapan Hanif. Lusi langsung memeluk tubuh Hanif dengan erat, membuat Hanif terdiam kaku dengan detak jantung yang tidak menentu.
"Aku juga mencintaimu. Aku rela mengorbankan hidupku untukmu. Jika ada yang harus mati di antara kita, aku siap menggantikanmu," ujar Lusi membuat otak Hanif otomatis memutar sebuah kenangan di dalam otaknya. Kenangan saat dirinya jatuh dari atap sekolah bersama Lusi. Hanif kini mengingat semua kenangan di atap itu.
Hanif langsung melepaskan pelukan Lusi, menatap tidak percaya. "Ternyata sebesar itu rasa cintaku padamu," ujar Hanif.
Lusi tersenyum. "Kamu sudah bisa mengingatnya?"
Hanif mengangguk.
Lusi tidak berhenti untuk tersenyum. Lusi menjinjitkan tubuhnya, meraih kepala Hanif dan mencium bibir Hanif. Hanif membelalakkan mata lebar atas tindakan Lusi itu.
Tapi meskipun kaget, Hanif tidak ingin menghentikan ciuman itu. Hanif melingkarkan tangannya di pinggang Lusi, membalas ciuman dari Lusi.
Cukup lama keduanya berciuman. Lusi orang pertama yang menghentikan ciuman itu dengan menjauhkan wajahnya. Hanif menatap tidak terima atas tindakan Lusi. Hanif masih menginginkan ciuman itu.
"Puad, maukah kamu menikah denganku?" Tanya Lusi tiba-tiba membuat Hanif kembali membelalakkan mata lebar.
"Kamu-"
"Ya, aku melamarmu," ujar Lusi dengan cepat menyela perkataan Hanif. "Kamu hanya perlu memberi aku jawaban, ya atau tidak."
"Ya," jawab Hanif merasa jengkel karena Lusi melamarnya. Padahal harusnya sebagai lelaki dialah yang melamar Lusi. Tapi bukankah dirinya memang sudah melamar Lusi, meskipun lamaran itu keluar saat dirinya dalam pengaruh obat peransang.
Lusi tersenyum, merasa bahagia atas jawaban Hanif."Sudah?" Tanya Hanif membuat Lusi mengangguk.
"Tapi kenapa tadi kamu malah menyebut nama Puad? Kamu tau kan kalau namaku itu Hanif?" Tanya Hanif merasa cemburu saat Lusi malah menyebut nama lelaki lain.
"Puad itu kan namamu juga. Hanif Puadi. Masa kamu lupa dengan nama lengkapmu sendiri?" Tanya Lusi heran.
Hanif berdecak kesal, kesal karena sempat cemburu pada namanya sendiri. "Tapi orang-orang lebih sering memanggilku dengan nama Hanif."
"Tidak juga. Saat SMA dulu kamu lebih populer dengan nama Puad," bantah Lusi.
Hanif mengerutkan keningnya. "Masa?"
"Kamu belum ingat semua kenangan masa lalu kita? Bukannya tadi kamu bilang kamu sudah mengingatnya?" Tanya Lusi heran.
"Aku hanya baru mengingat sedikit," jawab Hanif mengakui.
"Aku pikir kamu sudah mengingat semuanya. Jadi ingatan masa lalu seperti apa yang kamu ingat?" Tanya Lusi penasaran.
Hanif menatap Lusi tepat dikedua matanya. "Ingatan tentang rasa cintaku yang terlalu dalam untuk kamu."
Lusi merasa begitu terharu dengan jawaban itu.
"Apa itu sudah cukup?" Tanya Hanif memastikan.
Lusi mengangguk.
"Kalau begitu kita bisa berciuman lagi?" Tanya Hanif terdengar tidak tau malu. Lusi terkekeh.
"Hanya berciuman?" Tanya Lusi memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Dunia (YMMP9)
RomanceKesempatan kedua Apakah benar-benar ada kesempatan kedua dalam hidup? - Lusi. *** Kisah percintaan remaja yang biasa terjadi di kalangan masyarakat. Yang berbeda karena yang menulis cerita adalah author Tarry Thelittle yang kadang imajinasi kehaluan...