Tujuh tahun kemudian ....
Alenta keluar dari ruang kelas tempatnya mengajar. Di tangannya ada banyak tumpukan buku panduan dan sebuah tempat pensil berwarna merah hati.
"Bu Alenta! Cihuyyy!! Cantiknya."
"Aku nikahin mau, Buuu?"
"Nggak kuat aku liat beginian!"
"Pengin deh culik Bu Alenta buat dibawa ke KUA!!"
"Cantik sih, tapi mukanya kek tembok, haha!!"
"Nggak papa lah, yang penting cantik!"
Alenta hanya memasang wajah datar ketika mendengar anak-anak muridnya melemparkan candaan dan godaan. Semua itu sudah biasa baginya, sudah menjadi makanan sehari-hari.
Alenta baru dua bulan menjadi guru Bahasa Indonesia di sekolah itu, SMA Perwira. Ya, sekolahnya yang dulu. Sekolah di mana ia menghabiskan hari-harinya bersama Areska dan teman-teman.
Itu sebuah kesengajaan. Alenta sengaja memilih SMA Perwira sebagai tempat mengajarnya. Ia juga memutuskan untuk menetap di Jakarta.
Langkah kaki Alenta menuju ke ruang guru. Di sana ada beberapa guru yang duduk di kursi mereka. Kemudian, Alenta meletakkan buku-bukunya di atas mejanya sendiri.
"Udah selesai ngajarnya, Bu?" tanya seorang guru yang duduk di belakang Alenta.
Alenta hanya menjawabnya dengan anggukan singkat dan wajah datar. Berhubung jam pelajarannya sudah berakhir, Alenta berniat pulang ke rumah saja. Atau mengajak Naumi untuk pergi bersamanya.
Alenta Raqueenla:
Ke cafe, Mi. Lo dah selese kan jam segini?Naumi menjadi seorang bidan, dan ia sudah punya klinik persalinan sendiri. Tiga bulan yang lalu, Naumi juga sudah bertunangan dengan Galins. Ya, Galins. Tidak ada yang menyangka jika akhirnya Naumi dan Galins bertunangan. Bahkan dua hari lagi mereka akan melangsungkan pernikahan.
Naumi Yohanca Abigail:
Udah. Lo duluan aja ke cafe-nya. Gue nyusul sama Galins. Rasya sama Joan juga tadi udah gue ajak kok.Alenta memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dua buah novel yang ada di atas mejanya juga ia masukkan ke dalam tas. Tanpa basa-basi lagi, Alenta segera keluar dari ruang guru.
"Kebiasaan, guru baru udah sombong. Basa-basi dulu kek, main nyelonong gitu aja."
"Dia juga di kelas begitu tuh, Bu. Nggak pernah yang namanya menjelaskan materi ke murid-murid. Kerjaannya menyuruh murid buat merangkum, terus ngerjain tugas."
"Guru kayak dia mana bisa ngomong, bisu kali. Mukanya aja kayak tembok, datar."
"Liat aja penampilannya, selalu pake celana. Udah gitu ke sekolahnya pake motor besar lagi."
Alenta berusaha menulikan pendengarannya. Ia sudah terlalu biasa digunjingkan oleh guru-guru seperti itu. Namun, Alenta tidak peduli. Toh bukan mereka yang membiayai hidup Alenta.
Sejak kepergian Areska, Alenta menjadi orang yang kehilangan senyum dan tawa. Hari-harinya terasa kelam dan kelabu. Tidak ada lagi senyum yang menghiasi wajah cantik Alenta. Bahkan Alenta jadi sangat pendiam.
Alenta sampai di parkiran sekolah. Seperti tujuh tahun yang lalu, ia masih setia dengan motor besar warna hitam. Motor yang ia rawat baik-baik sejak dulu. Itu motor Areska. Randi yang memberikannya pada Alenta.
Alenta naik ke atas motor besar hitam itu. Alenta memakai celana, ia tidak pernah sekalipun memakai rok. Kepala sekolah pernah menegurnya, namun Alenta tetap saja tidak peduli.
<><><>
"Kapan nih lo punya anak, Sya?" tanya Joan.
"Nggak sekarang lah. Kan kita udah sepakat mau bareng-bareng punya anaknya. Gue, lo, Alenta, sama Galins juga," jawab Rasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARESKA DAN ALENTA (End)
Teen FictionPART MASIH LENGKAP! OPEN PO!! (Beberapa chapter diprivat acak, harap follow untuk kenyamanan membaca) Areska Danetra Perwira. Terkenal kejam dan tidak punya hati sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya. Seisi SMA Perwira pun enggan mencari masala...